Pemagang Gen Z Malas Kerja? Stop Stigma, Kenali Kami Lebih Dekat

Jangan langsung percaya stigma pemagang gen Z malas kerja. Ini ceritaku dan temanku sebagai pemagang gen Z yang berada di dunia kerja. Kami membagikan pendapat dan pengalaman kami.

Sering gak sih kamu menemukan bahasan soal gen Z di berbagai lini sosial media? Salah satunya, banyaknya komentar yang menyoroti bagaimana gen Z bekerja. ‘Gen Z malas bekerja’ begitulah satu dari sekian topik perbincangan yang aku tangkap belakangan ini. 

Hal itu tampak pada salah satu video viral di sosmed seorang karyawan yang merekam pemagang gen Z di suatu instansi perusahaan. Ia ditunjukkan bekerja secara tidak profesional karena masuk kantor tidak sesuai dengan jam masuk para pekerja. Juga terlihat “main-main” dengan gadgetnya saat jam kerja. 

Dari unggahan itu, warganet pun menyerbu kolom komentar. Tak sedikit dari mereka yang memiliki keluhan bahkan stereotip—yang bisa menggeneralisasi— pandangan mereka soal gen Z termasuk saat mereka magang. 

Sebagai pemagang gen Z yang lahir di antara tahun 1997-2012, tentu saja aku tertarik untuk berpendapat. Aku juga menanyakan ke sesama teman gen Z ku yang sedang magang untuk membahas hal itu. 

Cerita Gen Z di Dunia Kerja 

Shafa Rizkiya Raihan, salah seorang pekerja magang dari gen Z di perusahaan startup di bidang merchant bercerita padaku. 

Dalam beraktivitas di dunia kerja, Ia tidak sepakat jika disebut gen Z “serta merta disebut” tidak profesional dan malas dalam bekerja. Meskipun, realitanya tentu ada saja yang secara pribadi kurang profesional. Tak hanya gen Z tapi juga generasi manapun. 

Baginya profesionalitas di dunia kerja itu hal yang Ia jaga. Hanya saja, dia menetapkan batasan (boundaries) bagaimana dia tidak mencampuradukkan urusan kerjaan dan personal. 

“Walaupun gak berhubungan baik dengan rekan kerja (secara individu) atau memiliki masalah personal misalnya. Sebagai rekan kerja, tetap memperlakukannya dengan baik dan profesional,” katanya beberapa waktu lalu.  

Selain memisahkan “hubungan personal dan kerja”, Shafa mengaku juga memberi batasan pada tanggung jawabnya pada jam kerja kantor. Yaitu delapan jam pada pukul 9 pagi sampai 4 sore. 

Keseimbangan dalam bekerja (life work balance) ini penting baginya. Makanya, dia memilih untuk mengoptimalkan waktu bekerjanya agar bisa selesai tepat waktu. Serta tak membawa pekerjaan di rumah. 

“Sampai rumah bisa lebih leluasa,” kata dia.  

Tentu saja ini tidak kaku seperti itu, tapi jika ada perubahan di jam kerja kami menerima negosiasi. Bisa disepakati demi kebaikan bersama. 

Baca Juga: Riset: Gen Z Cukup Pede Dengan Keterampilan Mereka untuk Masuk di Dunia Kerja

Apa yang dilakukan Shafa bisa jadi masuk akal bagi kebanyakan gen Z. Hasil aplikasi survei daring Jakpat soal preferensi karier generasi muda kepada 1.114 responden pekerja muda usia 20-an bilang, lima hal penting dalam bekerja adalah waktu kerja fleksibel.    

Baik dengan rekan kerja atau atasan, Shafa menilai komunikasi yang baik adalah kunci. Selain menjaga dinamika kerja yang lancar, komunikasi itu juga bisa meminalisasi salah paham dalam pekerjaan. 

“Aku selalu menanyakan apa saja arahan yang dirasa kurang jelas kepada rekan yang memberikan perintah supaya gak terjadi kesalahpahaman,” kata perempuan yang magang jadi desainer grafik itu.

Beruntungnya, Shafa magang di tempat kerja yang punya support system baik. Saat dirinya bolak-balik sibuk mengurus skripsi Jakarta-Cikarang, perusahaan dan rekan kerjanya bisa memahami. “Rekan kerjaku pengertian dan ramah.”

Dengan situasi itu, Shafa juga diperlakukan setara. Dia tidak dibedakan atau diasingkan dalam pengambilan keputusan di rapat internal perusahaan. Konsep one space yang ada di perusahaannya magang juga membuatnya terlatih dalam bersosialisasi. 

“Ini membuatku familiar satu sama lain, walaupun bukan satu divisi,” ucapnya. 

Satu hal yang membuat Shafa nyaman berada di perusahaan itu juga kesempatan berkembang yang diberikan perusahaan. Dia mendapat kepercayaan untuk berproses dalam mengerjakan proyek dan mengurus desain kampanye. 

Sadar Hak Pemagang

Gen Z Lahir sebagai digital natives. Sejak kami lahir, kami sudah dihadapkan dengan kemajuan teknologi dan informasi. Inilah mengapa, kami biasanya akrab dengan gadget terkhusus smartphone. Bagi berkomunikasi dan mencari informasi dalam satu genggaman. 

Bagiku sebagai gen Z, hal itu bisa berguna untuk “membuka mata” soal aturan-aturan ketenagakerjaan. Salah satunya, menyadari hak pemagang di aturan ketenagakerjaan yang mestinya berhak mendapatkan uang saku dan transportasi sesuai kesepakatan dengan perusahaan selama magang. 

Mengapa ini penting diketahui? Sebab nyatanya masih banyak normalisasi perusahaan tak memberikan haknya kepada pemagang. Bahkan, pemagang dijadikan “buruh murah” yang dimanfaatkan perusahaan. 

Bagiku celetukan, “Magang itu dibayar pengalaman” bisa jadi tidak selalu relevan. Mengingat, para pemagang juga berupaya bekerja dengan profesional. Dia menghasilkan jasa dan produk yang mestinya juga diupah secara layak.  

Baca Juga: Problem Perempuan Pekerja: Stress, Jam Kerja Tinggi dan Beban Berlebih

Selain itu, hal lainnya yang menurutku perlu disorot adalah soal keluhan banyaknya pegawai yang bekerja melebihi jam kerja alias overwork. Ini perlu dicari solusinya yang sama-sama menguntungkan bagi perusahaan dan karyawan misalnya dengan adanya upah lembur layak. 

Meskipun sudah ada aturannya soal lembur, tapi banyak perusahaan yang nyatanya menormalisasi overwork tanpa dibayar lembur. Dan tak ada “sanksi” yang tegas. 

Sama halnya jika dihubungi di luar jam kerja, semisal pada malam hari atau akhir pekan. Padahal kita semua perlu jeda dan hak istirahat.

Bagimu sebagai pemagang gen Z juga, gimana ceritamu?

Fayza Rasya

Mahasiswa UIN Jakarta yang kini jadi jurnalis magang di Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular