Rakyat (Miskin) Yang Terabaikan

Aksi 9 Kartini Kendeng pada tanggal 13 April 2016 di depan Istana Negara

*Edy Susanto – www.konde.co


Tidak terpungkiri, rakyat selalu menjadi korban. Kesejarahan
menunjukkannya dari jaman ke jaman, sejak jaman kerajaan, penjajahan oleh
Kolonialis Belanda dan Portugal hingga paska Kemerdekaan.

Rakyat selalu bernasib celaka dalam kondisi riil dan konseptual
berpikir. Dengan pemanfaatan oleh rezim dan kedaulatan yang mengatasnamakan
kedaulatan. Bahkan hingga saat ini, hal tentang rakyat terus diributkan. Dengan
mempertanyakan Siapa itu rakyat? Siapa yang paling berhak mengatasnamakan
rakyat? Sial benar nasib rakyat ini. Namun hal yang paling menyakitkan, rakyat
harus merelakan haknya dipreteli dengan dalih “pembangunan”. Ini
adalah senjata pamungkas negara untuk menyingkirkan rakyat.

Padahal beban kewajiban rakyat sangat besar. Mulai dari hal
prinsipil bernama pajak, menaati sekian banyak peraturan yang tidak
diketahuinya dan mematuhi perintah penguasa. Memang sulit menerima konstruksi
pemikiran dari para penguasa Negara ini.

Hingga akhirnya saya berpikir, bisakah rakyat hidup tanpa
negara? Sebenarnya bisa. Suku Bajau hidup di tengah laut, dan terus berpindah.
Mereka tidak butuh negara, uang dan hukum negara tetapi mereka bisa hidup.

Suku Bajau Yang Hidupnya Nomaden

Tetapi desakan bentuk modernism dan banyaknya kepentingan, tak
ada yang bisa lepas dari negara. Mau tidak mau, manusia sejak lahir telah
terikat oleh negara. Mereka dipaksa untuk menerima identitas sebagai bagian
dari negara, sebagai makhluk sial bernama rakyat. Dalam banyak coretan buram
sejarah, Indonesia telah piawai dalam memanfaatkan kata rakyat. Padahal segala
sesuatu yang terkandung dalam tanah, air dan udara adalah milik negara bukan
milik rakyat meskipun berdalih untuk rakyat.

Dari jaman ke jaman, rezim ke rezim, peperangan atas hak dan
kuasa ini terus berkecamuk. Dan rakyat pun selalu diadu dengan 
popor senapan,
hingga akhirnya rakyat kehilangan otoritas kepemilikannya.

Manusia, apalagi yang bernama rakyat, tidak berhak mengakuinya.
Mereka harus punya surat pengesahan atas tanah, air dan udara berdasarkan
otoritas kelembagaan negara. Tidak peduli jika leluhur mereka telah hidup
sebelum negara Indonesia berdiri. Tiba-tiba hak mereka untuk ikut menikmati
alam beserta kekayaannya dicabut. Maka timbullah kesemrawutan penataan agraria
dan ruang sosial lainnya.

Sembilan Kartini Kendeng, mereka seperti seperti ibu-ibu kita,
adalah contoh nyata  bagaimana negara telah abai atas keberedaannya.
Mereka datang ke Jakarta lalu menyemen kaki di depan istana negara, sebagai
bentuk reaksi protes pembangunan pabrik semen serta penyataan keinginan bertemu
dengan Presiden. Namun sampai saat ini belum tercapai meskipun telah
dijanjikan.

Mereka bukan artis  atau pejabat. Perlawanan mereka
terhadap pabrik semen adalah tentang hak hidup, perihal masa depan anak-anak
Kendeng. Bukan karena mereka ingin terkenal, atau menjadi sosok yang dimaksud
Goenawan Moehamad, sebagai wakil 
subaltern (kelompok yang tertindas). Atau
yang dikatakan oleh Ganjar Pranowo bahwa mereka adalah “hasil desain” . 
Karena mereka adalah sejatinya 
subaltern itu.

Sangat jelas Pasal 33 UUD 1945 menyebutkan bahwa seluruh
kekayaan nasional bertujuan utk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Bukan
kemakmuran bagi kelompok tertentu.

Persoalan pabrik semen di pegunungan Kendeng dan sekitarnya,
sejatinya adalah karena Negara melakukan pembiaran 
(by omission).
Pejabat daerah, akademisi dan sebagian masyarakat yang pro terhadap pabrik
semen menutup mata atas dampak sosial dan alam di wilayah tersebut.

Adalah Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah terdahulu, yang telah
memberikan ijin kelayakan lingkungan dengan Nomor 550.1/10/2012 tertanggal 30
April 2012. Didukung dengan dua akademisi UGM yang turut memberikan kesaksian
dukungan atas proyek itu, dengan mengatasnamakan “pakar”.

Setelah pembangunan pabrik berjalan 80% lebih, dengan anggaran
tiga triliun, persoalan pokok itu tidak terselesaikan. Meskipun rakyat
melakukan berbagai upaya hukum dan politik menentangnya. Upaya ini dilakukan
oleh rakyat seolah olah menunjukkan bahwa rakyat tidak pernah terlibat dalam
proses perencanaan Mereka dianggap tidak ada, sebagai rakyat dan  sebagai
keturunan leluhur yang telah mendiami wilayah itu sebelum negara Indonesia
berdiri.

Di sinilah Negara harusnya hadir mencari jalan keluar
sebaik-baiknya.

Persoalan penyerobotan tanah dan hak kepemilikan rakyat atas
masa depan wilayahnya masih terus terjadi. Wakil-wakil rakyat yang ada di
eksekutif maupun legislatif seharusnya bersuara, bukan hanya bungkam.

Sekali bersuara namun menyakitkan dan menyedihkan seperti yang
diungkapkan oleh tokoh nasional yang berkata, “Siapa sebenarnya yang sah
mewakili orang miskin (rakyat)?”. Inilah bentuk nyata atas pengabaian rakyat (miskin).

*) Penulis adalah Mahasiswa Paska Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta

sumber foto :

http://omahkendeng.org/2016-04/2342/undangan-solidaritas-aksi-hari-ke-2-melawan-belenggu-semen/

http://ciricara.com/2015/03/12/apa-itu-suku-bajau/

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!