Catatan Penembakan dr. LS: Tidak Terintegrasinya Penyelesaian KDRT



*Abdul Hamim Jauzie – www.konde.co



​Sejumlah media masa saat ini tengah ramai memberitakan kasus penembakan dr. LS yang diduga dilakukan oleh dr Ryan Helmi. 



dr. Ryan ini tidak lain merupakan suami korban. Kasus penembakan terjadi di Jakarta pada 9 November 2017.



Diketahui, dr Ryan diduga tidak terima dengan gugatan perceraian yang diajukan isterinya tersebut, kemudian timbullah cekcok. 



Sebagaimana diutarakan adik korban, Maya Safira, semasa hidupnya, korban kerap mengalami Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya. Karena itulah ia mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan. Kerabat korban lainnya, Gulfan Afero menuturkan, korban pernah melaporkan suaminya ke kepolisian. 

Kasus dugaan penembakan di atas, semakin memperkuat data Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) di Indonesia. Dari sejumlah data organisasi masyarakat sipil maupun Komnas Perempuan, data-data itu menunjukkan, imunitas terhadap pelaku KDRT masih terus terjadi. 



Tidak terintegrasinya penyelesaian perceraian dan KDRT, membuat banyak korban KDRT lebih memilih untuk menyelesaikan pengalaman kekerasannya dengan mengajukan gugatan perceraian dan tidak melaporkan KDRT yang dialaminya (Sulistyowati Irianto: 2008). 



Dalam kasus penembakan dr. LS, KDRT yang dialami korban sudah dilaporkan ke kepolisian, di mana laporan kepada kepolisian itu nantinya akan bermuara pada Pengadilan Negeri. Sedangkan gugatan perceraian yang diajukan korban dilakukan di Pengadilan Agama. Dalam hal ini, korban memang sudah menempuh dua jalur penyelesaian yang tidak terintegrasi tersebut, yakni jalur pidana untuk KDRT yang dialaminya, dan jalur perdata untuk perceraiannya. 



Namun, nampaknya tidak ada penanganan laporan yang sungguh-sungguh dari pihak kepolisian, aparat kepolisian yang belum sensitive gender atau belum memahami UU No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). 



Hal ini tidaklah berlebihan, mengingat temuan Rifka Annisa Yogyakarta dan LBH APIK Jakarta pada 2009 menyebutkan bahwa mayoritas aparat kepolisian tidak memahami prosedur memperoleh penetapan perintah perlindungan sebagaimana dalam UU PKDRT. 

Perlindungan terhadap korban (dan saksi) merupakan hak bagi setiap korban (dan saksi) tindak pidana (Pasal 5 UU Perlindungan Saksi dan Korban). Tak terkecuali korban (dan saksi) dalam tindak pidana KDRT. Selain ketentuan umum yang diatur dalam UU Perlindungan Saksi dan Korban, korban KDRT mempunyai aturan khusus sebagaimana diatur dalam Pasal 16-38 UU PKDRT. Penulis menduga, kepolisian di mana dr. LS melaporkan tindak KDRT yang menimpanya, mereka tidak melakukan perlindungan sebagaimana dimandatkan UU PKDRT. 

Pasal 16 UU PKDRT menyebutkan bahwa: 



(1) Dalam waktu 1x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak mengetahui atau menerima laporan kekerasan dalam rumah tangga, kepolisian wajib segera memberikan perlindungan sementara pada korban



(2) Perlindungan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan paling lama 7 (tujuh) hari sejak korban diterima atau ditangani



(3) Dalam waktu 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam terhitung sejak pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian wajib meminta surat penetapan perintah perlindungan dari pengadilan.

Sangat disayangkan, UU PKDRT yang dianggap sebagai payung hukum bagi korban kekerasan rumah tangga dan sudah diundangkan sejak 13 tahun lalu, seolah hanya sebagai hiasan dalam tatanan hukum di negara kita. 



Aparat kepolisian sebagai ujung tombak penegakan hukum bagi perempuan korban kekerasan masih banyak yang tidak sensitive gender dan tidak memahami UU PKDRT. 



Penulis mengusulkan agar ketentuan perlindungan bagi korban sebagaimana dalam UU PKDRT menjadi implementatif dan teknis operasional yang mudah dipahami aparat kepolisian; Kapolri membuat petunjuk pelaksanan penanganan kasus KDRT; dan menjadikan materi adil gender dan kekerasan berbasis gender sebagai materi dasar dalam pendidikan kepolisian di berbagai tingkatan dalam meningkatkan pemahaman sensitivitas gender bagi setiap aparat kepolisian. 



Ke depan, berharap tidak ada lagi dr. LS lain yang menjadi korban. Semoga!



Referensi: 



http://news.metrotvnews.com/read/2017/11/13/786964/guru-besar-kriminologi-ui-warga-sipil-mudah-dapat-senjata-api



https://news.detik.com/berita/d-3721495/keluarga-dr-letty-yakin-dr-helmi-tak-gangguan-jiwa-ini-alasannya


(Foto/Ilustrasi: Pixabay.com)




*Abdul Hamim Jauzie, Pendamping Perempuan Korban. Dapat dihubungi melalui abdulhamimjauzie@gmail.com

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!