*Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Kekerasan dan pelecehan seksual yang terus terjadi pada buruh perempuan terus menjadi pembahasan intensif dan penting.
Kekerasan seksual yang dialami para perempuan buruh garmen di Indonesia juga disoroti dalam Konferensi Pekerja Internasional yang diadakan International Labour Organisation (ILO) di Jenewa.
Sidang yang dilaksanakan pada 28 Mei hingga 8 Juni 2018 ini membahas persoalan-persoalan yang menimpa para buruh sedunia.
Pengamatan sidang yang diadakan koalisi serikat buruh/serikat pekerja bersama organisasi pembela HAM dan hak pekerja lainnya dalam pernyataan sikapnya menyebutkan mengenai risiko kekerasan yang ada di tempat kerja. Para aktivis menyebut bahwa koalisi kemudian mendesak ditetapkannya standar global mengenai kekerasan berbasis gender pada sidang Konferensi Pekerja Internasional (ILC) ILO tersebut.
Pada sidang tahunan tersebut, para pimpinan serikat pekerja dari seluruh dunia bersama dengan pemerintah dan kelompok bisnis akan bertemu untuk mendiskusikan standar global untuk perlindungan perempuan di berbagai sektor.
Salah satu sektor yang menjadi sorotan dalam sidang ILO kali ini berkaitan dengan industri garmen. Sektor yang banyak didominasi pekerja perempuan itu justru menempatkan perempuan sebagai korban dari berbagai praktek kekerasan.
Perempuan-perempuan itu umumnya terkonsentrasi di bagian produksi, sebagai operator mesin, pemeriksa-checker, dan helper. Mereka setiap harinya mengalami kekerasan fisik, verbal, seksual, mendapatkan ancaman, intimidasi dan pembalasan bila mereka melaporkan kekerasan yang mereka alami.
Sebuah riset yang dilakukan oleh Perempuan Mahardhika di Kawasan Berikat Nusantara Cakung (KBN) di Jakarta Utara misalnya, menemukan bahwa 56,5 persen buruh garmen perempuan mengalami pelecehan seksual.
Dari 437 buruh perempuan korban pelecehan seksual, sebanyak 93,6 persen tidak melaporkan pelecehan yang dialaminya.
“Korban pelecahan seksual tidak hanya menerima perlakuan yang merendahkan, mengganggu dan mengusik martabat, namun juga harus berhadapan dengan ancaman berlanjut dan rasa takut. Pada akhirnya, pelecehan dianggap menjadi hal yang biasa. Sulit dihindari namun beresiko untuk disuarakan atau dinyatakan” ungkap Vivi Widyawati, Koordinator Program Penelitian Perempuan Mahardhika.
Syarif Arifin, Direktur Eksekutif LIPS dan juga Koordinator Asia Floor Wage Alliance (AFWA) Indonesia menjelaskan, kekerasan yang terjadi di industri garmen bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri.
Kekerasan yang dialami pekerja perempuan merupakan dampak dari ketidakadilan gender, diskriminasi, stereotipe, patriarki dan relasi kuasa yang tidak seimbang. Di industri garmen, kekerasan merupakan cara yang digunakan pengusaha untuk mendapatkan keuntungan maksimal.
“Industri garmen sangat bergantung pada tenaga kerja murah dan fleksibel. Para pemilik merek (brand) menekan pemasok untuk menurunkan harga sementara produksi yang dihasilkan tidak terprediksi dan bervariasi. Membayar pekerja kontrak biayanya lebih murah dibandingkan pekerja permanen. Upah mereka lebih rendah dan jarang sekali mendapat tunjangan, termasuk cuti dengan bayaran dan jaminan sosial,” ungkap Syarif.
Berdasarkan pengalaman Ketua Umum Serikat Pekerja Nasional (SPN), Iwan Kusmawan, yang banyak melakukan advokasi pekerja garmen perempuan mengatakan, praktek kerja di pabrik garmen sangat rentan menjadikan buruh perempuan sebagai korban kekerasan.
“Tingginya target produksi membuka peluang besar terjadinya kekerasan verbal, fisik bahkan seksual. Buruh dipaksa untuk mencapai target produksi yang tidak masuk akal sehingga kondisi kerja penuh tekanan dengan jam kerja yang panjang. Dan upah yang didapatkan tidak cukup buat kebutuhan keluarga sehari-hari,” terangnya.
Di tingkat nasional, Iwan mengatakan, ia dan organisasi-organisasi yang tergabung dalam AFWA Indonesia beserta organisasi pembela ham dan hak pekerja lainnya, mendesak ILO untuk mengesahkan standar perlindungan buruh perempuan.
“Untuk itu, kami mendesak agar pemerintah Indonesia, merek dan pemasok menyatakan dengan tegas dukungan terhadap Konvensi dan Rekomendasi Kekerasan Berbasis Gender di dalam sidang ILO dan menjalankannya di Indonesia,” jelas Iwan.
Lebih jauh, Andriko Otang, Direktur Eksekutif Trade Union Right Center (TURC) menjelaskan, kekerasan terjadi tidak hanya di ruang produksi saja tetapi juga pada perjalan pergi dan pulang kerja. Bahkan kekerasan masuk ke rumah ketika rumah menjadi tempat kerja bagi para pekerja rumahan.
“Pekerja rumahan merupakan mata rantai terbawah dalam proses produksi pada femonena rantai pasokan global. Target kerja berlebih dan rawan kekerasan verbal dari mandor apabila hasil kerjanya tidak sesuai. Upah yang mereka terima rendah akibat tidak terlindunginya pekerja rumahan dalam hukum nasional.
Anannya Bhattarcharjee, sekertariat AFWA Internasional menjelaskan, untuk menghapuskan kekerasan berbasis gender di tempat kerja, para pemilik merek harus turut mengambil tanggung jawab terhadap apa yang terjadi di rantai pasokannya. Mereka harus menghormati kebebasan berserikat dan perundingan bersama yang memberikan peluang kepada pekerja perempuan untuk menjadi agen perubahan dalam ekonomi global
AFWA internasional baru saja meluncurkan laporan penelitian mengenai kekerasan berbasis gender yang terjadi di rantai pasokan garmen Walmart di Asia. AFWA berharap laporan penelitiannya dapat menjadi rekomendasi dalam sidang tersebut.
Lebih jauh AFWA mendesak sidang ILO menghasilkan kerangka kerja yang kokoh sehinga menjadi cetak biru untuk penghapusan kekerasan berbasis gender. Rekomendasi ini selain diberikan kepada pemerintah, juga pada industri dan serikat-serikat pekerja.
(Foto/Ilustrasi: Pixabay)