16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Buruh Perempuan Tuntut Perusahaan Hapus Upah Padat Karya

Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co – Para buruh perempuan datang ke balaikota DKI Jakarta, tepat di hari anti kekerasan terhadap perempuan. Mereka menuntut upah padat karya. Peringatan ini digelar pada 25 November setiap tahunnya untuk mengingatkan pentingnya menghapus kekerasan pada perempuan. Buruh menganggap upah padat karya merupakan bentuk kekerasan sistemis pada perempuan.

Penolakan itu diwujudkan dalam aksi unjuk rasa tersebut untuk menolak upah murah. Peraturan upah padat karya di empat kabupaten/kota di Jawa Barat memungkinkan pengusaha membayar upah buruh hingga Rp 600 ribu lebih murah dari upah minimum. Berdasarkan Permenperin 51/2013 menetapkan upah padat karya diperuntukan bagi industri makanan, minuman, tembakau, tekstil, pakaian jadi, kulit, alas kaki, mainan anak, dan furnitur dengan buruh lebih 200 dan komponen upah lebih 15 persen

Para buruh tersebut berasal dari Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Kelompok Kerja Buruh Perempuan, Federasi Serikat Umum Indonesia, Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), Perempuan Mahardhika, Gabungan Serikat Buruh Mandiri, dan SBSI92.

Ketua Bidang Perempuan KPBI Dian Septi menekankan buruh menolak Upah Padat Karya karena menganggapnya sebagai bentuk dukungan negara untuk pemiskinan sistematis, terutama pada perempuan.

“Mayoritas buruh di sektor padat karya merupakan perempuan,” jelasnya. Alhasil, buruh perempuan menjadi korban utama dari pemiskinan dengan alasan “untuk investasi ini.”

Dukungan politik pada upah murah itu bahkan muncul dari pucuk pimpinan pemerintahan.

“Tidak tanggung-tanggung, rapat pemutusan UPK ini langsung dikoordinasikan oleh Wapres JK dan Gubernur Jawa Barat,” kata Ketua Umum KPBI Ilhamsyah.

Selain itu, turut disesalkan juga adanya kelompok buruh yang memberi legitimasi pada penerapan upah padat karya.

Ilhamsyah menganggap penetapan Upah Padat Karya bertentangan dengan Undang-undang. Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan pasal 90 sudah menegaskan sanksi hingga 4 tahun dan denda hingga 400 juta bagi yang membayar buruh di bawah upah minimum.

Aksi ini juga untuk mengingatkan bahwa ke depannya penerapan upah murah bisa terjadi tidak hanya di Jawa Barat. Upah murah bisa diterapkan lintas sektor dan provinsi dengan alasan yang mengada-ada untuk kepentingan pemilik modal.

Di Bojonegoro, buruh bahkan mesti mendapat imbalan jauh dari layak berupa Upah Umum Pedesaan sebesar Rp 1,050 juta atau lebih rendah 500 ribu dari UMP.

“Ini bentuk kongkrit dari politik upah murah yang terus dijalani pemerintah dalam melayani dan mengikuti keinginan pemilik modal,” katanya.

Perwakilan Pokja Buruh Perempuan dari FSUI Ajeng Pangesti Anggriani menyebutkan bahwa Jakarta sangat berpeluang menjadi sasaran berikutnya.

“Kalau berhasil di Jawa Barat, saya yakin akan diterapkan di Jakarta. Buruh akan ditakut-takuti dengan banyaknya pabrik yang pindah ke daerah,” kata Ajeng.

Ia menjelaskan pengusaha saat ini terus meneror buruh-buruh perempuan di sektor padat karya di Jakarta.

“Sampai-sampai tidak istirahat makan mengejar target. Ini menjadi kesempatan pengusaha menerapkan upah padat karya,” imbuh pekerja di KBN Cakung ini.

Selain itu, wilayah-wilayah lain tempat sasaran relokasi pabrik seperti Jawa Tengah juga berpeluang menerapkan ini jika tidak segera dibendung. “Pemimpin daerah seakan-akan sedang bersaing daerahnya punya upah buruh lebih murah. Sudah terjadi,” jelasnya. Sementara, upah minimum di Jawa Tengah sudah tergolong rendah yaitu Rp 1,48 juta.

Buruh juga terus memprotes penerapan PP Pengupahan 78/2015 untuk menentukan besaran upah minimum. Buruh menolak PP Pengupahan untuk segera dicabut. Selain menghilangkan hak berunding buruh, produk hukum itu memangkas daya beli buruh dan bertentangan dengan Undang-undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang tersebut mewajibkan penentuan upah berdasarkan survey Komponen Hidup Layak, bukan berdasarkan inflasi nasional dan pertumbuhan ekonomi.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!