Podcast, Ruang Baru untuk Isu Minoritas dan Hal-Hal yang Harus Kamu Tahu

Luviana- www.Konde.co

Jakarta, Konde.co- Setelah menulis, pagi-pagi kawan baik saya lalu merekam puisi hasil tulisannya itu melalui podcast.

Awalnya, saya yang dulu pernah menjadi penyiar radio di Yogyakarta dan Jakarta menyimpulkan bahwa podcast tak ada bedanya dengan radio.

“Hujan. Bagaimana dengan rindu yang kau janjikan? Apakah setebal hujan yang datang pagi ini? Bagaimana dengan gerimis?”

Itu puisi teman saya. Di lain waktu saya juga mendengar podcast yang berisi tentang konten sandiwara yang ditulisnya. Jadilah podcast adalah proses kegilaannya pada puisi dan drama, begitu dia sering berkelakar.

Namun semakin lama semakin saya mendengarkan podcast, saya semakin tahu apa yang ditawarkan oleh podcast. Jika di radio, pendengar atau publik ditawari konten yang sudah dibuat oleh tim radio dan kita tinggal menikmatinya, namun di podcast kita bisa menentukan kontennya sendiri kemudian memproduksinya. Ada proses berkreasi, kita juga bisa memproduksi konten tentang isu-isu yang jarang dimunculkan di media mainstream.

Podcast adalah episode digital yang dibuat untuk individu yang mau bersuara. Jadi individu bisa menjadi produsen bagi dirinya sendiri. Ruang berkarya dan bersuara makin lebar dengan hadirnya podcast. Jika dulu penyebaran informasi, data melalui audio menyebar kemana-mana, sekarang bisa diwadahi dalam podcast. Orang bisa mengirimkan informasi konten ke orang lain dan dinikmati karena diolah untuk didengarkan oleh banyak orang selayaknya konten di radio.

Pada Oktober 2003, Matt Schichter meluncurkan acara obrolan mingguannya The BackStage Pass. Ini adalah wawancara umum yang disebarkan melalui online. Saat itulah podcast kemudian mulai dikenalkan. Pada Agustus 2004, Adam Curry meluncurkan acaranya Daily Source Code. Itu adalah acara yang berfokus pada pencatatan kehidupan sehari-hari, menyampaikan berita, dan diskusi tentang pengembangan podcasting, serta mempromosikan podcast baru dan yang baru muncul.

Sejak itu podcast kemudian semakin banyak diproduksi. Media-media mainstream di Amerika juga memproduksi podcast sejak awal tahun 2010. Sejak itulah podcast kemudian semakin populer. Banyak individu memproduksi podcast talkshow, kemudian sastra yaitu dengan membacakan novel-novel secara berseri atau membacakan puisi-puisi, dll.

Di Indonesia dalam acara podcast party yang diadakan Kantor Berita Radio (KBR) Prime pada 3 Oktober 2019 lalu di Jakarta tercatat ada berbagai macam topik podcast yang muncul di Indonesia. Ada podcast dengan format talkshow dengan isu sosial politik terkini, ada podcast puisi, podcast analisa media sampai podcast drama dan podcast yang kontennya khusus hantu-hantuan.

Para podcaster ini rata-rata ada yang ingin menyalurkan hobi atau memang membuat konten yang berbeda dari isi media mainstream. Hal lainnya karena podcast lebih simple jika dibandingkan dengan menulis untuk menuangkan pemikiran. Dalam proses menulis, penulis terlebih dahulu akan menuliskan pemikirannya, kemudian mengeditnya, jika sudah selesai baru kemudian menyebarkannya. Dalam podcast, orang langsung mendaftar ke aplikasi dan langsung ngobrol disana, ditambah musik lalu jadilah podcast. Selanjutnya tinggal menyebarkan. Simpel dan sederhana.

Iqbal Hariadi, pengelola podcast “Subjective” misalnya mengatakan bahwa podcast ini sangat personal dan sifatnya intim.

“Kita bisa membuat podcast dengan bicara dengan berbagai intonasi suara, menyapa secara langsung agar kita menjadi dekat dengan pendengar kita.”

Hal ini memang berbeda dengan menulis yang kita bisa berjarak dengan pembaca. Jadi ada kebutuhan untuk bisa berkomunikasi dengan publik secara lebih meluas, ada kebutuhan untuk berbincang dengan individu-individu yang berbeda. Ini khas Indonesia, dimana individu pada umumnya senang mengobrol dan berbagi cerita. Ada juga kebutuhan psikologis juga disana dimana orang menjadi punya banyak teman, diakui, punya konten informasi yang didengarkan orang lain.

