Pekerja rumah tangga (PRT) dan masyarakat sipil akan gelar aksi mogok makan di depan gedung DPR.

Desak Pengesahan RUU PPRT, Masyarakat Sipil Akan Gelar Aksi Mogok Makan di Depan Gedung DPR

Nasib pekerja rumah tangga (PRT) yang menjadi korban TPPO seringkali terabaikan. Apa lagi, RUU PPRT tidak kunjung disahkan. Sejumlah perwakilan masyarakat sipil pun akan menggelar aksi mogok makan bergilir di depan gedung DPR sebagai bentuk protes dan solidaritas terhadap PRT.

Sudah 19 tahun, para pekerja rumah tangga (PRT) menantikan adanya payung hukum untuk melindungi mereka. Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) sudah sejak lama diajukan.

Namun, perjalanan mereka masih belum menemui titik terang. Malah, pemerintah seakan mengabaikan perlindungan hak-hak PRT, yang seharusnya bisa dijamin oleh RUU PPRT.

Padahal, laporan kasus kekerasan terhadap PRT selalu muncul. Ditambah lagi, PRT menjadi salah satu kelompok paling rentan dalam tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tidak adanya perlindungan hukum membuat negara terkesan mengabaikan hak-hak PRT.

Berangkat dari keprihatinan tersebut, sejumlah perwakilan masyarakat sipil akan menggelar Aksi Mogok Makan Bergilir atau Berpuasa Massal di depan Gedung DPR Jakarta pada Senin (14/8/2023) mendatang. Aksi itu merupakan bentuk solidaritas atas korban PRT yang disandera dalam kelaparan tak terlihat.

Kasus Kekerasan dan Perdagangan Orang, PRT Jadi Korban

Laporan kekerasan terhadap PRT terus bermunculan. Menurut catatan Jala PRT, setidaknya terdapat 1.635 kasus kekerasan berlapis terhadap PRT sepanjang tahun 2017-2022. Itu belum termasuk berbagai kasus lainnya yang tidak dilaporkan.

Di sisi lain, kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) juga masih menjadi masalah serius di Indonesia. Sebanyak 2.648 orang menjadi korban TPPO selama tahun 2019-2023, menurut data Badan Reserse Kriminal Kepolisian Negara RI (Bareskrim Polri). Sementara itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) mencatat, paling tidak 1.581 orang di Indonesia menjadi korban TPPO pada tahun 2020-2022.

Di antara korban-korban TPPO, terdapat pula para PRT. Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) mencatat total aduan 2.597 kasus perdagangan orang yang mereka tangani sejak 2012-2020. Dari angka tersebut, PRT menjadi korban terbesar sebanyak 58.5 persen (1.519 kasus).

Kendati demikian, situasi darurat kekerasan dan TPPO di Indonesia justru tidak dibarengi dengan keseriusan DPR untuk menindaklanjuti pembahasan RUU PPRT. DPR terkesan ‘menyandera’ pembahasan RUU tersebut selama dua dekade. 

Jalan Panjang RUU PPRT

Pemerintah dinilai mencontohkan praktik buruk dalam proses legalisasi. Salah satunya, memaksakan pemberlakuan Omnibus Law Cipta Kerja. Tidak kunjung disahkannya RUU PPRT juga jadi contoh buruknya proses legalisasi hukum di Indonesia. Pemerintah kerap tidak mendengar gelombang kritik dan penolakan atas hal tersebut.

“Hal serupa dirasakan oleh para Pekerja Rumah Tangga (PRT),” tulis Aliansi Mogok Makan untuk UU PRT. “Yang menunggu sekitar 19 (sembilan belas) tahun untuk Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) menjadi RUU Inisiatif DPR.”

Perjalanan RUU PPRT seakan tak berujung. Sejak disusun pada 2001, RUU PPRT diajukan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 2004. Di tanggal 1 Juli 2022, RUU tersebut melalui proses penetapan di Baleg. Setelah itu, KSP membentuk Gugas UU PPRT 2002.

