Dugaan Perkosaan yang Dilakukan Aktivis: Semua Bisa Menjadi Pelaku Kekerasan



“Di penghujung bulan Desember 2019, kita dikejutkan dengan kasus dugaan perkosaan yang dilakukan oleh seorang aktivis anti korupsi terhadap seorang mahasiswi dan seorang perempuan jurnalis. Kedua korban mendapat dukungan dari lembaga-lembaga pendamping perempuan di sejumlah kota di Indonesia.”

*Tika Adriana- www.Konde.co

Malang, Konde.co- Semua bisa menjadi pelaku kekerasan, barangkali ini kalimat yang tepat untuk menuliskan tentang perlakuan kekerasan seksual yang dilakukan seorang aktivis kepada perempuan.

Rina, seorang mahasiswi dan Rani, seorang jurnalis -keduanya bukan nama sebenarnya- merupakan dua perempuan asal Malang, Jawa Timur, yang harus sabar menanti aturan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan terbit.

Keduanya merupakan korban perkosaan dari AF, seorang aktivis anti korupsi laki-laki di kota tempat tinggal mereka.

Dalam kronologi kasus yang diterima Konde.co, Rina merupakan mahasiswi yang sedang ditugaskan mengambil data untuk tugas kuliahnya di MCW, tempat AF bekerja. Di tempat itulah pelaku dan korban saling mengenal.

Kekerasan seksual yang dialami Rina pertama kali terjadi ketika ia dan AF berkemah di pantai pada 20 Oktober 2018. Kala itu, AF memaksa Rina berhubungan seksual ketika mereka kemah di pantai pada 20 Oktober 2018. Perkosaan kembali terjadi pada bulan November dan Desember, di tahun yang sama.

Sebetulnya Rina telah berkali-kali menolak ajakan pelaku, tapi AF menggunakan kekuasaannya: menggunakan dalih bahwa seks adalah bukti kasih sayang dan kondisi korban jauh dari pusat pertolongan.

Rina tak cuma mendapat pelecehan seksual fisik dan verbal, tapi pelaku juga merekam aktivitas seksual mereka secara diam-diam, serta melakukan eksploitasi ekonomi kepada korban.

Pengalaman buruk serupa terjadi pada Rani, seorang jurnalis perempuan. AF merupakan narasumber di salah satu berita yang ditulis oleh Rani. Modus yang digunakan oleh pelaku kepada Rani hampir sama dengan yang ia gunakan kepada Rina: pergi kemah di pantai. Di situ pelaku memaksakan aktivitas seksualnya.

Serupa dengan yang dialami oleh Rina, Rani juga memperoleh kekerasan ekonomi. Saat keduanya sedang jalan-jalan ke kota Batu, AF merayu Rani untuk menginap di hotel. Bahkan, AF memaksa Rani membayar tagihan hotel dengan dalih AF tak punya uang.

Rani tak bisa mengelak karena waktu sudah larut malam. Di situlah AF kembali memperkosa Rani.

MCW: Kami Menunggu Pendamping Korban untuk Bertemu

Koordinator Badan Pekerja MCW, Fahrudin Andriansyah mengatakan bahwa saat ini lembaganya masih menuntaskan proses investigasi atas kasus tersebut.

“Proses investigasi masih berjalan. Namun beberapa perkembangan sudah kami sampaikan kepada beberapa jaringan dan korban. Salah satunya terkait status terduga pelaku yang sudah tidak lagi menjadi bagian dari lembaga kami,” ujar Fahrudin kepada Konde.co, Selasa (7/1/2020).

Fahrudin menyebut, AF telah mengundurkan diri dari lembaganya sejak Desember 2019 lalu. Sejak itu pula segala polah-tingkah AF tak lagi menjadi tanggung jawab lembaga.

Namun kata Fahrudin, saat itu lembaganya merahasiakan status AF. Menurutnya, dengan merahasiakan status AF, MCW bisa menggali informasi dari kasus ini.

Untuk menyelesaikan masalah ini, Fahrudin menyampaikan bahwa lembaganya masih menunggu pihak pendamping korban untuk bertemu dengan mereka. Ia berujar, isu kekerasan seksual dan hal yang terkait dengan itu merupakan musuh bersama.

“Kami juga masih menunggu respons dari mereka yang  mengaku sebagai pendamping untuk bertemu dengan kami. Membicarakan persoalan ini secara lebih mendetail. Namun hingga hari ini belum ada respons. Kami berusaha agar persoalan ini tuntas, setuntas-tuntasnya dan kami membuka diri untuk itu,” kata Fahrudin.

Pendamping Tak Dihubungi MCW

Pernyataan sebaliknya diungkap oleh Dina, salah satu pendamping dari Rani dan Rina, yang menuturkan bahwa para pendamping tak pernah lagi dihubungi pihak MCW.

Dina mengungkapkan, mereka terakhir berkomunikasi dengan MCW pada tanggal 27 Desember 2019 melalui salah seorang pendamping bernama Rere. Saat itu, para pendamping meminta kepada MCW dan pelaku untuk tak lagi menghujani korban dengan pesan singkat. Pasalnya, kedua korban masih dalam masa pemulihan trauma.

“Belum lama kami mendapatkan surat pemberitahuan dari lembaga terkait [dikirim pada 3 Januari 2019], kami bahkan surat tersebut dari korban itu sendiri. Dalam surat tersebut disampaikan bahwa mereka kesulitan menghubungi pendamping, tapi saya sendiri belum pernah dihubungi oleh lembaga terkait sama sekali,” ungkap Dina saat dihubungi Konde.co, Selasa (7/1/2019).

Dina pun menyesalkan sikap dari MCW yang terus mengirim pesan melalui korban dan tak langsung menghubungi pendamping. Ia menuturkan bahwa tindakan itu justru membuat korban semakin tertekan dan merasa tidak aman.

Demi pemulihan trauma korban, Dina menyampaikan bahwa saat ini kedua korban tak berada di Malang dan ingin beristirahat. Kedua korban baru bisa menjalani permulihan di akhir Februari.

Dina pun menuturkan, dalam waktu dekat dirinya akan melakukan rapat dengan tim pendamping dan advokasi, serta pihak ketiga yang akan menjadi mediator.

Dukungan Mengalir untuk Korban

Sejumlah lembaga perempuan dari Malang, Jabodetabek, Samarinda, Kaltim, Semarang, Balikpapan, Tasikmalaya, Salatiga, Purwakarta, Yogyakarta, Blitar  antaralain Indonesia Feminis, Perserikatan Sosialis, Mawar Merona, Lavender Study Club, Perserikatan Sosialis, Studi Sosialis Salatiga, Pembebasan Malang dan 30an organisasi lain memberikan dukungan dan solidaritas pada korban.

Para aktivis perempuan menuntut agar AF dipercat dari lembaga anti korupsi dimana ia bekerja, menuntut pelaku agar membayar biaya pengobatan bagi korban, melarang pelaku terlibat dalam gerakan rakyat.

Pernyataan bersama ini sebagai sikap dan bentuk solidaritas untuk memerangi para pelaku kekerasan seksual di tubuh masyarakat sipil.

Perkosaan ini juga menunjukkan bahwa semua orang bisa menjadi pelaku kekerasan, bahkan aktivispun. Ini juga memperlihatkan tentang rentannya semua orang menjadi pelaku kekerasan di lingkungannya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!