PRT Curhat di Medsos: Sedikit Lega Dibanding Ngomong ke Majikan

Sejumlah Pekerja Rumah Tangga (PRT) curhat di media sosial. Curhat ini berisi keluhan karena jam kerja yang panjang dan tidak ada libur bagi PRT.

Ada sebuah grup di Facebook dengan nama “Asisten Rumah Tangga.” Walaupun saat ini kita memperjuangkan terminologi kata Pekerja Rumah Tangga (PRT), bukan asisten rumah tangga, namun yang jelas grup medsos ini digunakan untuk saling berbagi informasi bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) dan pemberi kerja (majikan).  Tak jarang, grup itu juga digunakan untuk berbagi keluhan dan masalah yang kerap dialami, terutama bagi PRT.

Dengan keyword “curhat ART” yang saya pasang pada kolom pencarian grup, muncul sebuah cerita panjang dari salah satu akun. Isinya berupa keluhan terhadap hari libur dan jam kerja yang menurutnya terlalu panjang bagi PRT. Sehingga, pemberi kerja bisa semena-mena mengulur waktu kepulangannya.

Ibu Ana (bukan nama sebenarnya), adalah salah satu PRT yang menuliskan curhatan tersebut. Postingan itu dimuat pada tanggal 22 Juli 2023. Cukup ramai yang memberi respon, terbukti dari 33 jumlah like dan ada 55 komentar.

“Ya Allah beginikah jadi ART di Indonesia. Mentang-mentang banyak uang, majikan semena-mena. Saya gak ada yang namanya kata libur setahun kecuali ada urusan keluarga,” ujarnya pada postingan itu.

Bu Ana tengah begitu jengah dengan perlakuan pemberi kerja kepadanya. Meski tidak tinggal bersama, ia mengaku sedikit terbelenggu dalam menggunakan waktu karena sering tersita oleh pekerjaan yang banyak. Hal ini juga terjadi sebab pemberi kerja mengingkari perjanjian yang sejak awal telah mereka sepakati bersama.

Mulanya Ia bersama pemberi kerja bersepakat untuk masuk kerja dari jam 07.00 sampai jam 15.30 WIB. Namun, kesepakatan itu hanyalah sebuah perkataan belaka. Bu Ana mengaku jam kerjanya kerap molor hingga jam 19.00. Bahkan pernah sampai jam setengah 10 malam. Sementara mundurnya jam kepulangan tidak dibarengi dengan uang lembur atau penambahan gaji.

Kesal bukan main. Pasalnya tak hanya itu, perkara hari libur juga jarang sekali ia dapatkan. Dalam setahun, Bu Ana hanya dibolehkan libur bila ada urusan keluarga yang mendesak. Itu pun kadang masih dicurigai oleh pemberi kerja. Bu Ana kerap dikatain pembohong, apalagi bila sakit, pemberi kerja sering menyematkannya dengan sebutan “manja”.

“Kadang saya mau libur karena sakit dikatain pembohong. Kadang ada acara pernikahan kerabat karena hari biasa bukan minggu, saya dikatain bohong juga,” ujarnya dalam chat WhatsApp pada (24/02/2023). Curhatannya berlanjut di kolom chat setelah Ia bersedia bertukar nomor telepon dengan saya. Chatnya begitu panjang.

Pada lain perkara, Ia berkisah suatu hari sang suami jatuh sakit. Tak ada yang dapat mengurus kecuali dirinya sendiri. Izin sudah dilontarkan ke majikan agar Ia bisa mengantar suaminya berobat. Namun, kehendak majikan berkata lain dengan memaksa Bu Ana tetap masuk sebagaimana biasanya. Hubungan antara pemberi kerja dan dirinya itu membuatnya tak kuasa untuk menolak. Sedang suaminya ditinggal sendirian di rumah.

“Suaminya manja, kamu tetap masuk kerja. Sediakan saja makanan di sebelah tempat tidurnya. Sediakan baskom juga biar dia bisa kencing dan buang air besar,” ujar Bu Ana menirukan perkataan majikannya.

Saya bermaksud mengunjunginya selepas ini. Namun, kami begitu sulit untuk menentukan waktu bertemu.

“Saya kan gak ada liburnya mas, nanti kalau sempat saya kabari” ujarnya saat itu. Namun hingga saat ini pertemuan tersebut tak kunjung terjadi. Bu Ana sungguh waktunya banyak tersita oleh pekerjaan.

Meluapkan Lewat Facebook

Ternyata tak hanya Bu Ana yang mendapat kelegaan lewat Facebook. Saya mencoba mencarinya dengan keyword “curhat pembantu, cerita ART, derita pembantu, PRT” dan lain sebagainya. Setidaknya dalam pencaharian itu saya menemukan 10 curhatan yang memuat substansi serupa.

Yang pertama kali saya temukan adalah curhatan pada 5 September 2022 lalu. Postingan itu tayang di grup “Loker Rewang ART PRT Babysitter di Jogja” dan berhasil menghimpun 58 like dan 70 komentar.

Seorang PRT protes dengan ketikan capslock semua agar majikan bisa menaikkan gajinya. Hal tersebut ia minta karena harga BBM di bulan yang sama mengalami kenaikan. Sementara ia tidak berjalan kaki ketika hendak pergi berangkat kerja.

“Kalau sekiranya tidak bisa ngasih gaji yang sesuai, janganlah ngambil pembantu. Kalau memang rumahnya kecil dan tidak banyak kerja, mending kerjain sendiri aja,” ucapnya di akhir kalimat.

Sayang saya tak bisa menembus untuk mewawancarainya, mengapa Ia melakukan itu semua lewat Facebook.

Masih di grup yang sama. Saya menemukan curhatan dari seorang PRT yang merasa ditipu oleh majikan soal deskripsi kerja. Mulanya, Ia dipanggil hanya untuk beres-beres dan membantu pekerjaan rumah. Namun, begitu sampai di rumah majikan, Ia disuruh sekaligus momong lima orang anak. Menurutnya hal tersebut tidak tertera di perjanjian awal.

“Saya heran sama job yang diberikan. Katanya ART beberes begitu, sampai tempat momong anak lima, masih ngurus kebun. Gak boleh ngeluh juga, akhirnya saya keluar dan sekarang cari kerja lagi” tulisnya.

Curhatan itu Ia posting pada 22 Desember 2022 yang mengguyubkan 47 like dan 102 komentar. Begitu tak sanggup baginya untuk melanjutkan pekerjaan, di akhir curhatan ia mengatakan untuk keluar dan saat itu sedang berusaha mencari pekerjaan kembali kembali. Saya juga menghubungi ibu ini untuk wawancara sejenak. Namun hingga hari ini, saya belum mendapatkan jawaban.

Kerja dari Pagi hingga Malam

Salah satu dari sekian yang menjawab pesan saya adalah Bu Suci (Bukan nama sebenarnya). Itupun hanya dengan satu pesan. Ia adalah seorang babysitter yang merangkap mengurusi pekerjaan rumah. Dalam curhatannya di Facebook, Ia mengeluh karena harus bekerja dari jam 4 subuh dan baru berhenti ketika malam hari.

Mulanya, Suci bekerja pada majikan yang hanya mempunyai satu orang anak berumur 1 tahun. Tak masalah rasanya bila mengasuh sambil beberes karena rumah majikan juga tidak terlalu besar. Tapi tiada disangka bahwa saat itu majikannya sedang hamil anak kedua. Dengan demikian, sesuai job desk-nya sebagai babysitter, Ia harus mengasuh dua anak itu sekaligus. Secara umur, keduanya hanya terpaut tidak sampai dua tahun.

Setiap hari, ia harus bangun jam setengah empat pagi. Ia harus beres-beres rumah dan sambil memasak untuk sarapan anak pertama. Setelah itu ia punya kewajiban untuk menyuapinya. Sementara anak kedua, dari bangunnya langsung diurus oleh ibunya atau majikan perempuan sampai akhirnya ditinggal bekerja.

Di rumah, hanya ada ayah, ibu, dan seorang kakek beserta dirinya sebagai babysitter. Ketika siang, sang kakek hanya ngajak bermain cucu sebentar. Ia tidak pernah melakukan pekerjaan inti dalam mengurus anak-anak dan pekerjaan di rumah seperti nyuapin makan, gantiin popok dan lain sebagainya. Semuanya ditanggung oleh Ia sebagai PRT. Sementara beres-beres pun Ia juga yang tanggung.

Bu Suci awalnya mendapat gaji Rp.2.500.000. Karena pekerjaannya yang juga turut beres-beres rumah itu, gajinya ditambah menjadi tiga juta rupiah. Secara nominal memang di atas UMR jogja. Tapi baginya jam kerja yang membuatnya tiada istirahat itu terlalu menyiksa. Bila sang majikan mengambil PRT lain untuk mengurusi pekerjaan rumah, gajinya terancam turun. Karena itu, Ia terpaksa melakukan semua pekerjaan itu.

