Luviana- www.Konde.co
Jakarta, Konde.co- Luka dan trauma adalah beberapa hal yang sering dialami para jurnalis ketika mereka melakukan peliputan. Peliputan ini biasanya terjadi ketika jurnalis sedang melakukan peliputan di daerah konflik, ketika meliput aksi atau demonstrasi atau ketika melakukan peliputan bencana. Tak hanya mendapatkan kekerasan, para jurnalis juga kadang mengalami trauma setelah melihat kejadian atau mengingat kejadian yang mereka alami.
Salah satunya ketika jurnalis melakukan peliputan aksi mahasiwa ke gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada Selasa 24 September 2019, mereka mengalami beberapa intimidasi yang dilakukan polisi. Aksi ini dilakukan mahasiswa dan jaringan masyarakat sipil menuntut pemerintah dan DPR mencabut pasal-pasal bermasalah di Rancangan Kita Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP dan menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK, serta membatalkan RUU bermasalah lainnya seperti Racangan Undang-Undang atau RUU Pertanahan dan RUU Ketenagakerjaan. Aksi tersebut kemudian berujung ricuh ketika polisi mulai menembakkan gas air mata mengusir mahasiswa untuk pergi dari gedung DPR.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta mencatat dalam peristiwa tersebut, 4 orang jurnalis luka-luka karena menjadi korban kekerasan. Sampai Rabu (25/9) pagi, AJI Jakarta telah menerima laporan dari 4 jurnalis yang mengalami intimidasi, kekerasan dan penghalang-halangan kerja peliputan yang dilindungi oleh Undang-Undang Pers.
Pertama, kekerasan terhadap jurnalis Kompas.com, Nibras Nada Nailufar. Ia mengalami intimidasi saat merekam perilaku polisi yang melakukan kekerasan terhadap seorang warga di kawasan Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, Selasa malam. Dalam peristiwa ini, polisi melarang korban merekam gambar dan memaksanya menghapus rekaman video kekerasan. Nibras bahkan nyaris dipukul oleh seorang polisi.
Kedua, kekerasan terhadap jurnalis IDN Times, Vanny El Rahman. Dia dipukul dan diminta menghapus foto dan video rekamannya mengenai kekerasan yang dilakukan polisi terhadap demonstran di sekitar flyover Slipi, Jakarta.
Ketiga, kekerasan terhadap jurnalis Katadata, Tri Kurnia Yunianto oleh polisi. Tri dikeroyok, dipukul dan ditendang oleh aparat dari kesatuan Brimob Polri. Meski Kurnia telah menunjukkan ID Pers yang menggantung di leher dan menjelaskan sedang melakukan liputan, pelaku kekerasan tidak menghiraukan dan tetap melakukan penganiayaan. Tak hanya itu, polisi tersebut juga merampas HP Kurnia dan menghapus video yang terakhir kali direkamnya. Video itu rekaman Polisi membubarkan massa dengan menembakkan gas air mata.
Keempat, kekerasan terhadap jurnalis Metro TV, Febrian Ahmad oleh massa yang tidak diketahui. Mobil yang digunakan Febrian saat meliput wilayah Senayan dipukuli dan dirusak massa. Akibatnya, kaca mobil Metro TV bagian depan dan belakang, serta kaca jendela pecah semua.
Atas peristiwa ini, AJI Jakarta mengutuk keras segala bentuk kekerasan yang dilakukan kepada jurnalis. Baik yang dilakukan aparat kepolisian maupun massa. Ketua AJI, Asnil Bambani menilai, kekerasan yang dilakukan polisi dan massa itu merupakan tindakan pidana sebagaimana diatur UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Dalam Pasal 18 Ayat 1 disebutkan, setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi kerja pers, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda sebanyak Rp 500 juta. Dalam bekerja, jurnalis memiliki hak untuk mencari, menerima, mengelola, dan menyampaikan informasi sebagaimana dijamin secara tegas dalam Pasal 4 ayat (3),” kata Asnil Bambani dalam pernyataan persnya.
Sampai saat ini AJI Jakarta terus melakukan verifikasi kekerasan yang dialami sejumlah jurnalis saat meliput aksi mahasiswa Selasa kemarin. Karena tak menutup kemungkinan masih ada jurnalis lain mengalami kekerasan saat liputan.
Desakan Komite Keselamatan Jurnalis
Untuk menyikapi kekerasan terhadap jurnalis ini, sejumlah lembaga yang tergabung dalam Komite Keselamatan Jurnalis antaralain AJI Indonesia, LBH Pers, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia, Ikatan Jurnalisme Televisi Indonesia (IJTI), Serikat SINDIKASI mendesak Kepolisian menangkap pelaku kekerasan terhadap jurnalis saat meliput, baik yang melibatkan anggotanya dan sekelompok warga.
“Apalagi kekerasan yang dilakukan anggota Polri tersebut terekam jelas dalam video-video yang dimiliki jurnalis.”
Lalu semua pelaku kekerasan terhadap jurnalis harus diproses hukum untuk diadili hingga ke pengadilan. Mengimbau masyarakat agar tidak melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat liputan. Sebab, jurnalis dalam menjalankan tugasnya dilindungi UU Pers. Mengimbau perusahaan media mengutamakan keamanan dan keselamatan jurnalisnya saat meliput aksi massa yang berpotensi ricuh, serta aktif membela wartawannya termasuk melaporkan kasus kekerasannya ke kepolisian.
Serta mendesak Dewan Pers terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi sepanjang aksi tanggal 24 September, maupun kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi pada waktu sebelumnya.
(Foto: Alfan Noviar)