Ilustrasi panti rehabilitasi

Pengalamanku Kunjungi Panti Rehabilitasi: Bau Pengap dan Dengar Cerita Perempuan Dirantai

Ini adalah pengalamanku berkunjung ke panti rehabilitasi. Kami menemui perempuan disabilitas mental yang hidup dirantai seperti di penjara.

Bulan November 2023 kemarin, Konde.co diajak organisasi Perhimpunan Jiwa Sehat (PJS) datang ke sebuah panti rehabilitasi. Saya sangat antusias ingin melihat kondisi panti.

Sesampainya di panti, disambut oleh pendiri sekaligus pengelola salah satu panti rehabilitasi di Bekasi, Jawa Barat.

Kami baru sampai disini setelah melewati jalan berlubang, penuh pasir dan bebatuan. Letaknya jauh dari Jalan Raya Tambun Selatan, Bekasi, Jawa Barat. Kami juga masih harus berjalan kaki menuju lokasi, melewati tempat pembuangan sampah.

Sampailah disini, di sebuah tempat rehabilitasi disabilitas mental. Salah seorang pendiri panti mulai memperkenalkan diri dan menceritakan awal berdirinya panti tersebut. Beberapa teman disabilitas mental juga ikut menyambut kami. 

Lelaki tersebut dulunya adalah seorang kusir delman. Ia sering mengantarkan anak-anak ke sekolah menggunakan delmannya dan melewati tempat pembuangan sampah. Di sana, ia sering berpapasan dengan orang disabilitas mental.

“Saya bukan seorang punya akademisi untuk mendirikan sebuah panti, saya dulu seorang kusir delman,”jelasnya pada Selasa (28/11/2023).

Sejak tahun 1995, ia mendirikan barak yang digunakan untuk menampung Penyandang Disabilitas Mental (PDM). Tekadnya berawal dari melihat seseorang yang sedang makan makanan sisa di tempat pembuangan sampah. Hatinya seperti teriris kala itu. Akhirnya, dia membawa pulang orang itu dan merawatnya.

Tiga bulan berlalu, orang tersebut perlahan ingat keluarga dan tempat tinggalnya. Dengan memberikan sejumlah uang, ia mempersilahkan orang tersebut pulang. 

Sebulan kemudian, orang tersebut kembali ke rumahnya bersama keluarga. Mereka berterima kasih atas jasa yang sudah dilakukannya.

Panti rehabilitasi ini bukanlah milik pemerintah. Ia mendirikannya dengan dana seadanya. Pihaknya menerima bantuan yang datang dari luar, salah satunya adalah dari Yayasan Sinergi Cahaya Kamil berupa makanan serta sumur bor dan air bersih. Selebihnya, panti menerima uang dari keluarga PDM yang rutin membayar setiap bulan.

Rindu Pekerjaan hingga Kebebasan

Dari tiga bangunan di panti ini, saya juga menghampiri bangunan di tengah ruangan. 

Saya melihat setiap satu ruangan berisi empat orang yang sedang duduk. Mereka tak ada aktivitas selain berdiri di pagar besi, berharap gembok dibuka oleh petugas. Sejauh yang kulihat, mereka tak saling bicara satu sama lain, melainkan menatap bingung.

“Halo Bu Dokter, kakak cantik deh,” ucap seorang perempuan disabilitas mental dengan manisnya. Terang saja saya tersipu malu dan menghampirinya. 

“Aku mau pulang, aku bisa kerja jadi pembantu rumah tangga,” ucapnya lagi. 

Salah satu perempuan disabilitas mental yang saya temui, sebut saja L, menghabiskan masa kecilnya bersama Dewan Kesejahteraan Masjid. Hubungan dengan kakaknya sedari dulu memang tak pernah baik. 

Selain tak mau mengurus, rumah mereka pun diambil alih oleh kakaknya. Padahal, L yang saat itu sudah berusia 18 tahun dan sudah menikah juga berhak atas rumah.

Sebelumnya, L adalah seorang guru. Ia mengaku memiliki ijazah yang bisa digunakan untuk melamar pekerjaan jika dirinya keluar dari Panti Al Fajar Berseri. Statusnya sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. 

L diminta berhenti bekerja oleh suaminya untuk mengurus anak di rumah. Pengorbanan L rupanya tak diindahkan oleh suaminya. Ia justru membuat L sakit hati. Kini, anak mereka dirawat oleh mertua L.

“Aku mau pulang, bebas sebagai manusia yang bebas,” ujar L terus menerus. 

Kurang lebih delapan tahun sudah L menghabiskan waktu di balik pintu besi ini. Berkali-kali ia mencoba kabur, tetapi usahanya selalu gagal. Petugas panti pun sempat merantai L agar tak kabur lagi. 

Keluarganya berjanji akan segera membebaskan L. Sayangnya, janji tersebut tak pernah terealisasi.

Baca Juga: ‘Hidden Torture’ Ungkap Penyiksaan Tersembunyi di Panti Disabilitas
Perempuan Disabilitas Mental Rentan Alami Kekerasan

Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia (PJS) menyebut panti-panti disabilitas mental di Indonesia justru sering menjadi tempat praktik pelanggaran hak asasi manusia. Kebebasan orang dengan disabilitas mental dirampas, diperlakukan tak manusiawi, dan rentan mengalami perbuatan yang merendahkan martabat manusia.

Seperti di panti, saya bersama kawan yang lain menemukan satu botol sabun yang digunakan untuk mandi dan mencuci. Saat dicium baunya, sabun ini mengeluarkan aroma seperti sabun pel. Tak heran jika mereka menderita penyakit kulit hingga menjadi koreng. 

Kondisi makin diperparah dengan kamar mandi yang kotor dan mengeluarkan bau tak sedap.

Saya tak melihat adanya pakaian dalam di jemuran sekitar tempat tinggal PDM perempuan. Timbul rasa curiga dalam benak saya, apakah mereka tak memakai atau memiliki pakaian dalam? 

Jika betul demikian, bagaimana saat mereka menstruasi? Apakah panti menyediakan pembalut untuk digunakan perempuan disabilitas mental?

Terpisah, data PJS menyebutkan perempuan disabilitas mental di Indonesia mengalami kekerasan dan ketidakadilan yang berlapis. 

Tak sedikit dari mereka yang menjadi korban pelecehan seksual oleh petugas panti. Tubuh dan organ vitalnya disentuh tanpa izin, dimandikan, serta diperkosa hingga menyebabkan hamil. 

Perempuan disabilitas mental juga rentan mengalami sterilisasi dan pemasangan kontrasepsi paksa. Padahal, tindakan ini jelas melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS). 

Perempuan dianggap tak memiliki kapasitas mental untuk berhubungan seksual sehingga setiap kehamilan yang terjadi dianggap hasil dari pemerkosaan.

Menurut temuan Komnas Perempuan, terdapat panti yang memasangkan secara langsung KB susuk kepada penghuni perempuan yang berada di usia subur. Di Rumah Sakit Jiwa (RSJ), mereka melakukan tubektomi terhadap pasien perempuan. Semua tindakan ini dilakukan tanpa persetujuan (informed consent) dari perempuan PDM.

Persoalan Perempuan di Panti Disabilitas Mental

Penanganan disabilitas psikososial (mental) di Indonesia hingga kini masih menggunakan konsep institusionalisasi. Kala itu, Pemerintah Kolonial memposisikan orang disabilitas mental (krankzinnigen atau orang gila) sebagai kelompok yang harus dikurung di Rumah Sakit Jiwa atau tempat penampungan sementara (sekarang disebut panti). 

Pasca Indonesia merdeka, kondisi ini tidak jauh berubah bahkan pasca Indonesia meratifikasi Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) sebagai Undang-Undang No. 19 tahun 2011 dan memiliki Undang-Undang No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. 

Menurut data terbatas PJS, terdapat 12.600 penyandang disabilitas mental yang terkurung di dalam institusi rehabilitasi mental di Indonesia. Sebagian diantaranya adalah perempuan. 

Rata-rata mereka menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Mereka dibawa oleh anggota keluarga, petugas, dan razia pemerintah setempat ke panti rehabilitasi tanpa persetujuan. Pemaksaan ini membuat perempuan disabilitas mental rentan mengalami kekerasan berikutnya di panti.

Tak sedikit dari mereka yang dirantai, dipasung, dipenjara dalam ruang sempit, hidup dengan fasilitas panti yang tak memadai dan tertutup. Kondisi ini memaksa mereka untuk buang air, makan, dan tidur di tempat yang sama.

Bentuk kekerasan yang sering dialami oleh perempuan disabilitas mental adalah diraba atau diremas vagina atau payudaranya, diancam untuk berhubungan seksual, hingga dimandikan paksa oleh petugas panti laki-laki di tempat terbuka.

Masalah besarnya, perempuan disabilitas mental yang menjadi korban kekerasan seksual di panti tak bisa melaporkan kasus yang menimpanya dengan mudah ke lembaga layanan. Beberapa penyebabnya yaitu:

  1. Mereka hidup dalam kondisi terampas kebebasannya dan tak memiliki akses keluar atau lari dari panti.
  2. Tak ada mekanisme pengaduan atau pelaporan.
  3. Tak ada akses alat komunikasi dan informasi sehingga mereka kehilangan jejak waktu selama di panti.
  4. Tak tahu harus mengadu ke mana jika mengalami kekerasan di panti rehabilitasi.
Implementasi UU TPKS bagi perempuan PDM

Setelah mengunjungi panti, saya bersama teman-teman melanjutkan pada diskusi. Acara yang diselenggarakan Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia pada Rabu (28/11/2023) ini mengajak seluruh lapisan masyarakat untuk ikut andil membantu perempuan disabilitas mental memeroleh keadilan.

“Hari ini kita berharap kita bisa mengurai, mengidentifikasi apa pelanggaran-pelanggaran yang terjadi baik berdasarkan kacamata CEDAW dan kacamata UU TPKS,”ujar perwakilan PJS, Marsinah Dhede.

Dalam acara bertajuk “Mengurai Hambatan, Menguatkan Komitmen Bersama untuk Implementasi UU TPKS Bagi Perempuan Disabilitas Psikososial di Panti Rehabilitasi Mental”, poin yang terus ditekankan dalam hal ini adalah “siapa melakukan apa”. 

Oleh karena itu, seluruh peserta yang hadir turut menyusun strategi kampanye yang berkaitan dengan implementasi UU TPKS dan CEDAW (The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women) untuk mencegah, menangani, melindungi, dan memulihkan perempuan disabilitas mental korban kekerasan seksual.

“Tidak hanya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, tetapi momentum bagi kita semua untuk merefleksikan apa yang harus kita lakukan saat ini dan ke depan dengan persoalan-persoalan kekerasan dengan semakin beragamnya kasus-kasus kekerasan yang terjadi,”ujar Sekretaris Deputi KemenPPPA, Ratna Susilawati.

Usai kunjungan dan diskusi, PJS bersama jaringan lainnya akan melakukan assessment ke panti rehabilitasi disabilitas mental sebelum membuat instrumen perlindungan perempuan PDM dari tindak kekerasan di panti.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk komitmen bersama dalam mencegah, melindungi, dan memberikan upaya pemulihan bagi korban kekerasan seksual di panti rehabilitasi mental. Harapannya, setelah ini tak ada lagi kekerasan terhadap perempuan disabilitas mental baik di wilayah panti maupun di tengah masyarakat. 

Rustiningsih Dian Puspitasari

Reporter Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!