dunia kerja inklusif

Listen Include Respect: Bangun Dunia Kerja Inklusif untuk Disabilitas Intelektual

Di tengah sistem ekonomi kapitalisme, semua pekerja dituntut untuk diperas bekerja seefisien mungkin. Lalu seperti apa dunia kerja yang inklusif untuk penyandang disable?

Selain diperas bekerja seefisien mungkin, bahkan ada istilah revenue per employee (RPE) yang dipakai untuk merumuskan efikasi dari keuntungan suatu perusahaan dibagi jumlah pekerjanya. Semakin besar pemasukan dan semakin sedikit pekerja, semakin tinggi juga RPE yang dihasilkan suatu perusahaan.

Maka dari itu, perusahaan umumnya mencari pekerja multitalenta. Misalnya, pekerja Social Media Specialist harus paham metode menganalisis data demografi atau sosiografi audiens dan engagement rate dalam media sosial. Ia juga diharapkan paham target pasar dan metode menulis wara yang menarik. Akan semakin dipuja jika dirinya punya kemampuan edit video, desain grafik, atau juga berbicara di depan publik lewat Live. Namun, penghasilan yang diterima tetap setara satu pekerja saja.

Tingkat kompetisi mencari pekerjaan menjadi tajam saat sumber daya manusia menumpuk dan perusahaan melakukan efisiensi layaknya demikian. Terlebih lagi, begitu tajam dan berliku untuk orang dengan disabilitas, bahkan sejak proses pelamaran. 

Kita sering kali menjumpai syarat dalam lowongan kerja yang terkadang bikin mengernyitkan dahi: “Sehat jasmani dan rohani”. Dunia kerja yang belum inklusif menyebabkan orang dengan disabilitas terpaksa membuka usaha sendiri

Baca juga: Lowongan Pekerjaan yang Diskriminatif pada Disabilitas

Disabilitas intelektual, misalnya, memiliki keterbatasan perihal kemampuan dan fungsi kognitif yang membuat mereka belajar dengan cara yang berbeda atau lama. Pihak perusahaan pasti akan cenderung menolak lamarannya karena sistem “efisiensi pekerja” yang dibangun kapitalisme ini. Padahal, penting untuk perusahaan membangun dunia kerja yang inklusif karena pada dasarnya setiap perusahaan memiliki kewajiban untuk memberikan greater good dari apa yang ia peroleh dalam pemasukan.

Membangun dunia kerja yang inklusif bagi orang dengan disabilitas intelektual adalah suatu perjalanan panjang, bukanlah suatu “checklist” yang ada ujungnya. Dalam membantu perusahaan mencapai itu, Inclusion International and Down Syndrome International mengeluarkan panduan perihal membangun tempat kerja inklusif untuk orang dengan disabilitas intelektual, yaitu Listen, Include, Respect. Panduan ini dibuat dari hasil riset yang dilakukannya bersama lebih dari 1.500 orang dengan disabilitas intelektual beserta keluarga pendamping dari hampir 100 negara.

Memahami definisi perusahaan yang inklusif bagi orang dengan disabilitas

Sebelum menjadi inklusif, perusahaan perlu tahu terlebih dahulu apa definisinya. Apakah inklusif semata hanya memenuhi kuota orang dengan disabilitas yang diperlukan? Sebenarnya tidak begitu. Dalam situs web Listen Include Respect, inklusif dijelaskan sebagai suatu proses panjang dengan pandangan bahwa tidak ada orang yang terlalu “disabilitas” untuk mengambil bagian. Semua orang bisa berperan dan berkontribusi dengan makna dalam komunitasnya.

Maka dari itu, penting untuk memberikan hak orang dengan disabilitas intelektual dengan sama. Dengar suaranya, hargai keputusannya, dan beri kesempatan mereka melakukan advokasi diri. Pahami bahwa orang dengan disabilitas intelektual memiliki hambatan tertentu sehingga harus didukung oleh perusahaan lewat akomodasi layak. 

Selain itu, stigma dan stereotip soal orang dengan disabilitas harus dihapuskan untuk mengurangi diskriminasi dalam lingkungan kerja sehingga mereka dapat bekerja sesuai dengan kapabilitas mereka.

Membentuk dunia kerja yang inklusif

Langkah awal yang perlu dilakukan oleh perusahaan adalah menghapus syarat diskriminatif pada orang dengan disabilitas dalam lembaran lamaran kerja. Selain “Sehat jasmani dan rohani”, poin yang mengharuskan seseorang lulus sarjana atau sekolah tinggi juga diskriminatif untuk orang dengan disabilitas.

Lalu, dalam proses rekrutmen, perusahaan sebaiknya menggunakan bahasa yang mudah dipahami, juga tidak membuat tes yang menguji berdasarkan kecepatan dan ketepatan pelamarnya. Sebab, ini akan sulit bagi orang dengan disabilitas intelektual yang memiliki keterbatasan secara kognitif.

Setelah menerima orang dengan disabilitas intelektual, hargai hak mereka layaknya pekerja lain. Benefit yang mereka terima, seperti gaji atau jaminan sosial, sebaiknya setara dengan pekerja lainnya. Terlebih lagi, mereka masih kesulitan di tengah kondisi negara yang belum sepenuhnya menghargai hak hidup mereka. 

Perusahaan juga perlu ambil andil membuat standar operasional prosedur (SOP) terkait pencegahan dan penanganan tentang kekerasan serta diskriminasi dalam ruang lingkup kerja. Dengan begitu, setiap pekerja, terlepas dari identitasnya, akan dapat merasa aman selama bekerja. Selain itu, sediakan juga pelatihan dan asesmen demi pengembangan kapasitas pekerja, termasuk juga yang dengan disabilitas.

Orang dengan disabilitas membutuhkan pendamping personal selama ia bekerja untuk menghindari risiko terjadinya eksklusivitas dalam tempat kerja. Karakteristik pendamping seharusnya suportif, peduli, memberikan ia waktu berbicara, dapat dipercaya, punya pengalaman atau pengetahuan terkait disabilitas yang dimiliki, sabar, dan mampu menjadi penengah jika dibutuhkan. 

Menghapus stigma tentang orang dengan disabilitas intelektual

Stigma yang biasa dihadapkan oleh orang dengan disabilitas intelektual menghambat mereka secara internal dan juga eksternal. Misalnya, mereka dianggap anak kecil sehingga perlu dipisahkan dari orang yang bukan disabilitas intelektual. Kemampuan kognitif mereka yang terbatas membuat mereka menerima stigma tidak bisa belajar, bekerja, berkomunikasi, atau mandiri. 

Pada kenyataannya, mereka pun mampu. Misalnya, Morgan Maze adalah seorang dengan sindroma Down yang mendirikan Yayasan Peduli Sindroma Down Indonesia (YAPESDI) dan mampu menjadi representasi serta melakukan advokasi di depan berbagai organisasi internasional dunia. Morgan kini juga bekerja di suatu kafe atas keinginannya sendiri. Ia menjadi salah satu bukti konkret bahwa orang dengan disabilitas intelektual juga dapat bekerja dan mengambil keputusan asal lingkungan dapat mendukung kebutuhan dirinya.

Metode berkomunikasi dengan orang dengan disabilitas intelektual

Dengan keterbatasan mereka, orang dengan disabilitas intelektual butuh bantuan perihal komunikasi di tempat kerja. Mereka butuh waktu yang lebih lama untuk mencerna kata dan merespons, terlebih saat masih pada masa adaptasi. Pihak perusahaan pun harus memastikan bahwa setiap pertemuan menggunakan bahasa yang sederhana karena mereka tidak paham bahasa rumit atau singkatan. Mereka juga senang dengan visual dan mudah bosan dengan teks panjang.

Selain itu, kepekaan mereka dalam mendengar membuat mereka mudah terganggu dengan suara bising. Berikan juga kesempatan untuk orang dengan disabilitas mencoba dan belajar hal baru. Terpenting, walau diberikan pendamping, mereka juga perlu untuk diajak berkomunikasi selayaknya mereka ada.

Selayaknya orang yang bukan disabilitas intelektual, pekerja lainnya dalam perusahaan sebaiknya diajarkan untuk tidak menanyakan persoalan pribadi. Misalnya, tidak tanya soal riwayat hidup atau medis yang personal. Menghargai orang dengan disabilitas intelektual juga berarti tidak mencemooh gerakan tubuh dan gaya komunikasinya.

Peran pemerintah bisa lebih kuat dalam mewujudkan dunia kerja yang inklusif

Pemerintah sudah seharusnya membentuk ruang aman dan nyaman untuk warga negaranya. Namun, sampai kini, orang dengan disabilitas masih mengalami diskriminasi berlapis, bahkan kekerasan yang tidak berujung pada keadilan. 

Mereka dianiaya karena dianggap sebagai “beban” atau bahkan jadi objek pelampiasan belaka. Orang dengan disabilitas pun kesulitan punya akses pendidikan yang tinggi, terlebih jika finansial yang tidak memadai. Oleh karena itu, rantai setan ini dapat diputus salah satunya adalah mewujudkan dunia kerja yang inklusif.

“Fasilitas yang memadai untuk kelompok disabilitas dalam perusahaan itu adalah wujud investasi besar,” ucap Ketua Paguyuban Difabel Sehati Sukoharjo, Edy Supriyanto, dalam kunjungan ke Rumah Sakit Amal Sehat, pada Kamis, (6/7).

Baca juga: Yuk, Pekerjakan Penyandang Disabilitas: Ini Penting Buat Perusahaan Agar Inklusif

Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (CRPD)  yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 dan menerbitkan 7 Peraturan Pemerintah (PP) sebagai amanat dari Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Sayangnya, pihak perusahaan masih banyak yang lepas tangan soal aturan dan kewajibannya itu

Maka dari itu, sanksi terkait kurangnya pemenuhan kuota sesuai aturan negara ini seharusnya diketatkan. Sebaliknya, pemerintah juga dapat memberikan bantuan dana dan gratifikasi bagi perusahaan yang sudah mulai menjalankan dunia kerja yang inklusif. Terlebih, di tengah sistem ekonomi yang dijelaskan di awal, tentu hibah dana dari pemerintah bisa menjadi faktor yang mendorong perusahaan untuk lebih inklusif. Indonesia dapat meniru apa yang dilakukan oleh pemerintah negara bagian Australia Barat, yaitu menghibahkan Rp1 Miliar bagi perusahaan yang mempekerjakan orang dengan disabilitas

Selanjutnya, perlu adanya definisi ulang terkait konsep dari “disabilitas” yang sebenarnya selalu berkembang. Seharusnya “disabilitas” di sini tidak fokus pada kekurangan yang dimiliki sekelompok orang semata, tetapi juga pada faktor yang menghambat mereka untuk diterima di tengah masyarakat. 

Sebelumnya, kita mungkin pernah mendengarkan penjelasan terkait disabilitas dengan analogi kacamata. Orang-orang yang matanya minus atau plus membuat mereka sebenarnya disabilitas dalam melihat. Namun, akomodasi layak seperti kacamata, operasi lasik, atau lensa kontak yang membuat mereka dapat melihat jarak jauh atau dekat membuat mereka tidak lagi dikategorisasikan sebagai disabilitas. 

Maka dari itu, permasalahan yang sebenarnya harus dipecahkan adalah pembangunan akomodasi yang layak. Pada kenyataannya, kita semua termasuk dan/atau punya risiko menjadi orang dengan disabilitas.

Fiona Wiputri

Manajer Multimedia Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular