Yang dimaksud dengan ‘pergi’ disini adalah, tentunya, meninggalkan situasi toxic tersebut, entah dengan cara memutuskan si pacar atau kabur diam-diam.
Dulu, saya juga terbiasa berpikir begitu. Kenapa si korban mau-maunya bertahan dalam hubungan yang menyakitinya? Bukankah tidak menyenangkan berada dalam suatu hubungan di mana dia sering dimaki, dimanipulasi, diancam, bahkan dipukul? Lalu kenapa tidak pergi saja?
Dengan malu saya mengakui bahwa saya mempertahankan perspektif itu terlalu lama. Saya mengikuti apa yang lingkungan sekitar gaungkan dan cenderung menyalahkan korban—karena terlalu lemah untuk melawan, terlalu takut untuk bersuara, terlalu bodoh untuk menyadari bahwa dia dimanipulasi, atau memberikan kesempatan berbuat jahat kepada pelaku.
Saat itu saya percaya bahwa kalau kita cukup pintar dan memiliki self-respect, kita tidak akan terjebak dalam hubungan toxic, karena kita akan langsung menyadari bahwa ada bentuk kekerasan yang sedang terjadi, dan bisa langsung menghentikannya dan meninggalkan hubungan tersebut.
Ternyata, saya salah besar. Proses kesadaran saya dimulai saat SMA, di mana saya mulai belajar tentang kajian gender, feminisme, dan beragam isu sosial. Proses itu berlanjut hingga saya memasuki bangku kuliah, di mana saya bergabung dengan organisasi-organisasi yang terkait dengan isu gender dan kekerasan seksual, seperti Girl Up dan Kode Aman Kampus (KODAKS), juga banyak membaca dan mengikuti berbagai webinar dan sesi diskusi. Dalam proses belajar tersebut, salah satu hal yang meninggalkan kesan mendalam adalah ketika saya membaca sebuah artikel yang membahas metafora katak dalam air mendidih untuk menggambarkan hubungan toxic.
Dalam metafora tersebut, korban hubungan toxic itu seperti katak yang diletakkan dalam panci berisi air bersuhu normal. Katak tersebut senang berada dalam air dan tidak keberatan duduk-duduk di dalam panci. Kemudian, api kompor dinyalakan dan si katak mulai merasa sedikit hangat, tapi baik-baik saja. Lama kelamaan, api terus dibesarkan hingga mendidih dan si katak akan mati direbus karena dia tidak menyadari bahwa ada peningkatan suhu yang berarti. Seperti itu jugalah korban hubungan toxic.
Awalnya mereka merasa senang dan nyaman, lalu hubungan mereka akan memanas, tapi mereka tidak sadar, karena awal hubungan mereka baik dan mereka ingin percaya bahwa si pelaku adalah orang yang baik. Mereka akan terus mengabaikan setiap red flag yang muncul hingga mereka ‘terebus’ sepenuhnya.
Sikap baik dan manis di awal hubungan itu adalah tahap yang signifikan dalam memanipulasi korban, karena tentunya kita tidak mau memasuki hubungan yang sejak awal kasar dan tidak menyenangkan, sama seperti katak yang akan langsung meloncat keluar ketika dimasukkan ke air mendidih. Akan tetapi, ketika kita diperlakukan dengan amat baik di awal, kita akan cenderung percaya kepada pelaku, hingga tidak sadar bahwa kita dimanipulasi.
Dari situlah saya paham kenapa sulit bagi korban dalam hubungan toxic untuk pergi, karena bahkan untuk percaya bahwa mereka merupakan korban pun sulit. Pelaku seringnya piawai dalam memanipulasi emosi korban dengan menunjukkan sikap yang berubah-ubah (kasar, meminta maaf, penyayang, dst). Karena itu, korban biasanya tidak ingin berpikir pasangan mereka adalah pelaku kekerasan. Mereka cenderung ingin percaya bahwa pasangan mereka hanya sedang mengalami masalah, dan sudah tugas mereka sebagai pasangan yang baik untuk memaafkan kesalahan mereka dan membantu.
Yang sebenarnya terjadi adalah, pelaku memanfaatkan rasa percaya dan kebaikan hati korban dan menjadikannya senjata yang didukung dengan berbagai macam teknik—gaslighting, mengisolasi korban dari keluarga dan teman-temannya, menunjukkan sikap baik kepada orang lain sehingga tidak ada yang mempercayai korban, dan meyakinkan korban bahwa dialah satu-satunya yang peduli kepada korban supaya korban bergantung kepada pelaku.
Sejak belajar lebih jauh tentang relasi kuasa dalam hubungan, kekerasan, dan identitas gender, saya berhenti menuding korban. Saya mengoreksi paham saya yang keliru sebelumnya. Pelan-pelan saya memahami bahwa kecerdasan tidak ada hubungannya dengan menjadi korban, karena orang yang pintar pun bisa terjebak dalam hubungan toxic. Saya belajar bahwa siapa pun, bahkan saya sendiri—yang sudah banyak belajar tentang hubungan toxic—bisa menjadi korban. Persentase kemungkinan itu tidak pernah nol.
Ada banyak faktor yang bermain dalam terjebaknya korban dalam hubungan toxic, termasuk privilege yang dimiliki pelaku (gender, ras, kelas sosial, dsb) dan power imbalance atau ketidakseimbangan kekuasaan antara pelaku dan korban. Bahkan ketika korban sudah menyadari bahwa dia memang terjebak dalam hubungan toxic, itu tidak lantas membuat korban mudah meninggalkan situasi tersebut.
Bisa saja korban memiliki rasa percaya diri yang rendah karena sudah diyakinkan oleh pelaku bahwa mereka tidak berguna. Bisa saja pelaku mengancam korban dengan berbagai cara untuk tidak pergi. Bisa saja korban terjebak dalam siklus kekerasan dan berpikir bahwa pelaku pada akhirnya akan berubah. Bisa saja korban tidak memiliki orang terdekat yang akan mendukung atau membantu mereka. Bisa saja korban bergantung pada pelaku, baik secara emosional atau finansial. Di sinilah pentingnya rasa simpati. Kita tidak bisa menyalahkan korban dan menyebut mereka bodoh karena tetap tinggal, karena pada kenyataannya, meninggalkan sebuah hubungan toxic itu sulit.
Merasakan berbagai emosi yang saling bertabrakan itu sulit. Ada investasi emosional dalam hubungan mana pun, dan meninggalkan itu semua tentunya akan terasa menakutkan. Satu hal yang harus kita ingat: kekerasan bukanlah salah korban. Yang harus kita lakukan adalah berusaha memahami dan bersimpati, bukan mendorong dan menghakimi.
Karena itulah, saya percaya bahwa mulai sekarang kita harus berhenti bertanya, “Kenapa korban tidak pergi saja?” dan mulai menanyakan pertanyaan yang tepat: “Kenapa pelaku melakukan hal itu?”