Sepakbola perempuan

5 Penyebab Sepakbola Perempuan Masih Terpinggirkan

Sadar gak sih, sepakbola yang kita tonton masih begitu maskulin? Perempuan masih minim ruang untuk bisa berkembang di kompetisi. Ini sederet hambatan sepakbola perempuan yang harus dicari solusinya!

Belakangan, aku lagi makin suka pertandingan sepakbola. Itu bermula ketika aku sering melihat pertandingan tim nasional (Timnas) Indonesia berlaga di berbagai kompetisi setahun ini.

Misal, saat Timnas Indonesia lawan Thailand di ASEAN Games di Kamboja 2023. Kemenangan yang dramatis sekaligus bersejarah karena Indonesia berhasil merebut medali emas usai 32 tahun diperjuangkan. 

Aku akan dengan mudah ingat nama-nama dan strategi bermain para pemain seperti Ramadhan Sananta, Dewangga, Fajar Fathur Rahman ataupun Beckham Putra. Kelimanya berhasil menyumbang gol Indonesia unggul 5-2 atas Thailand. 

Pun aku mengikuti tiap pertandingan tiga lini Timnas binaan pelatih Shin Tae Yong yang akhirnya lolos ke kancah Piala Asia. Yaitu, Timnas U-20 ke Piala Asia U-20 2023, Timnas Senior ke Piala Asia 2023, dan Timnas U-23 ke Piala Asia U-23 2024. 

Saat ini, aku juga lagi memantau pertandingan sepakbola di Asian Games 2023. Dimana Timnas Indonesia akhirnya lolos 16 besar. Meskipun, harus lolos lewat jalur peringkat 3 terbaik usai terakhir kalah dari Korea Utara 1-0. 

Dari semua itu, satu hal yang perlahan-lahan buatku semakin tersadar. Permainan sepakbola memang masih begitu didominasi laki-laki. 

Baca Juga: Didominasi ‘Klub Bapak-Bapak’, Bisakah Sepakbola Perempuan Maju di Kancah Global?

Sederhananya, saat aku coba cari di platform siaran langsung nasional soal sepakbola Asian Games 2023, aku hanya menemukan jadwal siaran sepakbola laki-laki. Padahal, kompetisi sepakbola perempuan bukannya tidak ada tapi tak disiarkan ke publik. 

Aku pun juga tidak mendapatkan informasi jelas, apakah Timnas Indonesia sepakbola perempuan ikut bertanding? Jika tidak, mengapa dan apa masalahnya? dan pertanyaan lainnya yang tak terjawab. 

Saat aku cari di mesin peramban ‘sepakbola Asian Games 2023’ aku hanya menemukan sederet informasi sepakbola laki-laki. Sedangkan, saat menambahkan kata kunci ‘sepakbola perempuan Asian Games 2023’ hanya satu dua artikel yang muncul, itu pun hanya garis besarnya saja. 

Ini situasi yang terjadi di level nasional negara ini, bagaimana dengan situasi sepakbola perempuan secara global? 

Dominasi ‘Klub Bapak-Bapak’ di Sepakbola

The Conversation pernah menuliskan, organisasi olahraga global memang secara tradisional dipandang sebagai ‘Klub Bapak-Bapak’. Ini dikarenakan struktur administrasi yang pengelolaannya mayoritas adalah jaringan laki-laki elit super kaya. 

Satu contoh di gelaran Piala Dunia Perempuan FIFA 2023, yang diperkirakan bakal jadi pesta olahraga perempuan terbesar. Sebanyak 1 juta penonton akan menyaksikan langsung dan sekitar 2 miliar penonton melalui TV dan saluran digital. 

Sekilas, antusiasme ini seolah menunjukkan bahwa sepak bola perempuan akhirnya “berhasil” dan mengejar ketertinggalannya dari sepakbola laki-laki. Hanya masalah waktu saja. 

Namun realitanya, masih ada sederet persoalan yang menghambat sepakbola perempuan termasuk menjawab: kenapa sepakbola perempuan kurang populer dan masih terpinggirkan? 

Konde.co merangkumnya dari The Conversation pada Piala Dunia Perempuan FIFA 2023, sebagai berikut: 

1.Pemain dan Tim Harus Berjuang demi Keadilan 

Ekosistem sepakbola tidak dipungkiri masih begitu maskulin dan patriarki. Dampaknya bisa banyak hal termasuk soal dukungan dan aksesibilitas yang setara. Di samping, misoginisme dan objektifikasi perempuan dalam sepakbola yang masih banyak terjadi.  

Sebelum turnamen dimulai, para pemain kunci dari tim-tim papan atas seperti Prancis, Spanyol, Kanada dan Jamaika pernah memprotes dukungan, sumber daya, dan pelatihan dengan menolak bermain secara terbuka. Mereka mengkritik federasi mereka. 

2.Minim Perlengkapan Khusus Perempuan

Banyak pemain akan absen selama Piala Dunia Perempuan karena tingginya jumlah cedera serius, yang sebenarnya bisa dicegah. 

Riset terbaru menemukan 82% pemain perempuan melaporkan rasa sakit dan gangguan performa akibat alas kaki yang tersedia. Ini dikarenakan, sepatu bola yang dipakai pemain perempuan masih minim yang didesain khusus. 

Robekan ligamen anterior (ACL) di lutut dan cedera serius lainnya, juga dikaitkan dengan kancing yang terlalu panjang pada sepatu sepakbola yang dirancang untuk laki-laki. 

Dengan kata lain, banyak sepatu yang masih pakai spesifikasi dan standar laki-laki ataupun jika pun “bermerek perempuan” belum ada riset pengembangan produk yang memadai. 

3. Media Penyiaran Didominasi Laki-laki

Hak siar media untuk lima negara Eropa termasuk Inggris, baru disepakati kurang dari enam minggu sebelum turnamen dimulai. 

Keputusan FIFA untuk memisahkan hak siar turnamen sepakbola laki-laki dan perempuan, nyatanya dianggap sebagai kesalahan dan keputusan terlalu dini. Sebab media penyiaran realitanya masih kuat didominasi laki-laki. Sepakbola perempuan belum diyakini mempunyai “nilai” yang besar. 

4.Tak Serius Mengelola Manajemen Tim

Banyak federasi nasional gagal memberikan dukungan, fasilitas, investasi yang memadai untuk mempersiapkan dan mengelola tim sepakbola perempuan. Ini bisa dilihat dari banyaknya kritik seperti akibat pembatalan kamp pelatihan dan tidak dibayarkan biaya penampilan pemain. 

Timnas Inggris misalnya, mengungkapkan rasa frustasinya kepada Asosiasi Sepakbola (FA) yang melakukan protes akibat tidak akan menerima bonus gaji selain hadiah uang FIFA. 

5.Pemasaran Kompetisi Setengah Hati

Pencitraan merek global dan promosi olahraga perempuan biasanya hanya terpaku pada dua gagasan. Pertama, hanya perempuan-perempuan muda yang tertarik. Kedua, pesepakbola perempuan harus menjadi panutan bagi remaja putri. 

Strategi tersebut disebut-sebut tidak akurat. Sebab mengaburkan penonton dewasa yang menonton sepakbola perempuan. Hal itu juga tidak berkelanjutan, karena tidak mempertimbangkan untuk menarik khalayak yang lebih luas seperti laki-laki, perempuan tanpa anak, atau pun ragam gender lainnya dalam permainan sepakbola perempuan. 

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular