Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Dalam kurun waktu seminggu ini, terdapat penyebaran konten video HA yang diduga dilakukan oleh media massa dan masyarakat. Penyebaran konten seksual yang dilakukan tanpa persetujuan ini jelas merupakan kejahatan seksual di dunia maya.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perempuan kembali menjadi obyektifikasi di dunia maya. Tubuh perempuan, apa yang dilakukan perempuan kemudian disebarkan secara sensasional. Dalam perspektif feminis, ini adalah terulangnya kembali tubuh perempuan menjadi obyek eksploitase di media, dan kali ini terjadi di media baru.
LBH Masyarakat mengecam penyebaran pemberitaan dan konten video HA, oleh media massa dan publik. Penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan merupakan kejahatan kekerasan seksual dan pelanggaran atas hak privasi korban.
Pemetaan LBH Masyarakat dalam pernyataan persnya pada 26 Oktober 2017 lalu menyebutkan bahwa hingga saat ini, sedikitnya tiga puluh (30) media online dan cetak telah memberitakan mengenai video HA dengan menyebutkan nama jelas dan menampilkan foto korban.
Pemberitaan oleh media-media ini telah melanggar Kode Etik Jurnalistik Pasal 2 mengenai profesionalisme jurnalis dan Pasal 9 mengenai penghormatan hak narasumber tentang kehidupan pribadinya. Selain itu, berita-berita yang berkembang juga melanggar hak atas privasi korban yang telah diatur dalam Pasal 28I Undang-Undang Dasar 1945, Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 Tentang Hak Asasi Manusia, dan Pasal 17 Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik.
Media massa menurut analis gender LBH Masyarakat, Arinta Dea Dini Singgi seharusnya turut melindungi korban dengan tidak menyebutkan nama korban ataupun identitas lainnya, tidak menyebarkan stigma, dan tidak menyalahkan korban penyebaran konten seksual tanpa persetujuan.
“Sebaliknya, media perlu memberitakan kasus ini secara berimbang dengan menitikberatkan pemberitaan pada pelaku yang melakukan penyebaran tersebut. Penyebaran berita maupun konten video tersebut yang dilakukan juga oleh publik melalui sosial media akan berdampak pada terganggunya kehidupan korban serta membahayakan keselamatan korban.”
Masyarakat hendaknya dapat melindungi korban dengan tidak menyebarkan video, pemberitaan yang menyebutkan identitas korban, melaporkan akun yang menyebarkan konten serta mengecam pelaku penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan tersebut.
LBH Masyarakat dalam pemetaannya juga menyatakan bahwa kasus HA bukanlah kasus pertama dan satu-satunya. Ada banyak kasus penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan lainnya yang tidak dapat diproses karena kekosongan hukum, ketakutan korban akan dipersalahkan ketika melapor dan opini negatif publik terkait korban.
“Beberapa penyedia layanan korban kekerasan seksual sering kebingungan ketika mendapatkan pengaduan dari korban karena tidak mekanisme hukum yang bisa digunakan. Undang-Undang ITE sudah melarang praktik penyebaran konten pornografi, namun, tidak mengatur penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan seperti kasus ini. Selain itu, masih ada kekosongan hukum terkait dengan perlindungan, pemulihan dan restitusi korban. RUU Kekerasan Seksual dapat menjawab kekosongan hukum tersebut,” kata Arinta Dea Dini Singgi, Analis Gender LBH Masyarakat.
Pihak kepolisian perlu mempertimbangkan situasi-situasi di atas dalam kasus HA dengan memperlakukan HA sebagai korban. Polri juga harus melakukan terobosan hukum dengan membuat standar opersional prosedur dalam menangani korban penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan dan mengusut pelaku penyebar video HA.
Polisi, media massa, dan publik sepatutnya bisa bahu-membahu untuk melindungi korban penyebaran konten seksual pribadi tanpa persetujuan sembari terus mendorong RUU Penghapusan Kekerasan Seksual agar disahkan.