“Sebenarnya saya babysitter. Pas itu saya dapat kerjaan ngasuh anak usia 1 tahun. Beberes jadilah saya PRT juga. Serabutan, mau gak mau waktu itu saya butuh kerjaan,” ujarnya dalam chat pribadi Facebook.

Senada dengan Suci, Farah yang juga seorang PRT juga menuangkan curhatan serupa. Karena tinggal di rumah majikan, Ia harus bekerja dari jam 5  pagi hingga jam setengah satu malam. Saat selesai kerja, kadang-kadang majikannya mengajaknya pergi, Farah harus tetap ikut, meskipun Farah sedang sakit.

“Ibu maaf ya kalo saya sekali ini aja ga ikut gimana, kalo saya sehat mana mungkin saya ga ikut, ibu maaf banget saya mau istirahat ga enak banget nih badan saya,” ujarnya saat itu ketika meminta izin. Sayang, izin tidak diberikan. Ia malah dimarahi karena tingkah tersebut. Akhirnya ia memilih untuk keluar dari tempat itu.

Urusan pekerjaan rumah seluruhnya ditanggung oleh Farah. Hal itu karena majikan perempuan sibuk mengurus dua orang anak. Sementara sang suami, menurut pengakuan Farah malah sering bangun siang dan tidak pernah turut serta dalam mengurus pekerjaan rumah.

“Suaminya ada di rumah de, bangunnya siang” imbuhnya.

Self Disclosure

Curhatan Bu Ana dan beberapa orang lain itu merupakan salah satu pelarian dari minimnya perlindungan hukum terhadap PRT di Indonesia.

Ibu Ana tidak terlalu mengerti jalur hukum apa yang harus ia tempuh untuk menuntut kesewenang-wenangan ini. Karenanya hanya rangkaian kata di Facebook yang paling pas agar Ia bisa melepaskan unek-uneknya. “Alhamdulillah lumayan lega,” ujar Bu Ana.

Istilah yang cocok bagi Bu Ana dan kawan-kawan ini adalah self disclosure. self disclosure merupakan bentuk pengungkapan diri yang disengaja melalui perilaku verbal yang menjelaskan tentang pengalaman seseorang (Erland Hamzah dan Eka Putri 2020). Dan beberapa dari mereka menyebarkannya lewat sosial media.

Media sosial merupakan sarana untuk berbagi informasi pribadi dengan jaringan online, dan jutaan orang secara rutin mengungkapkan informasi pribadi di situs jejaring sosial (Bazarova dan Choi 2014). Kita dapat berteman dengan siapapun kedunia ini tanpa harus terhalang oleh jarak dan waktu untuk berbagi foto, video termasuk curahan hati.

Namun kondisi keterbukaan setiap manusia itu berbeda-beda tergantung jenis emosi yang dirasakannya. Teori self disclosure ini sangat efektif untuk menggali informasi seseorang menjadi lebih dan mudah mengungkapkan perasaannya.

Di dalam media sosial, lingkar pertemanan tak hanya pada teman dekat saja. Namun, ada juga kenalan baru, teman lama yang sudah jarang berkomunikasi atau bahkan orang yang tidak dikenal sama sekali.

Radja Erland Hamzah dan Citra Eka Putri dalam tulisannya yang mewawancarai Henni Andini, seorang psikolog mengatakan bahwa ada beberapa hal yang membuat orang mau memberikan kisah-kisah mereka pada media sosial. Pertama, curhat di media sosial dapat memberikan rasa gembira dan senang karena mampu direspon cepat oleh orang yang membacanya.

Hal ini terjadi karena setelah melepaskan keluhan itu, manusia akan melepaskan senyawa kimia berupa hormon di dalam otak yang dapat memberikan perasaan senang atau yang lebih dikenal dengan hormon endorphin.

Kedua terpenuhi kebutuhan untuk didengarkan, luasnya jangkauan pertemanan yang ada di media sosial membuat siapapun yang curhat akan gambang diakses oleh orang lain. Hal itu merupakan bentuk kemudahan agar cerita bisa sampai ke telinga audiens dengan cepat.

Selain itu, dibandingkan curhat dengan teman yang hanya satu orang, curhat di media sosial bisa menggaet perhatian yang lebih luas terhadap apa yang kita utarakan. Persis seperti curhatan-curhatan PRT yang saya dapatkan di Facebook. Dari 10 postingan, jumlah rata-rata mendapat like sebanyak 67 Dan 112 komentar.

Bu Ana dan Farah mengaku telah mengkomunikasikan keluhannya kepada pemberi kerja, sayangnya, pemberi kerja bersikap tak acuh atas keluhan tersebut sehingga membuat ketiganya memilih berhenti dari tempat itu.

“Ya majikan aku malah bilang seperti ini, kan kerja” imbuh Farah. Setelah itu barulah ia membagikan kisahnya ke grup facebook.

Namun, bila terlalu berlebihan dalam menuangkan curhatan tersebut maka hal tersebut dikenal dengan istilah Hyper Honest. Fenomena ini bisa menyebabkan terjadinya cyberbullying, hyperpersonal dan hyper honest bahkan para PRT yang menjadi korban kesewenang-wenangan majikan akan dianggap telah melakukan pencurian data dan penipuan.

Perkembangan teknologi yang pesat pada beberapa tahun terakhir juga melahirkan sebuah kejahatan baru, seperti cyberbullying. Tindakan tersebut merupakan kejahatan verbal yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok. Karena serangan bertubi-tubi dan dilakukan di media sosial sehingga membuat korban sulit untuk membela diri (Dwipayana, Setiyono, dan Pakpahan 2020, 65).

Syukurlah potensi kejahatan tersebut tidak ditemukan dari curhatan yang saya baca. Hanya saja dari beberapa kalimat afirmasi seperti “sama saya juga begitu” terselip beberapa komentar yang sedikit berseberangan.

Hal tersebut bisa dilihat dari komentar pada postingan  PRT yang minta naik gaji karena harga BBM naik. “Lah apa urusane bbm ro majikan. Yo ra sah go motor, jalan kaki kan bisa. Ne wong ea gelem usaha yo tetap angel. Maaf Cuma komen. (lah apa urusannya BBM sama majikan? Ya gak usah bawa motor, jalan kaki kan bisa. Kalau gak bisa usaha ya bakalan susah. Maaf Cuma komen)” ujar salah satu akun yang dibalas dengan “kan saya cuma mau curhat”.

Selain itu, dari sekian banyak komentar curhatan para PRT tersebut, rata-rata memberikan saran agar sang PRT berhenti kerja dan menjadi majikan lain. Seperti salah satu akun yang komentar di postingannya bu Ana

“Kenapa ga keluar bu, masih banyak kok lowongan kerja ART.”

Kemana pun hendak berlabuh selama tidak ada sandaran hukum yang jelas, maka potensi dapat perlakuan serupa tentu merupakan sesuatu yang mungkin. Banyaknya komentar “majikan saya juga begitu” memperkuat pendapat tersebut. Karena itu solusi sesungguhnya bukanlah dengan berhenti bekerja, namun, dengan membuat payung regulasi yang jelas.

Pentingnya UU Perlindungan PRT

Buah perjuangan hampir 20 tahun, sejak 2004 Jaringan Nasional Advokasi (JALA) PRT sudah mengusulkan Rancangan Undang Undang  Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) kepada DPR.

Pada 21 Maret lalu, kabar gembira datang dalam sidang paripurna DPR RI yang menjadikan RUU PPRT menjadi RUU inisiatif DPR RI. Meski demikian, masih ada beberapa tahapan untuk mengesahkan RUU tersebut.

Lalu bagaimana perlindungan hukum bagi PRT sebelum RUU PPRT disahkan?

Pemerintah sejatinya telah menandatangani sejumlah kebijakan hukum, misalnya dengan tegas menolak perbudakan dan penghambaan. Hal tersebut terbukti lewat Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 pada pasal 1 yang memuat sanksi dengan pidana paling singkat 3 tahun dan paling alam 15 tahun, sementara juga berlaku denda paling sedikit Rp.120.000.000 dan paling banyak Rp.600.000.000 bagi mereka yang melakukan perbudakan.

Nur Hidayati, dosen Politeknik Negeri Semarang dalam jurnalnya yang berjudul “Perlindungan terhadap Pembantu Rumah Tangga (PRT) Menurut Permenaker No.2 Tahun 2015” menuliskan bahwa secara yuridis PRT bukanlah bagian dari perbudakan. Namun, Relasi PRT dengan pemberi kerja tidak semudah relasi buruh dan pemberi kerja dalam dunia industrial yang punya regulasi UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sehingga ia mengatakan bahwa PRT justru tidak bebas dari perbudakan.

Namun, hak dan kewajiban PRT sudah diatur dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia nomor 2 Tahun 2015, walau ini sifatnya himbauan dan tidak mengikat.

Seperti Bu Ana yang mengeluhkan soal hari libur, kemudian Suci dan Farah yang mengeluhkan jam kerja yang over. Hal tersebut sudah tertera dalam pasal 7 poin (e) yang berbunyi “mendapatkan waktu istirahat yang cukup” dan poin (f) “mendapatkan hak cuti sesuai dengan kesepakatan”.

Dalam pasal 5 disebutkan bahwa hasil kesepakatan antara PRT dan pemberi kerja  harus diketahui oleh Ketua Rukun Tetangga setempat yang bertujuan untuk memberikan kepastian dan perlindungan bagi kedua belah pihak. Meski demikian,  masalah kesepakatan tetap diserahkan kepada PRT dan pemberi kerja.

Wiwik Afifah dalam tulisannya tentang perlindungan hukum PRT bahwa kesepakatan yang diserahkan kepada PRT dan pemberi kerja akan sulit mencapai kepentingan yang mengedepankan nilai-nilai keadilan. Karena terjadi ketimpangan relasi yang akan memposisikan PRT tunduk pada kepentingan yang lebih memiliki kuasa dalam hal ini ialah pemberi kerja.

Terlebih beberapa dari PRT memiliki tingkat pendidikan yang rendah dan tidak terlalu paham dengan mekanisme kesepakatan tulisan maupun lisan. Hal ini membuktikan kerentanan posisi PRT bahkan sejak awal perjanjian.

Maka dari itu di tulisan lain yang dibuat oleh Gilang Chesar Andreansyah dan Emmilia Rusdiana bahwa pemerintah seharusnya membuat peraturan yang mengatur secara rinci mengenai hak-hak dan kewajiban pemberi kerja kepada PRT begitu pula sebaliknya.

JALA PRT sejatinya sudah mendesak DPR untuk mengesahkan UU PPRT sejak tahun 2004. Kabar baiknya pada 21 Maret 2023, DPR sudah memasukkan RUU PPRT menjadi RUU Inisiatif DPR.

“Nah ini memang harus ada UU-nya,” pungkas Bu Ana.

Urgensi disahkan RUU PPRT lahir dari kisah PRT yang kerap diperlakukan seperti Bu Ana. Sejatinya masih banyak PRT lain yang mengalami kisah serupa atau bahkan lebih parah. Bahkan, banyak dari mereka yang mengalami kekerasan fisik maupun kekerasan seksual

Hal tersebut bisa terjadi karena PRT kerap dianggap masyarakat yang tidak punya kemampuan dan hanya mengandalkan tubuh yang mereka punya. Belum lagi sebutan pembantu yang membuatnya dipandang rendah.  Hal ini dapat melahirkan diskriminasi dan kekerasan. Karena itu Aji Ujianto selaku staf pengembangan kapasitas JALA PRT mengatakan bahwa RUU ini harus segera disahkan.

“Mereka dianggap pekerjaan yang rendah. Profesi yang tidak penting. Sehingga gampang sekali mengalami diskriminasi kekerasan. Tidak dihargai tidak diakui pekerjaannya. Itu mengapa [RUU PPRT] urgent,” ucapnya saat diwawancarai pada (29/03/2023).

Menurut Aji, Permenaker no.2 tahun 2015 tidak cukup kuat untuk memberikan perlindungan bagi PRT. Selain tidak mengikat secara luas, hal tersebut juga berdasarkan peraturan yang berada di atasnya hanya undang-undang otonomi daerah.

Tertulis di konsideran bahwa Permenaker tersebut dibuat dengan merujuk pada UU no. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah. Selain itu terdapat juga Peraturan Pemerintah Nomor 38 tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi, dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota. Sehingga Ari menggangap rujukan ini tidak terlalu pas untuk perlindungan bagi PRT.

“Karena cantolannya hanya undang-undang otonomi daerah. Jadi gak ada instruksi soal perlindungan hak-hak pekerja rumah tangga di undang-undang di atasnya,” ujar Ari.

Hubungan relasi kuasa antara pemberi kerja dan PRT juga turut menjadi alasan mengapa JALA PRT menganggap bahwa persoalan perlindungan PRT tidak bisa hanya diselesaikan lewat Permenaker. Perlu adanya RUU PPRT.

“Ada relasi kuasa. Masalahnya kan disitu,” pungkasnya.

Tulisan ini merupakan bagian dari Program Suara Pekerja yang mendapatkan dukungan dari Voice dan Konde.co

Muhammad Rizki Yusrial

Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga, Aktif di Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Rhetor

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular