Framing pemberitaan kekerasan seksual di media

Framing Pemberitaan Kekerasan Seksual, di Mana Kemanusiaan Media?

Sebagai sarana informasi, mestinya media massa mampu menyajikan berita aktual yang tidak menyudutkan korban. Namun nyatanya, framing pemberitaan kekerasan seksual di media masih minim rasa kemanusiaan. Salah satunya, ketika media mengangkat kronologi pemerkosaan sebagai sesuatu yang lebih penting ketimbang pembelaan terhadap korban.

Media massa merupakan sarana penyampaian informasi yang menyajikan berita-berita aktual kepada khalayak. Pentingnya peran media membuatnya juga dapat menjelma menjadi alat kekuasaan. Seperti dalam pengaruh berita, media dapat membangun suatu kontrol sosial yang ada di masyarakat.

Banyak hal yang perlu diperhatikan dalam penulisan berita oleh media. Setiap media memiliki cara sendiri dalam mengemas suatu berita yang akan disajikan. Realitas yang ada tidak dapat begitu saja ditampilkan apa adanya, tetapi harus melalui mekanisme yang berlaku, termasuk konsep framing. Kepentingan bagi media dapat terlihat dari isu yang dijadikannya sebagai framing dalam pemberitaan—juga menunjukkan seberapa jauh kemanusiaan dan perspektif korban yang dimiliki oleh media tersebut.

Baca Juga: Flexing, Orang Doyan Pamer Kekayaan di Media Sosial Cuma buat Validasi

Rendahnya kemanusiaan media daring dalam memberitakan kasus kekerasan seksual pun menjadi sorotan. Misalnya, pemberitaan media atas kasus pemerkosaan yang dilakukan tiga tersangka, salah satunya masih di bawah umur, kepada korban berinisial EF pada tahun 2016.

Kejadian bermula ketika teman dari EF tengah mendatangi mes karyawan dari EF pada Jumat, 13 Mei 2016. Setelah beberapa kali dilakukan upaya untuk memanggil EF, akhirnya dilakukan pendobrakan. Dari situ ditemukan jasad EF tergeletak dengan kondisi yang sangat mengenaskan. Setelah diselidiki oleh kepolisian, hasil visum menunjukkan bahwa kejahatan pemerkosaan terjadi secara tidak manusiawi dan dilakukan oleh tersangka. Mereka memasukkan berbagai macam benda yang tidak sepantasnya ke organ intim korban.

Pemberitaan yang dilakukan oleh beberapa media, salah satunya detik.com, memunculkan berbagai pro-kontra terkait cara media merekonstruksi kejahatan pemerkosaan. Banyak media berita daring justru lebih fokus menjelaskan kronologi terjadinya pemerkosaan kepada EF, antara lain Kompas, Tribunnews, merdeka.com, dan Okenews. Lantas, bagaimana kaidah pemberitaan media berdasarkan Kode Etik Jurnalistik yang berlaku selama ini?

Kaitan dengan Kode Etik Jurnalistik

Dari kasus tersebut, dapat dilihat bahwa media daring dalam pemberitaannya lebih menjelaskan detail kronologi suatu tindak pemerkosaan. Perlu diingat bahwa jurnalis Indonesia dalam melakukan pekerjaannya harus tunduk serta mengikuti peraturan Undang-undang di Indonesia, seperti Undang-undang Pers dan Undang-undang ITE. Selain itu, dalam penulisan berita jurnalistik, seorang jurnalis juga harus mengikuti Kode Etik Jurnalistik.

Salah satu isi yang mestinya ditonjolkan dalam etika menulis berita oleh jurnalis adalah mengedepankan pembelaan kepada korban. Pada kasus ini, korban yang dimaksud adalah EF serta keluarga. Meskipun korban EF sudah dinyatakan meninggal dunia, pihak keluarga korban tetap mendapatkan pengaruh besar dari pemberitaan. Kemudian bila dihubungkan dengan Kode Etik Jurnalistik, seorang jurnalis yang melakukan peliputan kasus kekerasan terhadap perempuan tidak saja dituntut untuk membuat berita yang berperspektif pada korban, tetapi juga menindaklanjuti sebuah kasus sehingga korban memperoleh keadilan. Terdapat beberapa prinsip yang harus dimiliki, antara lain keberpihakan terhadap korban, mengutamakan pemulihan dan pemberdayaan korban, penegakan HAM dan HAP serta Hak Anak, dan sebagainya.