Sejumlah topik sensitif kemudian juga dibahas di podcast di Indonesia. Podcast “Disko” atau Diskusi Psikologi yang dikelola Benny Siauw misalnya membahas soal kesehatan mental yang banyak dialami para urban. Disitu bisa membahas soal kesehatan jiwa, mengapa orang bunuh diri atau sekitar kesehatan mental yang banyak dialami pekerja.

Podcast “Love Buzz” juga membicarakan hal-hal yang sensitif seperti cinta. Jika rubrik atau konten cinta kebanyakan berisi tentang kisah asmara-asmara yang sudah banyak dibicarakan, di “Love Buzz” kamu akan mendapatkan cerita tentang cinta tak hanya dialami dalam kelompok heteroseksual, namun juga homoseksual. Juga tentang persahabatan, cinta pada alam semesta.

Dena Rahman, salah satu artis yang diwawancara dalam podcast “Love Buzz.” Dena mengatakan bahwa Love Buzz mengingatkan tentang makna cinta yang merupakan ruang yang sangat luas, tak bersekat-sekat.

“Ini adalah sesuatu yang baru, cinta yang luas, ada juga cinta pada diri sendiri yang jarang dibicarakan.”

Asrul Dwi pengelola podcast “Love Buzz” mengatakan bahwa ia memang ingin membuat “Love Buzz” berisi tentang kisah cinta yang berbeda yang tak banyak dibicarakan orang. Hal inilah yang membuat orang kemudian tertarik untuk mendengarkan podcast, mereka bisa membuat konten dan memproduksi sendiri.

Podcast dalam perjalanannya kemudian juga melakukan koreksi pada media mainstream yang selama ini hanya sedikit memberikan ruang pada isu minoritas.

Namun semakin banyaknya podcast yang bermunculan di Indonesia di awal tahun 2019 ini, semakin membuat banyak orang bertanya: apakah podcast menawarkan model bisnis yang artinya podcaster mendapatkan pemasukan uang dari konten yang ia buat?

Dalam diskusi di acara podcast party tersebut, sejumlah podcaster mengatakan bahwa keuntungan berupa uang masih jauh dari yang diharapkan. Namun podcaster umumnya mendapatkan apresiasi dari publik, bisa bertemu dengan publik pendengarnya. Beberapa dari podcaster kemudian diendors untuk beberapa produk barang yang diiklankan. Keuntungan uang yang banyak tentu masih jauh dari harapan karena di Indonesia podcaster sebenarnya masih dianggap baru yaitu banyak bermunculan di tahun 2018, belum selama para youtuber atau vlogger dalam bermedia.

Di Indonesia diskusi soal produksi konten yang dibayar juga belum menjadi diskusi yang umum, berbeda dengan di Amerika misalnya dimana sekali mempublikasikan di media seperti di youtube atau sosial media mereka langsung mendapatkan share uang konten yang sepadan.

Di Indonesia diskusi ini hanya beberapakali dilakukan namun belum menjadi advokasi yang dilakukan secara konstan. Umumnya publik masih senang menjadi youtuber, vlogger dan sekarang podcaster, namun belum mendapatkan royalti, kecuali ia mampu mendatangkan subscriber hingga 1 juta subsribe. Jumlah ini tentu masih jauh dari sepadan dengan apa yang telah dilakukan para pemroduksi konten.

Padahal jika membicarakan konten, seharusnya sudah mulai membicarakan keberagaman kepemilikan karena produksi konten ini seharusnya menjadi milik bersama antara penyedia konten dan pemroduksi konten. Jika ini dibiarkan, maka pemilik bisnislah yang akan kembali berkuasa memiliki konten dan menikmati ‘pasar’ konten tersebut.

Maka jika ingin cepat ‘dikenal’ dengan kondisi ini, maka para podcaster harus memproduksi konten yang berbeda dari yang lain, karena semakin banyak podcaster tantangannya adalah bagaimana menciptakan konten yang berbeda dari konten yang lain.

Mizter Popo misalnya, ia memproduksi podcast “Do you See what I See” ini merupakan podcast tentang konten mistis dan hantu. Topik ini dirasakan berbeda dari konten-konten lainnya. Konten seperti inilah yang kemudian menjadi khas dibanding konten lain.

Tapi intinya podcast adalah ruang baru untuk individu. Hadirnya internetlah yang menjadikan siapa saja kemudian bisa memproduksi konten media sendiri, bisa ngobrol dengan banyak orang dan membawa isu-isu yang tak banyak dibicarakan di publik misalnya isu-isu sensitif seperti perempuan, minoritas maupun isu yang tak umum lainnya.

Hadirnya podcast juga memberikan angin segar bagi semua orang agar bisa bermedia.

Walaupun selalu ada pertanyaan penting: sudahkah keberagaman konten dalam podcast ini dibarengi dengan keberagaman kepemilikan atas produksi konten? Ini adalah hal-hal yang harus menjadi catatan bagi para podcaster dan calon podcaster di Indonesia.

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!