Persaingan Sengit, Kualifikasi Selangit: Gen Z Makin Sulit Dapat Kerja? 

Ini adalah cerita ‘suka duka’ para Gen Z cari kerja. Serta gimana cara mereka bersiasat agar dapat bersaing di dunia kerja. Yuk, simak!

Apakah kamu termasuk Gen Z yang sekarang masih sulit cari kerja? Kamu gak sendiri, data Badan Pusat Statistik (BPS) dalam Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) per Februari 2021 bilang, memang tak sedikit Gen Z yang masih kesulitan dapat kerja. 

Gen Z yang merupakan angkatan kerja usia 15-24 tahun ini, ada sebanyak 3,8 juta menganggur. Meskipun, ada sebanyak 17,6 juta lainnya yang sudah bekerja. 

Salah satu Gen Z yang baru lulus kuliah, Nur Hana Putri Nabila, bercerita bahwa dirinya sempat di fase sulit mencari pekerjaan beberapa waktu lalu. Persaingan yang tinggi jadi faktor yang dialaminya. Sebagai fresh graduate, Hana juga sudah harus dituntut punya “jam terbang” pengalaman dan kemampuan (skill). Dia harus bersaing dengan para kandidat lain yang jumlahnya banyak.  

Hana sempat frustasi kala itu. Dia tak kunjung dapat panggilan kerja. Namun beruntung, Hana dapat informasi lowongan kerja karena keaktifannya berjejaring. Dia segera melamar pekerjaan dengan kapasitas yang dia miliki. Setelah tiga bulan kemudian, dia akhirnya bisa diterima jadi salah satu karyawan di perusahaan media. 

“Pengalaman organisasi sebagai bagian dari pers mahasiswa sangat membantu dalam mengumpulkan portofolio, menjalin relasi, dan membangun personal branding. Saat perekrutan, kriteria perusahaan yang aku lamar (ternyata–red ) sesuai dengan apa yang ada,” ujar Hana belum lama ini. 

Baca Juga: Pemagang Gen Z Malas Kerja? Stop Stigma, Kenali Kami Lebih Dekat

Kualifikasi Hana memilih tempat bekerjanya sebenarnya memang tidaklah muluk. Hal yang terpenting, Ia ingin mendapatkan lingkungan yang sehat dan mendukung perkembangan skill, seperti pelatihan. Meski Hana ditempatkan di bagian yang belum ia pahami betul, walaupun begitu Ia berupaya menjalaninya dengan legowo dan sembari belajar.

“Dengan mengedepankan lima value yang diterapkan di perusahaan, seperti humble, excellent, integrity, independency, dan inklusivitas membuat lintas generasi di antara mereka terhubung dan menyatu—tiada jarak karena perbedaan generasi atau posisi,” kata Hana yang seniornya di kantor memang didominasi generasi Milenial.

Di kantornya, Hana merasa cukup terbantu karena tidak ada pembeda-bedaan antar generasi. Perusahaan tempatnya bekerja bahkan sangat terbuka dan mengutamakan fresh graduate bergabung dengan merekaGen Z diberikan kesempatan besar bisa menempati posisi reporter dan lainnya.

Siasat Asah Skill

Wan Muhammad Arraffi sebagai mahasiswa semester tiga mengaku sudah mulai mencari magang. Meskipun alasan utamanya adalah menambah uang saku di perantauan, namun dia juga sadar bahwa Ia  butuh menyiapkan skill

Paling tidak, kemampuan itu akan mengajarinya bertanggung jawab atas jobdesk yang diberikan. Juga bisa mengeksplorasi berbagai posisi yang relevan dengan kemampuannya di desain grafik atau literasi. Kemampuan interaksinya juga meningkat berkat magang yang ia jalani. Baginya, magang membantunya menambah “jam terbang”.

Selain magang, dia juga aktif dalam berorganisasi. Hal itu Ia harapkan bisa membantunya belajar berjejaring dengan rekan organisasinya. Sehingga, nantinya Ia bisa memiliki kenalan di berbagai program studi, fakultas, komunitas, himpunan, atau perkumpulan di lingkungan kampus. 

Apa yang dialami Hana dan Rafi itu, juga aku rasakan. Sebagai Gen Z, aku pun juga menyadari bahwa dunia kerja saat ini tuntutannya akan semakin dinamis dan bisa jadi “lebih banyak”. Pelamar kerja makin dituntut punya kualifikasi lebih agar bisa bersaing di dunia kerja. 

Berkaitan itu, sebagai mahasiswa dan Gen Z, aku memiliki target yang berbeda di setiap semesternya untuk mengasah skill. Semester 1—4 aku fokus mengikuti organisasi dengan keterikatan selama tiga tahun, dimulai menjadi anggota hingga mengakhirinya sebagai pengurus. Banyak karya dan kemampuan baru yang aku pelajari, misalnya menghasilkan banyak jenis tulisan dan menjadi bagian pemasaran.

Baca Juga: Catahu Kekerasan Seksual di Kampus: Seksisme Banyak Terjadi di Guyonan Tongkrongan

Pengalaman selama tiga tahun tadi sudah sangat cukup bagiku untuk mencari magang di semester 5. Posisi yang aku ambil tidak jauh dari menulis, bahkan berkesempatan mencoba posisi lain, seperti ranah agensi manajemen yang mengelola kreator konten atau mengajak kerja sama merek terkenal. Tentu posisi ini tidak langsung kukuasai layaknya menulis.

Aku bisa mengakui kekosonganku dari berakhir magang sebelumnya ke berikutnya memang cukup lama. Analisisku itu terjadi karena beberapa faktor, antara lain ketersediaan dan ragam posisi memang banyak, tetapi kandidat lain yang punya kemampuan serupa denganku juga ada, apalagi jurnalistik merupakan bidang umum—semua orang bisa menekuninya..

Selain persaingan, beberapa pertimbangan lain, seperti jobdesk atau budaya kerja juga turut andil dalam pemilihan tempat magang—tidak ingin mengganggu perkuliahan yang harus menjadi fokus utamaku saat ini. Aku memilih aman dengan melamar sesuai kemampuan jurnalistik agar tidak perlu belajar banyak lagi—adaptasiku dengan hal baru memakan waktu lama.

Dalam kasus jobdesk yang baru bagiku dan lingkungan kerja yang tidak mendukung, pasti aku akan kepikiran dan merasa terpuruk. Gen Z memang melek terhadap kondisi mentalnya, termasuk aku. Dengan pengalaman organisasi ranah pers juga membuatku terbiasa dengan flow kerja media—ada banyak hal tidak terduga menanti dan terjadi di luar kendali.

Memang aku belum terjun ke dunia kerja secara penuh, tetapi persiapan menuju titik itu sudah aku angsur dari sekarang. Karya, relasi, sikap, dan persona diriku akan kukembangkan sembari memohon agar terus berdoa 

Yuk, semangat para Gen Z!

Fayza Rasya

Mahasiswa UIN Jakarta yang kini jadi jurnalis magang di Konde.co

Let's share!

video

MORE THAN WORK

Mari Menulis

Konde mengundang Anda untuk berbagi wawasan dan opini seputar isu-isu perempuan dan kelompok minoritas

latest news

popular