Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Ujaran kebencian atau hate speech seringkali digunakan untuk membunuh karakter seseorang. Ini juga bisa digunakan untuk memecah belah sesuatu. Di masa Pilkada DKI Jakarta seperti sekarang ini, banyak sekali ujaran kebencian yang bertebaran di sosial media.
LBH Pers pernah menuliskan tentang kekhawatiran dampak dari penerapan hate speech terhadap kalangan minoritas. Pasalnya, selama ini, menurut catatan LBH Pers, yang menjadi korban dalam kasus hate speech justru kalangan minoritas.
Kali ini hate speech ditujukan untuk perempuan di sosial media. Sejumlah aktivis perempuan yang tergabung dalam Perempuan Indonesia Anti Kekerasan melaporkan hate speech yang dilakukan pemilik akun Dwi Ardika di sosial media yang diunggah pada 14 Maret 2017 ke Polda Metro Jaya, Senin 17 April 2017 kemarin. Akun yang diunduh dari laman Facebooknya ini berbunyi:
“Intinya yg dukung ahok tu goblok dan gk bermoral halal darahnya dibunuh dan halal jga kalau wanita diperkosa rame-rame…”
Akun ini dinilai telah menghasut masyarakat untuk membenci perempuan, mengajak untuk memperkosa perempuan.
Padahal pengalaman trauma perkosaan, ketakutan akan perkosaan tak pernah lepas dari perempuan. Kekerasan terhadap perempuan, terjadi di setiap perubahan dan konflik politik yang terjadi di Indonesia. Diawali dengan ujaran-ujarankebencian yang mendiskriminasi dan seksis terhadap perempuan serta ancaman kekerasan yang menyasar tubuh dan seksualitas perempuan.
Valentina Sagala dari Institut Perempuan menyatakan bahwa ujaran kebencian terhadap perempuan telah merendahkan martabat perempuan.
“Kami, Perempuan Indonesia Anti Kekerasan, akhir-akhir ini menyaksikan dan mengamati munculnya ujaran-ujaran kebencian, utamanya di media sosial, yang bisa berdampak pada kekerasan terhadap perempuan, yang terjadi pada proses kampanye Pemilihan Kepala Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Ujaran di atas secara jelas menyatakan, wanita halal diperkosa beramai-ramai,telah merendahkan martabat perempuan sebagai ciptaan Tuhan, bertentangan dengan Pancasila, UUD 195, dan Bhinneka Tunggal Ika, serta dapat berdampak pada stereotyping/pelabelan, stigma, diskriminasi, kekerasan, dan kebencian terhadap perempuan. Lebih jauh, ujaran ini dan sejenisnya, dapat berdampak pada terjadinya konflik.”
Perkosaan adalah serangan seksual yang ditujukan pada bagian tubuh dan seksualitas perempuan, yang mengakibatkan kehancuran dan integritas tubuh perempuan. Perkosaan bertujuan untuk menimbulkan rasa takut, mempermalukan, merendahkan dan melukai masyarakat. Dalam konteks konflik, perkosaan digunakan sebagai alat untuk menaklukkan, menghukum dan alat teror untuk melemahkan pihak lawan. Hal ini terjadi karena perempuan kerap diposisikan sebagai objek seksual, objek pengaturan, dan objek ekspresi kuasa oleh kekuasaan maskulin dan patriarkhi.
Ratna Batara Munti dari LBH APIK menyatakan bahwa diskriminasi terhadap perempuan dan kekerasan terhadap perempuan merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang bertentangan dengan hukum Indonesia, di antaranya UUD 1945, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 11 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, UU No. 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik; dan UU No. 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk-Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW).
“Ujaran-ujaran kebencian(hate-speech) terhadap perempuan merupakan tindakan yang sangat berbahaya yang bertentangan dengan hukum Indonesia serta dapat berdampak pada stereotyping/pelabelan, stigma, diskriminasi, kekerasan, dan kebencian terhadap perempuan. Lebih jauh, ujaran ini dan sejenisnya, dapat berdampak pada terjadinya konflik,” ujar Ratna Batara Munti.
Maka Perempuan Indonesia Anti Kekerasan selanjutnya menuntut negara, khususnya Presiden Joko Widodo beserta seluruh jajarannya, untuk secara proaktif merespon serius adanya dan/atau ditemukannya ujaran-ujaran kebencian (hate-speech)terhadap perempuan, menindak tegas pelaku, dan mengantisipasi serius kemungkinan terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam konstelasi politik yang berlangsung.
“Kami juga mendukung dan menuntut Kepolisian RI, untuk menindaklanjuti laporan kami dan melaksanakan Surat Edaran Kapolri Nomor: SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate-Speech), tanggal 8 Oktober 2015, dalam hal ini terkait dengan aspek gender dan jenis kelamin perempuan, yang dapat berakibat pada tindak diskriminasi, kekerasan, dan/atau penghilangan nyawa, “ ujar Pratiwi Febry, salah satu pengacara Perempuan Indonesia Anti Kekerasan.
Selanjutnya menyerukan kepada seluruh elemen Bangsa Indonesia, laki-laki dan perempuan, untuk bersatu padu menyelamatkan proses demokrasi dari segala bentuk teror dan kekerasan yang menggunakan tubuh dan seksualitas perempuan.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay.com)