5 Pasal Revisi Kedua UU ITE Ini Bisa Ancam Perempuan

Perempuan korban kekerasan bisa jadi makin rentan di ranah digital akibat revisi kedua UU ITE. Ada pasal-pasal karet yang bisa kapan saja menjerat.

Pengesahan perubahan kedua Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) masih menyisakan perdebatan. Bukan saja keengganan Komisi I DPR dan Pemerintah untuk membuka pembahasan secara utuh, tapi substansi revisi kedua UU ITE yang dinilai malah ‘makin karet’.

Komnas Perempuan dalam pernyataan tertulis yang diterima Konde.co menyatakan, berkepentingan untuk membahas substansi UU ITE ini. Mengingat berbagai kajian dan data telah menunjukkan, UU No 19 Tahun 2016 tentang perubahan UU ITE (UU Nomor 11 Tahun 2008) ini, belum dapat melindungi perempuan. 

Revisi UU ITE ini belum menjamin perempuan aman dari kekerasan seksual dan eksploitasi dalam dunia siber. Utamanya, perbuatan penyebaran materi bermuatan seksual. 

Perumusan materi muatan dalam UU ITE justru membuat perempuan korban kekerasan seksual rentan mengalami re-viktimisasi bahkan kriminalisasi. 

Sebagian besar kasus yang dilaporkan adalah ancaman dan tindakan penyebaran foto/video bermuatan seksual, berdampak pada dipermalukannya perempuan korban bahkan berisiko berhadapan dengan hukum sebagai tersangka pelanggar aturan dalam UU ITE atau UU Pornografi.

Baca Juga: 5 Pasal UU ITE Yang Bermasalah Bagi Perempuan, Aktivis dan Jurnalis

Kajian Komnas Perempuan juga menunjukkan, UU ITE tidak hanya mengkriminalisasi perempuan korban seksual, tapi perempuan korban kekerasan berbasis gender lainnya seperti korban KDRT. Misalnya, saat Ia menuliskan/mengunggah ceritanya tentang kasus yang dialaminya di sosmed. Dia bisa dijerat pasal pencemaran nama baik melalui UU ITE. 

Kondisi ini mempersulit perempuan korban untuk keluar dari jerat kriminalisasi. Terlebih jika suami pasangan itu punya relasi kuasa yang besar. Seperti seorang pejabat publik atau elit yang punya sumber daya dan kuasa lebih dibandingkan perempuan. 

Imbasnya, UU ITE ini justru akan digunakan suami/pasangan untuk terus mengontrol dan menyakiti perempuan korban. 

Konde.co merangkum pasal-pasal bermasalah di revisi kedua UU ITE yang berdampak bagi perempuan. Apa saja?
  1. Kriminalisasi Korban kekerasan Seksual (Pasal 27 Ayat 1)

Komnas Perempuan menyoroti soal rumusan unsur “kesusilaan” yang sumir dan unsur transmisi dalam Pasal 27 ayat 1. Ini bisa membuka ruang kriminalisasi bagi korban kekerasan seksual.  

Catatan Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menunjukkan, Pasal 27 ayat (1) naskah revisi kedua UU ITE yang melarang penyebaran konten melanggar kesusilaan telah mengalami perubahan dengan ditambahkannya unsur pidana dan limitasi pemidanaan. 

Limitasi yang diatur Pasal 45 ayat (2) mengecualikan perbuatan yang dilakukan demi kepentingan umum. Juga karena membela diri, maupun konten dibuat untuk tujuan pendidikan, kesehatan, kebudayaan, dan olahraga. 

Penambahan unsur lainnya adalah perbuatan ini harus dilakukan untuk “diketahui umum”. Sama halnya dengan alasan pembenar “membela diri”. Harapannya, posisi korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) bisa diperkuat. 

Baca Juga: Riset TaskForce KBGO 2022: Sextortion Jadi Ancaman Paling Serius

Namun dengan masih adanya unsur “mentransmisikan” dalam unsur perbuatannya menjadi permasalahan bagi perempuan korban. Dalam implementasinya, aparat penegak hukum (APH) harus memastikan, unsur mentransmisikan hanya dapat dipidana dalam hal pelaku bertujuan untuk konten tersebut diketahui umum.

“Sebab jika tidak, maka perbuatan mengirimkan informasi dan/dokumen elektronik dari satu orang ke orang lain masih dikategorikan sebagai transmisi dan tentunya berpotensi kontradiktif dengan unsur diketahui umum (Pasal 27 Ayat 1),” tulis ICJR. 

Selain itu, perumus juga masih menggunakan istilah “melanggar kesusilaan”. Padahal, unsur tersebut didefinisikan sebagai perbuatan mempertunjukkan ketelanjangan, alat kelamin, dan aktivitas seksual yang bertentangan dengan nilai-nilai hidup dalam masyarakat di tempat dan waktu perbuatan tersebut dilakukan.

“Seharusnya, seperti tujuan awal pasal ini, konten yang dimaksud harusnya dibatasi ke pornografi. Agar tidak membuka perdebatan perbuatan apa saja yang dikategorikan sebagai kesusilaan,” imbuhnya. 

  1. Ujaran Kebencian (Pasal 28 Ayat 2)

Pasal ini ada penggunaan unsur “mentransmisikan” dari individu ke individu. Salah satu yang pentingnya adalah adanya unsur “di muka umum”. Indikator yang bisa dijadikan patokan adalah potensi akibat yang nyata berupa diskriminasi, kekerasan dan/ permusuhan. 

Untuk menjamin agar pasal ini tidak disalahgunakan, maka perlu perhatian adanya perbaikan unsur dalam pasal ini. Yaitu mempertegas bahwa konten yang disebarkan harus bersifat menghasut, mengajak, atau mempengaruhi orang lain dengan tujuan menimbulkan rasa kebencian. 

Baca Juga: Seleb Tiktok Lina Mukherjee Divonis 2 Tahun Karena Makan Babi, Penistaan Agama Jadi Dalih Kriminalisasi

Selain itu juga memunculkan permusuhan seperti ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas dll. “Tidak lagi boleh ada proses hukum atas dasar golongan yang tidak jelas seperti profesi, pejabat, tokoh politik, dan lainnya,” tulis ICJR dalam catatannya. 

Pasal ini multitafsir kaitannya dengan frasa ‘mempengaruhi sehingga timbul kebencian’ dan indikatornya. Misoginis (kebencian pada perempuan) pada konteks kasus tertentu, bisa menjadikan pasal ini sebagai ‘senjata’. 

  1. Menyebarkan Berita Bohong (Pasal 28 Ayat 3)

Perbedaan dengan sebelumnya, Pasal ini hanya mempidanakan penyebaran berita bohong yang menimbulkan kerusuhan dengan sengaja. Tapi jika revisi UU ITE ini disahkan sebelum KUHP berlaku, maka akan ada dua ketentuan pidana serupa tentang berita bohong di dua UU berbeda. 

Ini berpotensi menimbulkan permasalahan pada implementasi ke depannya. Penggunaan pasal berita bohong ini, tidak lagi dapat disandarkan pada perdebatan atau kerusuhan di dunia online. Tapi, harus bersifat fisik di dunia luar jaringan internet. 

Baca Juga: Fatia dan Haris Didakwa Mencemarkan Nama Baik Lord Luhut, Aktivis: Pemerintah Anti Kritik

Kerusuhan fisik ini juga perlu dipertegas bahwa ini adalah sebab akibat adanya perbuatan berita bohong bukan karena kelompok yang sekedar tidak suka. Lantas, melakukan keributan sepihak. 

Pasal ini berpotensi jadi “alat membungkam kritik” bagi aktivis perempuan atau pembela HAM. Pun perempuan korban kekerasan seksual yang menyuarakan kasusnya. 

  1. Pemerasan dan Pengancaman, Pasal 29 

Pasal 29 mengatur pemidanaan terhadap penyebaran konten pada korban yang berisi ancaman dan/atau menakut-nakuti. Definisi korban dalam penjelasan Pasal 29 UU ITE adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi akibat tindak pidana. 

Masalahnya, terdapat ketentuan yang mirip dan berpotensi tumpang tindih dalam Pasal 29 yang mengatur tentang perundungan. Frasa “menakut-nakuti” juga bisa bersifat karet karena tafsirannya bisa beragam. 

  1. Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE)

PSE ini mengatur bahwa pemerintah berwenang memerintahkan penyelenggara sistem elektronik melakukan penyesuaian pada sistem elektronik dan/melakukan tindakan tertentu. 

Pasal 16A ayat (1) dan (2) mengatur mengenai kewajiban bagi PSE untuk memberikan perlindungan bagi anak. Kewajiban PSE dalam memberikan perlindungan kepada anak merupakan kewajiban yang sudah sepatutnya diemban oleh PSE sebagai aktor privat yang memiliki tanggung jawab terhadap HAM. 

Baca Juga: Bikin Macet Kebebasan Berekspresi, Aktivis: Tolak Permenkominfo PSE

Perlu diperhatikan bagaimana peran pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap anak termasuk anak perempuan. Ini bisa dilihat dari banyaknya kasus kekerasan seksual pada anak perempuan yang berawal dari aplikasi online ataupun sosmed. 

Selanjutnya, yang perlu diperhatikan adalah penambahan Pasal 16A dan 16B serta perubahan Pasal 40 dan 40A RUU ITE. Pasal 16A ayat (3) dan (4) RUU ITE mengatur mengenai hal-hal yang harus disiapkan oleh PSE sebagai bentuk perlindungan bagi anak dalam mengakses internet.

Pasal 40 ayat (2b), (2c), dan (2d) justru memberikan kekuasaan yang besar bagi pemerintah terhadap PSE dan terlihat memberlakukan PSE sebagai agen pemerintah.

Perlunya Sinkronisasi Dengan UU TPKS dan KUHP

Pada November 2022, DPR RI dan Pemerintah telah mengundangkan UU No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Salah satu pembaharuan hukum adalah soal kekerasan seksual siber. 

Beberapa poin pentingnya seperti adanya pasal 14 terkait tindak pidana Kekerasan 

Siber Berbasis Elektronik (KSBE). Selain itu, Pasal 15 yang memberatkan hukuman pidana ⅓ (satu pertiga) untuk TPKS dengan elektronik. Juga adanya hak korban atas penanganan, perlindungan dan pemulihan pada kekerasan seksual siber (Pasal 68). 

Penghapusan dan/pemutusan akses informasi/dokumen elektronik (Pasal 46) juga disoroti. Di samping adanya pencegahan di bidang teknologi dan informatika (Pasal 79). 

Baca Juga: Aturan Turunan UU TPKS Tak Kunjung Ditetapkan, Ini Sederet Hambatannya

Tak hanya UU TPKS, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) juga diundangkan melalui UU No 1 Tahun 2023. KUHP ini akan mulai berlaku pada tahun 2026. 

Dengan begitu, KUHP telah mencabut sebagian aturan dari UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas UU ITE. Di antaranya, Pasal 27 ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 ayat (2), Pasal 30, Pasal 31 ayat (1), Pasal 31 ayat (2), Pasal 36, Pasal 45 ayat (1), dan Pasal 45 ayat (3).

Ada juga Pasal 45A ayat (2), Pasal 46, Pasal 47, dan Pasal 51 ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016. 

Inilah mengapa, sinkronisasi UU ITE dengan KUHP perlu dilakukan.Seperti, rumusan Pasal 27 A perubahannya seharusnya mengacu pada Pasal 407 KUHP. 

Baca Juga: Aktivis: RKUHP Jadi Ancaman Bagi Perempuan, LGBT dan Pers

Terlebih KUHP telah menetapkan pasal-pasal yang harus diacu dalam perubahannya ketika telah dinyatakan dicabut. Seperti ketentuan Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 45 ayat (1) pengacuannya diganti dengan Pasal 407 KUHP yang menyatakan: 

“Setiap Orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) Bulan dan pidana penjara paling lama l0 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling sedikit kategori IV dan pidana denda paling banyak kategori VI.” 

“Revisi kedua UU ITE harus sinkron dan mengadopsi ketentuan-ketentuan dalam UU TPKS dan UU KUHP,” pungkas Komnas Perempuan. 

Nurul Nur Azizah

Redaktur Pelaksana Konde.co
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!