Pada tanggal 18 Januari 2023, Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan untuk percepatan pembahasan dan pengesahan RUU PPRT. Akhirnya RUU PPRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR oleh Ketua dan Pimpinan DPR pada 21 Maret 2023. Namun, meski pemerintah sudah mengirimkan Surpres 5 April dan DIM RUU PPRT pada 16 Mei 2023 ke DPR, RUU tersebut tak kunjung dibahas dan disahkan dalam masa sidang Mei-Juli 2023.

Baca Juga: PRT Digaji Majikan Tapi Tak Bisa Diperlakukan Semena-mena

Melansir VoA Indonesia, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mengkritik DPR. Sebab menurutnya, mereka tidak memiliki komitmen dalam pembahasan RUU PPRT. Ia juga mengatakan, pengesahan sejumlah RUU lainnya hanya membutuhkan waktu yang tidak lama atau hitungan hari hingga bulan. Sebagai contoh RUU KPK, RUU Cipta Kerja, dan RUU Mahkamah Konstitusi.

“Jadi sebenarnya tidak lagi ada alasan DPR untuk menunda-nunda. Ini masalahnya DPR tidak punya komitmen,” jelas Isnur di Jakarta, Minggu (6/8/2023).

Isnur menambahkan belum ada payung hukum yang dapat melindungi pekerja rumah tangga. Sebab, Undang-Undang Ketenagakerjaan yang ada tidak mengatur tentang PRT. Sehingga PRT tidak dapat maju ke pengadilan hubungan industrial ketika mengalami sengketa ketenagakerjaan dengan majikan. Ia menyebut belasan kantor LBH yang berada di jaringan YLBHI juga akan turut serta dalam aksi mogok makan untuk mendukung perjuangan PRT.

Aksi Mogok Makan

PRT sampai saat ini masih harus bekerja tanpa kejelasan perlindungan hukum. Hal itu seakan memperjelas bahwa Indonesia masih membiarkan praktik perbudakan modern. Desakan pengesahan RUU PPRT pun terus bermunculan. 

“Selama 19 tahun RUU PPRT menjadi sandera, sebagaimana PRT yang menjadi sandera dalam perbudakan modern dan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO),” tulis Aliansi Mogok Makan untuk UU PRT.

Oleh karena itu, berbagai perwakilan sipil yang tergabung sebagai Aliansi Mogok Makan untuk UU PRT akan menggelar aksi mogok makan di depan Gedung DPR, Jakarta, Senin (14/8/2023) mendatang. Selain di Gedung DPR, aksi mogok makan bergilir atau puasa massal juga dilakukan di depan gedung DPRD di sejumlah wilayah lainnya.

Aksi mogok makan dilakukan sebagai bentuk keprihatinan dan solidaritas kepada para PRT. Penundaan pembahasan RUU PPRT, dilihat sebagai bentuk pengabaian terhadap PRT korban penyanderaan dalam kelaparan tak terlihat. 

Dilansir dari VoA Indonesia, seorang PRT di Yogyakarta, Jumiyem, menyebut akan mengikuti mogok makan tersebut. Ia akan beraksi bersama keluarga dan jaringan masyarakat sipil di depan kantor DPRD Yogyakarta. Menurut Jumiyem, aksi juga akan dilakukan oleh para PRT lain di tempat kerja atau rumah majikan mereka.

“Kami berharap dan meminta pimpinan dan anggota DPR agar mengesahkan RUU PPRT menjadi undang-undang,” ungkap Jumiyem.

Koordinator Jala PRT, Lita Anggraini, mengajak masyarakat sipil untuk mengikuti aksi dalam rangka memberikan dukungan bagi PRT, serta mendorong pengesahan RUU PPRT.

“Kami mengajak rekan-rekan masyarakat sipil, mari kita mogok makan atau berpuasa sesuai dengan kekuatan masing-masing,” ujar Lita Anggraini, dalam konferensi pers di Jakarta, Minggu (6/8/2023).

“Paling tidak kalau tidak makan rasanya seperti apa,” katanya.

Salsabila Putri Pertiwi

Redaktur Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular