Estu Fanani dan Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co – Drama Ode Tusuk Konde begitu menyihir siapa saja yang menontonnya. Cerita getir seolah tak pernah habis. Menyaksikan ini, seperti berbincang dengan banyak perempuan korban di atas panggung pertunjukan.
Tubuh perempuan yang seharusnya menjadi subyek, dipotret sebagai tubuh obyek yang disajikan. Bagaimana tubuh kemudian diperdagangkan, dilecehkan dan dibuang. Cerita ini diambil dari kisah para perempuan korban, pengalaman nyata bagaimana tubuh mereka menjadi obyektifikasi sebuah kekuasaan.
Bermula dari kisah getir Mak Ecih seorang penari ronggeng yang sangat terkenal pada masanya. Menjadi seorang Jugun Ianfu adalah sebuah keniscayaan yang mesti diterima dengan keterpaksaan semasa pendudukan Jepang di tanah Jawa.
Mak Ecih (diperankan oleh Angie ‘The Virgin’), semasa muda belia bernama Sunarsih bertubuh langsing dan berkulit kuning langsat, siapa pun lelaki melihatnya pasti menelan ludah – memuja kecantikannya – sebab itulah Sunarsih dijadikan sebagai mangsa, pelayan pemuas nafsu para serdadu tentara Jepang untuk memuaskan hasrat seksual, sungguh kasihan!
Sialnya lagi, Mak Ecih harus menanggung janin yang tumbuh di rahimnya, bukan dari sebuah ikatan perkawinan melainkan dari peristiwa tindakan kekerasan seksual. Berita kehamilan Mak Ecih sampailah ke semua orang sekampung, Mak Ecih di asingkan, di cibir dan di usir dari kampung halamannya.
Mak Ecih tiadalah meradang menyesali takdirnya, kakinya terus menapak kokoh menuju kampung tak berhuni sebagai tempat kehidupan baru, membesarkan Keshi anak yang dibesarkannya tanpa bapak dan cinta.
Kampung yang dulunya hanya dihuni Mak Ecih dan Keshi kini banyak sudah di huni orang, mereka semuanya adalah perempuan, kedekatan senasib atas perlakuan kekerasan seksual dan kesewenang-wenangan kaum lelaki dan ketidakberpihakan penguasa terhadap perlindungan kaum perempuan menjadi alasan membawa mereka ke tempat yang memberi rasa aman, rasa cinta dan rasa kebersamaan sampai-sampai orang di luar sana menyebutnya Kampung Jugun. Dan Nyi Keshi pun sebagai tetua kampung setelah mangkatnya Mak Ecih.
Kehadiran ronggeng yang berasal dari kampung Jugun membawa legenda tersendiri, popularitas mak Ecih pada masanya mengundang kerinduan. Cerita Kembang menjadi ronggeng tersiar dari mulut ke mulut dan sampailah ke telinga Ompe ( Om Penguasa ). Tidak menunggu waktu Ompe pun bergegas menuju kampung Jugun. Sesampainya di sana Ompe menyampaikan maksud keinginannya kepada Nyi Keshi agar Kembang dapat menari di istananya.
Menerima tawaran Ompe sama saja mengindahkan amanah emak, Nyi Keshi pun memberikan penjalasan kepada Ompe dan memohon tenggat waktu kepada Kembang untuk mencari tusuk konde milik emak yang telah dititipkan kepada petapa di bawah kaki gunung yang airnya tak mengalir. Ompe pun mengangguk pertanda setuju dan sangat memahaminya.
Lalu mulailah Kembang melakukan pencarian tusuk konde, dari satu gunung ke gunung lainnya, kakinya begitu letih di tengah keputusasaan, bertemulah Kembang dengan seorang petapa di sebuah petilasan yang letakkan di kaki gunung Ciremai.
Tanpa bertanya, petapa itu memulai percakapan “ kisanak pastinya adalah orang yang mendapat wasiat dari Mak Ecih untuk mencari tusuk konde bukan ? memang benar di sinilah tempat emak menyimpannya “. Hati Kembang pun membuncah mendengar lamat-lamat petuah dari petapa yang telah dijumpainya.
Sekembalinya, Kembang pun bergegas menuju istana dengan menenteng sebuah konde tanpa mengenakannya, di temuinya Ompe yang tengah duduk di kursi kekuasaannya. Ompe pun memulai pembicaraan “ Kenapa kondenya tak dikenakan, bisakah Kembang menari untuk Ompe ? “.
Lalu Kembang pun menjawab
“Jika tusuk konde ini adalah lelaki, maka dia hendaknya menguatkan dan memberikan rasa aman. Jika tusuk konde ini adalah kekuasaan, maka dia hendaknya membuat hukum-hukum untuk melindungi, perempuan adalah bumi, dari sanalah semua bermula, maka muliakanlah “
Ompe pun terdiam, geram, tangannya pun bergetar mengepal karena tertampar petuah tusuk konde. Kembang pun melanjutkan perkataannya “ Bolehkah aku bertanya, siapakah orang yang melahirkan Ompe ? “
Cukup !!!, kata Ompe wajahnya disembunyikan tak sanggup menatap Kembang.
Demikian sekelumit naskah pementasan Ode Tusuk Konde yang disutradarai Agustian. Drama ini digagas oleh para penyintas LBH APIK Jakarta dan dipentaskan pada Minggu, 10 Desember 2017 di GoetheHaus Jakarta.
Drama ini menimbulkan decak kagum, ada ritme dramatis yang membuat para penonton banyak merenung tentang bertubi-tubinya kekerasan yang terjadi pada perempuan di Indonesia, dari masa penjajahan Jepang hingga hari ini. Perdagangan perempuan, kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan sebagai penari dan buruh. Kemudian pelecehan, stigmatisasi yang terus menerus terjadi pada tubuh perempuan.
Dari pementasan ini kita bisa berpikir: bahwa tubuh perempuan banyak menjadi obyek dari sebuah kekuasaan, dari jaman penjajahan hingga kekuasaan subtil yang ada di sekeliling kita. Lantas bagaimana melawan ini semua?
Pementasan ini menawarkan hal yang penting: bahwa solidaritas bersama para korban menjadi ruang untuk melakukan perlawanan.