‘Lookism’ Soroti Diskriminasi Kerja, Apakah Makin Good Looking Makin Sejahtera?

Park Tae-joon, seorang komikus asal Korea Selatan, sukses merilis webtoon Lookism yang begitu disukai masyarakat. Webtoon populer yang sudah terbit hampir 500 episode bahkan kini diadaptasi menjadi anime dan tengah tayang di Netflix.

Lookism berkisah mengenai Park Hyung-seok, seorang siswa SMA yang gemuk dan kerap mengalami perundungan di sekolah. Ia hidup bersama ibunya yang bekerja keras. Suatu hari, ibunya menyaksikan Hyung-seok dipukuli oleh teman-temannya di sekolah, yang membuatnya memutuskan untuk pindah ke sekolah baru di kota lain.

Sesaat sebelum sekolah dimulai, Hyung-seok yang kini tinggal sendiri mengalami kejadian aneh: ia tiba-tiba terbangun dengan tubuh yang tampan dan atletis. Perubahan ini membuatnya mendapatkan banyak perhatian positif di sekolah barunya, menjadikannya populer, dan mendapatkan banyak kemudahan yang sebelumnya tak pernah ia rasakan.

(Official Trailer ‘Lookism’ yang tayang di Netflix/ Sumber: Youtube Netflix)

Kata lookism sendiri mengacu pada bentuk diskriminasi berdasarkan penampilan fisik individu. Sebuah riset yang mencakup temuan sepanjang 1932 – 1999, misalnya, menemukan adanya standar kecantikan umum yang diterima baik dalam maupun antarberbagai budaya dan mereka yang dianggap menarik cenderung mendapatkan penilaian lebih positif dibandingkan individu yang dianggap kurang menarik.

Bagaimana refleksi lookism di dunia kerja? Apakah penampilan fisik dapat memengaruhi kesejahteraan seseorang?

Cerminan obsesi terhadap penampilan dalam industri kecantikan

Sebagai fenomena sosial yang mengakar dalam masyarakat modern, lookism secara tidak sadar mendorong kita untuk semakin terobsesi dengan penampilan fisik.

Ini tercermin dari pertumbuhan pasar industri kecantikan dan perawatan tubuh global yang mencapai US$625,7 miliar (Rp9,95 triliun) pada 2022, dengan proyeksi pertumbuhan sekitar 3,3% per tahunnya. Di Indonesia, persentase pertumbuhannya menyentuh 5,91% per tahun.

Sementara itu, sebuah riset global menunjukkan bahwa individu umumnya menghabiskan seperenam waktu hidupnya untuk mengurusi penampilan.

Data-data tersebut menunjukkan kepada kita bahwa semakin banyak orang yang ingin mencapai standar kecantikan yang ditetapkan oleh masyarakat. Serta mendapatkan validasi sosial–walau tak jarang ada di antara kita yang sampai depresi karena gagal mencapainya.

Pertanyaannya, mengapa seseorang mau berkorban sebegitu banyak waktu dan uang untuk memoles diri? Riset yang ada menunjukkan berbagai macam jawaban, mulai dari insting reproduktif untuk menemukan pasangan, pengaruh sosial media hingga adanya keyakinan bahwa penampilan adalah kunci kesuksesan.

Namun, apakah betul penampilan yang menarik memengaruhi rezeki seseorang?

Betulkan penampilan memengaruhi pekerjaan dan kesejahteraan finansial?

Sayangnya, penelitian yang ada menunjukkan demikian–termasuk studi di Amerika Utara yang menunjukkan bagaimana orang-orang yang berpenampilan menarik menghasilkan 12-14% lebih banyak daripada populasi lainnya.

Penampilan fisik sering kali menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan dalam penilaian kualifikasi seseorang dalam dunia kerja dan mereka yang memenuhi standar kecantikan lebih mungkin untuk mendapatkan peluang kerja yang lebih baik atau promosi.

Misalkan saja, sebuah penelitian mengenai bagaimana bias finansial dan sosial yang telah lama ada menguntungkan individu yang memiliki penampilan yang lebih menarik dari yang lain. Keuntungan yang diperoleh biasanya mencakup aktivitas transaksi sosial dalam kehidupan sehari-hari.

Bias finansial dan sosial ini adalah hasil dari preferensi atau prasangka yang mirip dengan yang ditunjukkan terhadap anggota kelompok kelamin, ras, etnis, atau agama tertentu.

Dalam banyak kasus, penampilan fisik dapat menjadi faktor dominan yang menentukan apakah seseorang layak diberikan kesempatan atau tidak dalam sebuah sistem kerja modern–terlebih bagi industri yang bergerak dalam jasa dan pelayanan publik. Studi pun menunjukkan bahwa konsumen merasa lebih puas jika berhadapan dengan karyawan yang berpenampilan menarik.

Baca Juga: ‘200 Pounds Beauty’: Buruknya Perlakuan Pada Plus Size atau Tubuh Gendut

Memiliki penampilan fisik yang menarik juga dapat membuka pintu ke berbagai sektor dan industri yang mungkin sulit diakses oleh individu yang dianggap kurang menarik. Ini berarti seseorang dengan penampilan yang baik dapat memiliki lebih banyak pilihan karier, yang dapat meningkatkan potensi pendapatan mereka.

Selain itu, individu yang dianggap menarik secara fisik seringkali memberikan kesan positif kepada perekrut dan atasan, yang dapat mengarah pada peluang pekerjaan yang lebih baik, kenaikan pangkat yang lebih cepat, dan penghasilan yang lebih tinggi.

Hal ini berasal dari efek halo, yakni bias kognitif ketika penampilan menjadi tolak ukur karakter seseorang. Sudah cukup banyak studi yang menunjukkan bahwa penampilan menarik memberikan kesan bahwa individu tersebut memiliki karakter dan kompetensi yang baik pula.

Adanya gap ini membuat diskriminasi dalam pekerjaan semakin tak terjembatani. Misalkan saja, ketika seorang yang berpenampilan menarik dan yang tidak menarik sama sama membuat kesalahan. Orang akan lebih memaklumi orang yang berpenampilan menarik. Inilah yang dinamakan beauty privilege–ketika mereka yang berpenampilan menarik mendapat berbagai keuntungan dalam interaksi sosialnya.

Menghapus diskriminasi berdasarkan penampilan

Tentu saja kita tak bisa serta merta menyimpulkan bahwa mereka yang cantik dan tampan pasti penuh keberuntungan–utamanya bagi perempuan.

Penelitian, misalnya, menunjukkan bagaimana penampilan fisik yang menarik lebih menguntungkan laki-laki dibanding perempuan di tempat kerja. Ini terutama menyangkut rekrutmen dan promosi untuk posisi manajerial dan pekerjaan yang dianggap lebih cocok untuk laki-laki. Sebab, masih ada stereotip gender yang menghubungkan feminimitas dan inkompetensi–kerap disebut sebagai efek “beauty is beastly” (kecantikan itu mengerikan).

Tak hanya itu, sebuah riset menunjukkan 82% perempuan Indonesia pernah mengalami pelecehan seksual di ruang publik.

Namun bagaimanapun juga, diskriminasi berdasarkan penampilan fisik sudah sepatutnya kita atasi. Sebab, tidak ada satu orang pun di dunia ini yang dapat memilih untuk dilahirkan di mana–yang membuatnya memiliki gen tertentu dari lingkungan tersebut.

Kualitas diri seseorang tidak dapat dinilai hanya berdasarkan standar subjektif sepeti penampilan fisik semata. Apalagi, sudah banyak penelitian yang menunjukkan tak ada hubungan antara penampilan fisik dengan kompetensi dan kinerja seseorang.

Baca Juga: Film ‘The Creator’, Saat Robot AI Ingatkan Soal Kemanusiaan

Tak gampang untuk mengatasi bias yang telah lama mengakar. Tetapi, perlu perubahan pola pikir masing-masing individu untuk bisa mengatasi ini. Penting untuk lebih menghargai dan menilai seseorang berdasarkan kompetensi, pengetahuan, dan keterampilan yang mereka bawa ke meja kerja.

Ini memerlukan perubahan budaya dalam dunia kerja dengan membuat sistem penilaian berdasarkan merit. Juga pada apa yang dapat seseorang berikan serta membatasi kemungkinan penampilan fisik memengaruhi penilaian.

Selain itu, perusahaan dan organisasi perlu menerapkan kebijakan yang mencegah diskriminasi berdasarkan penampilan fisik. Termasuk dalam membuat iklan lowongan kerja yang mensyaratkan penampilan menarik. Juga perlunya mengedukasi personel mereka tentang pentingnya keragaman dan inklusi dalam tempat kerja.

Oleh karena itu, perlu kewaspadaan penuh bagi kita semua untuk tetap sadar dan menjunjung tinggi rasionalitas. Jangan sampai terjerumus pada pemahaman sempit atas hidup yang lebih mementingkan penampilan semata. Ketimbang kualitas hidup secara mendalam.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

(Sumber Gambar: Tangkapan Layar Youtube Webtoon)

Novia Utami

Lecturer in Finance, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular