Film 'Pesantren' (Sumber Foto: Lola Amaria Production / Instagram @filmpesantren)

Film ‘Pesantren’ Perjuangkan Santri Perempuan Harus Berdaya Seperti Santri Laki-laki

Film ‘Pesantren’ bercerita tentang Pesantren Kebon Jambu di Cirebon yang memandang bahwa perempuan dan laki-laki bisa memberikan manfaat yang sama besar bagi masyarakat. Santri perempuan di pesantren pun diberdayakan dan didorong untuk tidak kalah bersaing dengan santri laki-laki.

Sekilas, pesantren itu tampak biasa.  Bangunannya sederhana, sebagaimana pesantren tradisional di tengah desa pada umumnya. Anak laki-laki yang mengenakan sarung, serta anak perempuan yang mengenakan kerudung, mondar-mandir melakukan berbagai aktivitas–seperti membaca Al-Quran dan ber-shalawat–di dua kompleks yang berbeda.

Pada suatu sore, beberapa santri laki-laki kelas lima duduk menghadap salah satu mentor bernama Diding. Mereka sedang membahas tentang Salat Jumat yang sebetulnya tidak hanya menghubungkan manusia dengan Tuhan, tapi juga manusia dengan sesamanya. Salat Jumat memungkinkan manusia bertemu dengan tetangga atau orang di sekitarnya minimal seminggu sekali.

“Tapi orang Indonesia itu aneh. Salat Jumat yang seharusnya jadi alat bersilaturahmi, malah jadi alat bermusuhan. Ada orang yang gagal jadi kepala di suatu desa, malah bikin jumatan sendiri di desa lain,” kritik Diding.

Baca Juga: ‘Mrs. Chatterjee vs Norway’: Demi Hak Asuh Anak, Negara pun Ibu Lawan

Pondok Pesantren Kebon Jambu Al-Islamy menjadi fokus penceritaan film dokumenter berjudul ‘Pesantren‘ (2019). Pesantren yang terletak di Cirebon ini mengajarkan Islam yang lebih relevan dengan perkembangan zaman dan masyarakat sekitar. Dipimpin oleh seorang perempuan bernama Hj. Mariyah Amva, pesantren ini menjadi tempat penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) pada 2017 lalu.

“Allah itu punya sifat Ar-Rahman, yang artinya Maha Penyayang. Sifat ini berarti bahwa Allah menyayangi semua manusia di dunia, tanpa terkecuali. Sementara vonis apakah seorang manusia akan masuk surga atau neraka, baru akan dijatuhkan di akhirat,” menjadi salah satu pesan dari film ini.

Film ‘Pesantren‘ digarap oleh sutradara Shalahuddin Siregar. Film ini pertama kali diputar di International Documentary Film Festival (IDFA) di Amsterdam pada November 2019 lalu. Terselip pesan dalam film ini: bahwa ajaran Islam di pesantren bisa sangat progresif dan jauh dari radikalisme.

Pemberdayaan Perempuan dalam Pesantren

Pesantren Kebon Jambu memandang perempuan dan laki-laki bisa memberikan manfaat yang sama besar bagi masyarakat. Santri putri di pesantren pun diberdayakan dan didorong untuk tidak kalah bersaing dengan santri putra. 

Salah satu dosen yang mengajar di pesantren, KH Husein Muhammad, mengatakan kalau kepemimpinan laki-laki dalam Islam bersifat kondisional.

Selama ini, laki-laki dijadikan pemimpin karena dianggap lebih pintar dari perempuan. Padahal, kepintaran laki-laki tidak didapatkan dari lahir, melainkan karena dikondisikan oleh masyarakat. Laki-laki didorong untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi  daripada perempuan–yang dianggap tak perlu belajar karena hanya akan jadi istri dan ibu–sehingga menjadi lebih pintar.

Menurut KH Husein Muhammad, Islam punya cara pandang baru atau mubadalah terkait gender. Jika ada perempuan yang pintar, ia juga layak menjadi pemimpin. Dalam hubungan suami istri, pihak yang memiliki kemampuan finansial berkewajiban berbagi dengan pasangannya, baik laki-laki maupun perempuan. Jadi, perempuan tidak boleh dipaksa  untuk menjadi pasangan yang hanya tinggal di rumah dan melayani suami.

Baca Juga: ‘Spider-Man: Across the Spider-Verse’, Rumitnya Hubungan Remaja dan Orang Tua

Dalam penyelenggaraan Kongres Ulama Perempuan Indonesia / KUPI pertama, KH Husein Muhammad juga memandang bahwa larangan bagi perempuan muslim agar tidak berjalan sendirian lebih dari 85 km dari rumah, merupakan larangan yang kontekstual. Larangan itu turun pada abad ke-7 di wilayah Arab yang diselimuti padang pasir. Rumah-rumah warga juga jarang berdiri di sana. Karena itu, saat itu, keamanan perempuan bisa terancam ketika berjalan sendirian jauh dari rumah.

Masyarakat yang patriarkis kerap kali menggunakan dalil agama tersebut untuk membatasi perempuan dan mendiskriminasi perempuan. Perempuan dilarang keluar rumah ataupun bekerja karena hanya berkewajiban melayani suami di rumah. Padahal, jika mampu dan mau, Islam sebetulnya mendukung perempuan untuk berdaya.

Tak hanya dari ceramah, pemberdayaan perempuan juga tampak dalam praktik sehari-hari di Pesantren Pondok Jambu. Di pesantren putri, kita bisa menemukan guru seni perempuan bernama Bibah yang memiliki kemampuan organisasi yang baik. Bibah memimpin santri-santri putri untuk menampilkan pertunjukan seperti angklung dan tarian di acara besar seperti KUPI dan Hari Kelulusan. Bibah juga mengejar pendidikan yang lebih tinggi dengan melanjutkan S2 di Universitas Diponegoro.

Sementara itu, saat penyelenggaraan KUPI di Pesantren Pondok Jambu, santri laki-laki juga diberikan tugas domestik yang seringkali dianggap tabu untuk dilakukan laki-laki. Mereka harus bersih-bersih piring kotor dan menyediakan makan. Tak tampak kesulitan pada diri mereka karena sehari-hari sudah terbiasa melakukannya.

Pesantren yang Relevan dengan Lingkungan Sekitar

Melalui KUPI, di Pesantren Pondok Jambu, para ulama Islam membahas berbagai isu strategis terkait Islam dan pesantren. Salah satunya, bagaimana pesantren bisa menjadi ‘rumah’ bagi anak-anak yang orang tuanya bekerja sebagai buruh migran di luar negeri. 

Pesantren seperti Pondok Jambu yang warga desanya banyak pergi ke luar negeri untuk menjadi buruh migran, bisa memberdayakan anak-anak itu dengan ilmu yang akan bermanfaat bagi masyarakat.

Pembicara lainnya membahas terkait perbedaan dalam Islam yang sebetulnya lumrah. Tapi kata-kata seperti ‘penista agama’ dan ‘kafir’ yang sering dilontarkan oleh muslim kepada sesamanya atau orang dari agama lain, menjadikan perbedaan tersebut hilang.

Kalau kata Diding, “Membaca banyak kitab seharusnya justru membuat kita menyadari bahwa ada banyak perbedaan pandangan dalam Islam, dan perbedaan itu tidak apa-apa.”

Sumber Foto: Lola Amaria Production / Instagram @filmpesantren

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!