Baca Juga: Riset Konde.co tentang Pemetaan Kondisi Media Perempuan di Indonesia

Sayangnya, setelah membaca berbagai berita terkait kasus tersebut, terlihat masalah etika masih menjadi masalah utama dalam penulisan berita. Memang pada saat itu, media masih fokus mencari rating serta kata kunci yang mampu meningkatkan jumlah view pada berita. Hanya saja, hal tersebut perlu juga dibarengi dengan etika penulisan berita terkait kekerasan seksual pada perempuan.

Proses visualisasi yang dilakukan oleh media daring, justru lebih mengedepankan cara agar audiens dapat merasakan dan melihat secara langsung proses terjadinya kejahatan, alih-alih menunjukkan bahwa hal itu adalah bentuk kejahatan asusila yang berat dan menimbulkan banyak trauma bagi banyak pihak. Bahkan pada bagian penelusuran berita, yang pertama kali muncul di mesin pencari (search bar) saat menulis kata kunci ‘Kasus E’ selalu berkaitan dengan kata ‘cangkul’. Itu jelas kurang etis apabila dihubungkan dengan korban.

Framing Media Atas Pemberitaan Kekerasan Seksual

Kami mencoba melihat kasus ini melalui teori analisis framing media, khususnya melalui model Robert N. Entman. Analisis framing merupakan cara untuk melihat bagaimana suatu media mengkonstruksi realitas. Hal tersebut dapat dilihat dari bagaimana wartawan media mengkonstruksi peristiwa dan menyajikan kepada pembaca.

Framing model Robert N. Entman dapat dipandang sebagai penempatan informasi yang menonjolkan aspek tertentu dari realitas yang ada. Dalam praktiknya, framing dijalankan oleh media dengan menyeleksi hanya isu tertentu saja dan mengabaikan isu yang lain. Pada akhirnya, cara pandang dan perspektif tersebut digunakan untuk menentukan fakta yang akan digunakan.

Di sisi lain, framing tersebut menonjolkan dan menghilangkan serta menentukan akan dibawa ke mana isu pemberitaan itu. Dari penjelasan tersebut, dapat diambil kesimpulan mengenai upaya wartawan menekankan dan membuat sebuah peristiwa menjadi penting serta menarik untuk diketahui khalayak, melalui penonjolan isu yang diambil.

Pada kasus ini, terlihat bahwa media sangat ingin menonjolkan cara ketiga pelaku melakukan pemerkosaan kepada korban. Seakan-akan jurnalis ingin menonjolkan sisi pemerkosaan yang tidak lazim. Media seperti memiliki pemikiran bahwa masyarakat zaman sekarang sangat menyukai konten atau pemberitaan yang vulgar—jika tidak vulgar, tidak ‘laris’. Oleh karena itu, dalam pemberitaan kasus pemerkosaan EF, banyak media yang tidak menampilkan duka atau melakukan pembelaan pada korban. Alih-alih, mereka malah semakin menyerang korban dengan cara memberitakan kronologi detail pemerkosaan.

Media seharusnya mampu membentuk framing yang lebih menjunjung tinggi kemanusiaan, terutama dalam pemberitaan mengenai kekerasan seksual. Jangan sekadar mengeksploitasi tragedi yang menimpa korban dan tidak memberikan pembelaan yang merupakan haknya.

Gabriella Nusaca dan Maria Devina

Gabriella Nusaca dan Maria Devina adalah mahasiswa Universitas Atma Jaya Yogyakarta angkatan 2020. Berkuliah di jurusan Ilmu Komunikasi membuat kami terbiasa untuk mengutarakan opini kami dalam bentuk tulisan-tulisan.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!