Cuplikan film 'Cross the Line' yang dimainkan Chicco Kurniawan dan Shenina Cinnamon. (Foto: tangkapan layar Konde.co dari YouTube Falcon)

Film ‘Cross the Line’, Janji Manis Penyalur Kerja dan Isu Perdagangan Orang 

Isu perdagangan orang bukan sekadar mitos, terutama di Indonesia. Ia nyata dan ada di sekitar kita. Hal itulah yang berusaha diungkap dalam film 'Cross the Line'.

“Janjinya hidup makmur di negeri orang, ini malah jadi budak di negeri sendiri.”

Penggalan kalimat itu jadi pembuka film ‘Cross the Line’ yang menguak realitas soal kehidupan sepasang kekasih, Maya (Shenina Cinnamon) dan Haris (Chicco Kurniawan). 

Usai lulus sekolah menengah, mereka punya ‘mimpi besar’ buat mengubah nasib perekonomian jadi lebih baik. Mereka yang hidup dari keluarga kurang mampu, terbujuk ‘janji manis’ agen penyalur kerja untuk bekerja ke luar negeri, Singapura. 

Alih-alih berangkat ke Singapura, mereka berdua justru ‘terjebak’ di sebuah pelabuhan. Tak dijelaskan jelas di mana mereka berada. Namun jika dilihat dari dialog ‘negeri sendiri’, mestinya itu adalah pelabuhan di wilayah Indonesia. Bisa jadi perbatasan dengan Singapura. 

Di mana pun itu, yang jelas, kesan muram dan gelap mendominasi perjalanan mereka. 

Baca Juga: ‘Everything Everywhere All at Once’ Melihat Hubungan dengan Orangtua di Film Oscar 2023

Berkedok training sebelum diberangkatkan. Mereka diharuskan bekerja dengan upah kecil, fasilitas kerja tak layak dan korup, hingga rentan jadi korban kekerasan dan pelecehan seksual. Mereka tak bisa keluar begitu saja, sebab ada hutang ‘masuk kerja’ yang harus mereka cicil ke agen penyalur. 

Sebuah realitas ingin dipotret secara apa adanya oleh sutradara Roby Ertanto: janji manis agen penyalur, yang nyatanya adalah penipuan. Mereka mengeksploitasi pekerja dan menjebak para korban untuk (terus) membayar hutang. 

Situasinya jadi serba susah dan sulit menemui jalan pulang. Mereka harus menebus dengan uang berjumlah besar, sedangkan gaji yang mereka terima kecil. Belum lagi potongan-potongan di baliknya.

Haris bekerja sebagai anak buah kapal (ABK). Dia bertugas mengoperasikan dan memelihara kapal dan muatannya. Ia harus bekerja hingga malam hari dengan fasilitas yang tidak memadai. 

Sementara Maya menjadi cleaning service sekaligus pelayan kafe. Dia bukan hanya harus memastikan kebersihan di restoran kapal, namun juga harus mau menghibur tamu-tamu di kapal. Misalnya dengan menyanyikan lagu ulang tahun, hingga ‘menemani’ mereka untuk mendapat uang tambahan.

Kerasnya Hidup di Pelabuhan 

Haris pun dihadapkan dengan realitas pelabuhan. Ada praktik penyelundupan dan perdagangan orang yang dijalankan di pelabuhan. Mayoritasnya adalah para perempuan yang dikirim ke Singapura. Mereka dibawa menggunakan truk berterpal melewati pelabuhan. 

Dia melihat para penjaga pelabuhan ‘disuap’ untuk meloloskan truk itu. Ada kode-kode yang jadi bahasa komunikasi mereka. Inilah yang menjadi ‘sumber pemasukan’ yang menggiurkan bagi oknum-oknum pelabuhan. 

Di sisi lain, Maya yang bekerja di kafe juga rentan mendapatkan pelecehan dari tamu yang berkunjung. Situasi kerja yang tak layak dan gaji kecil, juga menjadikan para pelayan perempuan akhirnya menerima tawaran tamu. Ada yang menemani mabuk hingga melakukan hubungan seks. 

Situasi sulit kemudian menimpa Maya. Ibunya sakit dan membutuhkan uang yang tak sedikit. Dia tak bisa ke mana-mana, sebab dia ‘tak berkutik’ untuk bisa keluar pelabuhan itu. Dia pun tak punya uang, baik untuk mengirim ke keluarga atau menebus utangnya yang berjumlah puluhan juta Rupiah kepada penyalur.

Maya mulai berpikir untuk menerima tawaran ‘germo’ di pelabuhan itu. Sementara Haris yang merasa bertanggung jawab terhadap nasib Maya, melakukan berbagai cara buat mendapatkan uang besar dengan cepat. Haris akhirnya harus menerima kerja sama dengan pelaku penyelundupan dan perdagangan orang di pelabuhan. 

Baca Juga: Film ‘Thappad’: Perjuangan Perempuan Melawan Normalisasi KDRT

Hingga di satu titik, ibu Maya ternyata keburu meninggal dunia sebelum Maya bisa pulang. Padahal, dia sudah sempat membayar lunas utangnya dari uang yang didapat Haris dari pekerjaan nekatnya. 

Maya yang kembali gamang, memutar arah tak jadi pulang. Dia malah menemui ‘germo’ di pelabuhan itu, yang membawanya ke Singapura. 

Sementara Haris, yang tahu Maya sudah pulang, nekat menjalankan kembali ‘kerja sama’ penyelundupan orang. Agar dia bisa punya uang untuk membayar hutang tebusan dan menyusul Maya pulang. 

Di momen itulah, suatu malam, Haris menjalankan aktivitas pengecekan truk yang membawa selundupan orang. Dia menyobek terpal dan hal yang mengejutkannya, salah satu orang yang diselundupkan di truk itu adalah Maya. 

Dua aktor dan aktris, Chicco Kurniawan dan Shenina Cinnamon, membangun chemistry yang baik di sepanjang film ‘Cross the Line‘. Bagiku, ini adalah film terbaik yang diperankan Shenina. Karakternya bisa dibangun dengan pas dan natural. Keduanya bisa menghadirkan suasana sepasang kekasih yang sedang kesusahan, rapuh sekaligus nekat, secara nyata.

Meskipun, ada juga adegan yang semestinya tak perlu. Seperti pertengkaran yang terkesan mereka ‘paksakan’ di tengah pengejaran para sindikat perdagangan orang. 

Baca Juga: ‘Onde Mande!’ Dilema Warga Desa Sigiran di Tengah Mimpi dan Kemiskinan

Roby Ertanto sebagai sutradara sebetulnya sudah cukup jeli mengangkat tema penting dan tak banyak diangkat: soal isu perdagangan orang yang menampilkan akibat percaya janji manis penyalur kerja. Ini tentu saja, hal yang (begitu dekat) ada di sekitar kita.  

Kendati demikian, dalam penceritaannya, ‘Cross the Line’ tampaknya hanya ingin menunjukkan realitas dibumbui romansa. Tidak ada tindakan lebih lanjut untuk mengadvokasi isu ini dan menunjukkan ‘pembebasan diri’ dari tokoh perempuannya.  

Film ini memang sudah tayang sejak akhir 2022 lalu, dan kembali muncul di Netflix belakangan ini. Namun isunya terasa tak lekang oleh waktu. Kamu masih bisa menikmatinya di sela-sela waktu santaimu. 

Ingat, hati-hati dengan janji manis penyalur kerja ya!

Jika kamu tak mau menyesal kemudian.

Foto: cuplikan trailer film ‘Cross the Line’ yang dimainkan Chicco Kurniawan dan Shenina Cinnamon. (tangkapan layar Konde.co dari YouTube Falcon)

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!