Sica Harum – www.Konde.co
Tiba-tiba ada anak da’i kondang menikah muda. Lantas ada meme beredar… usia 17 tahun sudah menikah. Kamu, usia 25 tahun, ngapain? Sudah menikah belum?
Umur saya sekarang, 30 something. yeah, ‘something’nya banyak banget.
Tapi meme itu bikin saya kembali ke masa lalu. Umur 25 tahun, ngapain?
Sepertinya, saat itu, sedang asyik-asyiknya menjadi eksplorer. Jadi wartawan, lalu banyak traveling dan ketemu orang baru di tempat-tempat baru. Umur 25, saya sempat ke Agats, perkampungan suku Asmat tidak terlalu jauh dari Timika. Sebulan sebelumnya, saya ke Hong Kong, kebetulan dapat tugas meliput peluncuran produk baru. Pernah juga gemeteran di markas pengepul minyak curian. Juga lagi seru-serunya belajar bikin web buat jualan buku. Pake Joomla. Hahaha.
I mean, banyak hal yang bisa dilakukan di usia 25 tahun.
Bukan maksud usil ya. Tapi, c’mon… married is … married. Bukan lantas jika kita sudah menikah maka pencapaian sebagai manusia, sempurna. Buat saya, pernikahan itu ‘alat atau cara,’ bukan tujuan itu sendiri.
Di antara riuhnya lalu lintas meme setelah ada yang menikah muda, saya juga membaca meme yang cukup memancing emosi. ” Perempuan itu butuh kepastian. Tinggalkan atau halalkan.”
Itu, ya… bikin naik pitam. Seolah-olah kok ya, perempuan itu sebatas bisa ditinggalkan dan dihalalkan. Ini rasa-rasanya ya, gerakan menikah usia dini sebatas mengikuti trend.
Sebelumnya, nge-follow akun-akun di media sosial juga belum tentu bisa jamin ngasih pencerahan. Yang ada kok malah tambah bodoh dan mancing kemarahan. Jarang loh ada akun yang dukung perempuan buat mencapai hal-hal di luar pernikahan. Entah kenapa.
Berkeluarga itu, mau tak mau akan otomatis membatasi ruang gerak. Akui saja, sedikit banyak, itu yang nyatanya terjadi. Menjadi perempuan menikah (apalagi punya anak) dengan segala pencapaian, butuh dukungan luar biasa, bahkan dari keluarga besar. Support system mesti ada.
Nah, para lelaki yang mau ajakin nikah muda, siap enggak buat dukung istrinya? Siap enggak buat sama-sama bertumbuh?
Sangatlah oke untuk menikah saat kamu merasa siap menikah. Berapapun usia kamu. Bahkan, dunia tidak lantas runtuh jika kamu baru menikah umur 30. Atau 40. Atau 50. Yang penting kamu “sadar” untuk menikah. Aware. Tau konsekuensinya.
Sebab kalau cuma sekadar galau, itu sih artinya kamu kebanyakan waktu kosong. Bikin kesibukan yang produktif lah, jangan kebanyakan nonton yang enggak-enggak di Youtube. Follow akun yang inspiring buat produktif di luar urusan menikah.
Kita semestinya merdeka untuk memilih menikah kapan saja, dengan siapa saja. Asal tidak di umur di bawah 18 tahun karena reproduksi perempuan memang belum siap di usia ini. Dan tentu, jangan pernah ada paksaan. Yang penting, aware dan tidak tergiring dogma, apalagi karena risih dengan komentar lingkungan yang sibuk bertanya: kapan nikah?
Keputusan menikah ini tentu sama dengan perempuan yang tak mau menikah. Ada banyak perempuan yang tak mau menikah, tak mau punya anak, hidupnya baik-baik saja. Lebih penting menjalani hidup tanpa ada paksaan, tak usah ribet menjawab: kapan nikah?.
Bilang saja, nanti tunggu saja undangannya.