Luviana- www.Konde.co
Dulu waktu sekolah, merayakan Imlek adalah seperti pulang ke kampung halaman. Banyak sekali yang membawa kue keranjang ke sekolah, dan pasti kita akan makan ramai-ramai, bahkan kita selalu membawa pulang sesudah itu karena selalu banyak sekali kue keranjang yang terkumpul.
Obrolan kami pastinya sekitar Imlek dan kue keranjang: siapa yang memasak kue keranjang ini, kenapa warnanya bisa coklat tua dan ada yang coklat muda. Kenapa rasanya ada yang lembut tapi ada juga yang agak keras. Ngobrol seperti ini selalu membuat kami ingin belajar lebih banyak soal tradisi dari keluarga-keluarga lainnya.
Saking banyaknya yang membawa kue, sampai-sampai jika kue keranjangnya masih tersisa, besoknya kami masih bisa menggorengnya lagi dengan telur dan dimakan lagi beramai-ramai.
Saya selalu hidup di tengah lingkungan yang beragam. Teman sekolah yang berasal dari banyak daerah karena sekolah kami yang berada di tengah kota yang mudah diakses. Juga ketika di rumah, ada 15 anak kost yang berasal dari berbagai daerah. Jadi setiap hari raya apapun, rumah kami selalu ramai untuk tempat berkumpul. Ketika ramadhan, ada hantaran kue. Ketika Natal, selalu ada kue tart demikian juga ketika Imlek datang, selalu ada kue yang datang ke rumah kami. Ibu-ibu kami yang selalu memulai tradisi ini.
Jadi kue, bagi kami bukan saja pusat kegembiraan, tetapi juga menjadi tanda keberagaman karena kami bisa menikmatinya secara bersama-sama. Kami malah menyebutnya bahwa makanan adalah tanda yang bisa menyatukan kami semua.
Tulisan sejahrawan JJ Rizal soal makanan dan keberagaman di Koran Tempo ini selalu mengingatkan saya pada beragamnya makanan, dan tak hanya itu namun sudah menjadi budaya bagi semua orang.
Adalah kue keranjang. JJ Rizal menulis bahwa sudah lebih dua dasawarsa lebaran belakangan ini, di meja hidangan orang Betawi-Jakarta mulai banyak ditemukan kue cina atau kue keranjang yang merupakan kue utama perayaan tahun baru Cina (sin tjia).
“Terang saja kue cina tidak bisa menggantikan simbolisasi dari kue satu, tetapi kue cina yang adalah hidangan utama perayaan sin tjia penganut Sam Kauw (‘tiga ajaran’: Konfusianisme, Taoisme, dan Budhisme), telah membuat hidangan lebaran malah bertambah kuat bobot filosofisnya ihwal pluralisme. Sebab sebelumnya orang Betawi-Jakarta dalam lebaran sudah memasukan kaas stengels, yaitu hidangan natal para Belanda dan Indo penganut Kristen. Banyak cerita yang dituturkan dari orang-orang tua yang hidup di zaman voor de oorlog alias zaman sebelum perang di Jakarta yang mengungkapkan bahwa orang Betawi setiap natal dan tahun baru datang ke rumah orang Indo. Biasanya malam hari. Mereka memberi ucapan selamat dan dijamu. Sebaliknya sinyo dan noni ikut merayakan malam lebaran, bermain petasan dan kumpul-kumpul di kampung. Tuan dan nyonya memberi ucapan selamat lebaran kepada tetangganya orang Betawi.”
Dan kini, saya menemukan kue keranjang ini diantara tahun baru Imlek yang terjadi hari ini. Salah satu teman mengirimkan kue keranjang semalam. Ia mengingat dengan jelas bagaimana dulu setiap kali kami lahap memakan kue keranjang. Teman anak saya juga membagikan kue keranjang di sekolah. Bagi saya inilah kegembiraan kami di tahun baru Imlek hari ini. Walaupun jauh, kami bisa merayakannya bersama-sama. Dan, makan kue keranjang setiap Imlek datang, ini tradisi seru yang selalu ada di tengah kami.
Walau Imlek di tahun ini, kami juga merasakan perbedaan. Di waktu dekat ini, banyak hal yang sudah terjadi. Fundamentalisme agama yang semakin menguat adalah satu fakta yang ada di tengah kami. Mengherankan memang jika semua kegiatan selalu mengatasnamakan agama. Dan ini semakin menguat jika kita lihat saja kalau kita di jalan- jalan di Jakarta, ada banyak spanduk acara yang mengatasnamakan agama, di sosial media ada banyak kotbah agama, di whats app pun yang sifatnya lebih personal daripada facebook, orang juga menuliskan dengan bahasa-bahasa agama.
Teman saya si pengirim kue keranjang menelepon siang ini,”Padahal kalau kita bisa ramai-ramai kayak dulu seru ya, kita ketemu, tidak pernah ngobrolin agamamu apa, agamaku ini, kami suku itu, kamu suku ini, trus kita makan bareng, selesai deh semua.”
Simpel bukan?
Karena dari dulu ibu kita semua, nenek moyang kita sudah mempunyai tradisi untuk menyatukan kita semua, dari menyapa ketika bertemu di jalan, dari mendatangi rumah orang ketika ada perayaan dan diakhiri dengan makanan yang kita masak ramai-ramai.
Sesimpel itu sebenarnya dan tak sulit untuk kita kerjakan, karena para perempuan jaman dulu, ibu-ibu kita sudah terlebih dahulu memberikan pelajaran atas ini: keberagaman melalui kue yang kita makan setiap hari raya tiba.
(Referensi: http://lembagakebudayaanbetawi.com/headline/lebaran-makanan-dan-persaudaraan.html)