Kemerdekaan negara Indonesia belum berpihak kepada perempuan

78 Tahun Indonesia Merdeka, Sudahkah Negara Ini Berpihak pada Perempuan?

Pidato kenegaraan Presiden RI Joko Widodo pada momen Hari Kemerdekaan menuai kritik aktivis. Tak ada fokus pada isu perempuan. Apakah ini jadi tanda, negara ini memang belum berpihak kepada perempuan?

Indonesia merayakan hari jadi kemerdekaan negara ke-78 pada 17 Agustus lalu. Namun, konteks kemerdekaan saat ini masih belum berpihak kepada perempuan.

Hal ini tampak pada pidato kenegaraan Presiden RI Joko Widodo di hadapan DPR / MPR RI pada 16 Agustus 2023 lalu. Konteksnya disoroti oleh Solidaritas Perempuan, organisasi feminis yang bergerak bersama perempuan akar rumput dalam memperjuangkan kedaulatan mereka.

“(Pidato kenegaraan) masih menunjukkan keberpihakannya pada pembangunan ekonomi kapitalistik. Yang ditopang oleh sistem politik patriarkis yang kerap mengabaikan kelompok-kelompok subordinat, terutama perempuan,” tulis Solidaritas Perempuan dalam rilisnya.

Pembangunan Mengabaikan Perempuan dan HAM

Menurut Solidaritas Perempuan, ketidakberpihakan presiden terlihat dari tiadanya kalimat yang menyebutkan kata ‘perempuan’. Mereka menilai, negara memang tidak memperhatikan pembangunan yang didasari pada semangat keadilan yang dimulai dari tatanan sistem yang setara. Kesetaraan yang dimaksud ditinjau dari sisi sosial, ekonomi, budaya, maupun politik.

Pembangunan seharusnya dapat dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia. Namun, kapitalisme membuat pembangunan malah menjadi proses yang memiskinkan dan memarjinalkan kelompok-kelompok tertentu. Termasuk kelompok perempuan.

“Artinya, Presiden gagal melihat dengan jeli akar persoalan yang memunculkan ketimpangan yang dalam,” ujar mereka.

Baca Juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (1)

Bukan hanya mengabaikan perempuan dalam diskursus pembangunan. Pidato Presiden Joko Widodo juga kontradiktif ketika ia menyebut, presiden mengemban tanggung jawab besar untuk menyelesaikan permasalahan rakyat. Di sisi lain, negara hingga saat ini kerap mengabaikan pemenuhan hak asasi manusia (HAM) dan hak asasi perempuan.

Praktik-praktik diskriminasi masih sangat marak terjadi kepada perempuan dan kelompok marjinal. Diskriminasi tersebut menyerang tubuh dan ekspresi mereka, hingga menghancurkan ruang hidup dan hasil kerja mereka. Negara terang-terangan melanggengkan praktik pelanggaran HAM. Alhasil, harapan perempuan akan keadilan dan kedaulatan kian sirna.

Komodifikasi Anak Muda dan Kerja Sama Internasional

Generasi muda juga kerap disebut-sebut dalam wacana pembangunan negara. Dalam pidato kenegaraan presiden, misalnya, disinggung bahwa puncak bonus demografi di tahun 2030-an bakal menjadi peluang besar untuk meraih Indonesia Emas 2045.

Namun, dalam prospek itu, anak muda hanya dipandang sebagai komoditas dan investasi pembangunan belaka. Nyaris tidak ada pelibatan dalam merencanakan dan/atau membuat keputusan bagi diri mereka sendiri maupun orang lain.

“Perebutan makna keterlibatan orang muda menyebabkan ketidakjelasan sejauh mana orang muda terlibat dalam pembangunan,” Solidaritas Perempuan menulis. “Hal ini terlihat ketika perempuan muda melakukan perlawanan untuk mendapatkan haknya. Justru disebut sebagai penghambat kemajuan negara.”

Baca Juga: Edisi Kemerdekaan: 6 Perempuan Muda Marjinal Bergerak, Jauh Dari Hingar-Bingar (2)

Kerja sama internasional yang terjalin antara Indonesia dan negara-negara luar pun justru mengancam kedaulatan rakyat. Dalihnya, sebagai ‘peluang’ untuk menaikkan relevansi Indonesia di kancah internasional. Namun kenyataannya, berbagai kesepakatan justru berisiko mengontrol sumber daya.

Bukannya memenuhi kebutuhan dan kepentingan rakyat dan perempuan. Peran Indonesia dalam G20, ASEAN, dan berbagai perjanjian perdagangan internasional lainnya justru menindas.

“Langkah tersebut justru menghimpit Indonesia dalam kontestasi ekonomi politik global yang patriarkis dan kapitalistik.”

Hilirisasi dan Investasi, Destruktif Bagi Perempuan dan Lingkungan

Solidaritas Perempuan juga mengkritik wacana hilirisasi komoditas ekstraktif. Pemerintah melihatnya sebagai ‘jendela kesempatan’ untuk membawa Indonesia keluar dari ‘jebakan pendapatan menengah’. Jadi, Indonesia dapat mencapai titel ‘negara maju’.

Namun hal itu lebih cenderung mengacu pada perhitungan PDB dan penambahan nilai komoditas ekspor. Padahal, seharusnya ada kolektif untuk mendefinisikan pembangunan dan kesejahteraan sesuai dengan gambaran rakyat. Solidaritas Perempuan pun berpendapat, hilirisasi akan memperparah kerusakan lingkungan dan sumber penghidupan perempuan.

Salah satu persoalan lain yang masih terjadi di Indonesia adalah investasi yang tidak berpihak kepada rakyat dan perempuan.

“Reformasi struktural terutama penyederhanaan regulasi serta kemudahan perizinan, telah menjadi praktek yang memberikan karpet merah terhadap investasi,” kata Solidaritas Perempuan.

Dalam hal ini, negara tidak menganggap penting persetujuan rakyat dalam mencetuskan perizinan. Sehingga muncul beragam konflik antara rakyat dengan korporasi. Perempuan jelas terdampak serius: merugi secara ekonomi, tatanan sosial hancur, hingga kehilangan pengetahuan.

Menggugat Kemerdekaan Perempuan

Kemerdekaan perempuan di Indonesia pun dipertanyakan. Solidaritas Perempuan menyoroti beberapa hal dari pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo.

Pertama, menurut mereka, agenda perempuan tidak lagi menjadi agenda negara. Hal itu terlihat dari bagaimana perempuan tidak disebutkan dalam pidato kenegaraan.

“Sehingga berbagai tindakan negara sama sekali tidak mencerminkan semangat berbangsa dan bernegara. Di mana kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat, termasuk perempuan.”

Kedua, mereka menilai negara telah secara aktif memiskinkan dan menghancurkan kedaulatan perempuan atas hidup dan sumber-sumber penghidupannya. “Bahwa dalam kemerdekaan Indonesia yang telah menapaki tahun ke-78, belum ada kemerdekaan bagi perempuan.”

Indonesia kini menyongsong masa kepemimpinan negara yang baru. Tentunya jangan sampai kepemimpinan berikutnya masih meneruskan keburukan yang lalu.

Negara mestinya memiliki modal politik dan keberanian untuk memprioritaskan agenda perempuan. Sebab, perempuan juga bagian dari rakyat Indonesia. Dan karenanya, berdaulat untuk menentukan arah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!