Komnas Perempuan Soal Dugaan Pelecehan di Miss Universe: Harus Penuhi Hak Korban di UU TPKS

Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian para pelapor di kasus dugaan pelecehan seksual yang terjadi di Miss Universe Indonesia tahun 2023. Mereka mendesak agar ada kepastian hak-hak korban mengacu pada amanat UU TPKS.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) merespons dugaan elecehan seksual dalam penyelenggaraan kontes kecantikan Miss Universe IndonesiaPeristiwa itu terjadi saat body-checking yang dilakukan oleh peserta Miss Universe tahun ini.

Komnas Perempuan mendorong, tindak lanjut pelaporan kasus tersebut perlu mengacu pada amanat Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Hal terpenting yaitu memastikan pemenuhan hak-hak korban. Baik melalui penegakan hukum, penyelenggaraan layanan dan upaya pencegahan.  

Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani menyampaikan apresiasinya atas keberanian korban untuk melaporkan dugaan pelecehan seksual yang dialaminya. Ia juga menekankan terhadap urgensi pemenuhan hak-hak korban.   

“Keberanian korban untuk melaporkan kasusnya perlu kita apresiasi. Kita perlu mendukung upaya pemenuhan hak-hak korban. Termasuk dengan tidak menjadikan kritik pada kontes kecantikan sebagai alat pembungkam korban. Komnas Perempuan juga tengah mendalami pengaduan ini karena selain tindakan yang bersifat umum pada peristiwa body checking, juga ada tindakan yang berbeda yang dialami oleh masing-masing individu,” ujar Andy melalui keterangan resmi yang diterima Konde.co, Rabu (9/8). 

Baca Juga: 21 Tahun Catahu, Komnas Perempuan Temukan Kekerasan Khusus Kelompok Rentan

Dalam penjelasan oleh kuasa hukum kepada Komnas Perempuan pada Selasa, 8 Agustus 2023, sejumlah pihak melakukan perisakan siber (cyber bullying). Cyber bullying itu dilakukan terhadap pelapor kasus  karena body checking dianggap sebagai risiko mengikuti kontes kecantikan. 

Kecantikan perempuan merupakan konstruksi sosial budaya sehingga bersifat relatif, beranekaragam, dan dapat berubah dari waktu ke waktu. Kontes kecantikan dikritik karena menerapkan standarisasi kecantikan yang merujuk pada konsep barat. Sarat komersialisasi dan berpotensi mengkonstruksi perempuan sebagai objek seksual semata. 

“Cyber bullying itu semakin menekan korban yang saat ini tengah berupaya mengatasi rasa trauma, malu dan takut dari peristiwa body-checking,” imbuhnya. 

Dalam pengaduannya, kuasa hukum menyampaikan bahwa body-checking tidak menjadi pengetahuan awal kontestan. Sebab diselenggarakan dalam ruangan yang tidak tertutup dan dihadiri lawan jenis. Di mana pelapor sebagai kontestan finalis Miss Universe Indonesia diminta untuk melepaskan baju. Hingga, diperiksa hingga ke bagian intim, difoto dan direkam. 

Ketika menyatakan keberatan, pihak penyelenggara justru menekankan bahwa body-checking ini bersifat wajib dan wajar dilakukan. Akibatnya, korban merasa malu. Mereka merasa tertekan dan ter-intimidasi. Korban juga mengkhawatirkan bahwa foto-foto dan video selama body check akan tersebar. Karena memang ada CCTV di sekitar tempat tersebut.

“Komnas Perempuan mengidentifikasikan adanya dugaan pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual fisik dan pengambilan foto tanpa persetujuan yang menyebabkan korban merasa dipermalukan dan direndahkan martabatnya,” jelas Alimatul Qibtiyah, komisioner Komnas Perempuan.

Baca Juga: ‘Harus Ada Partisipasi Publik’, Masukan Pembahasan Turunan UU TPKS

Dalam mendukung korban untuk bersuara dan mengklaim hak atas keadilan dan pemulihannya atas dugaan tindak pidana kekerasan seksual yang dialaminya, Komnas Perempuan merekomendasikan Kepolisian RI untuk menerapkan UU TPKS baik untuk tindak pidana hukum acara maupun pemenuhan hak-hak korban. 

Dalam konteks ini, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi meminta Kepolisian untuk segera melakukan pengamanan. Baik terhadap video, CCTV, foto pada saat body checking baik yang disimpan dan dikuasai oleh panitia dan/atau orang-orang yang berada di tempat pada peristiwa itu.

 “Upaya pengamanan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi potensi penyebarannya,” imbuh Aminah.

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Rainy Hutabarat mengingatkan bahwa dalam konsep Bisnis dan HAM, korporasi perlu patuh dan turut mendukung upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, sebagai bagian tidak terpisahkan dari pemajuan HAM.

“Dalam hal ini, penyelenggara di Indonesia maupun pemilik lisensi Miss Universe perlu mampu memastikan penyelenggaraan kegiatan secara bermartabat, berperspektif inklusif dan melibatkan persetujuan dan perlindungan hak privasi peserta, saat ini dan juga di masa mendatang,” pungkas Rainy. 

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular