Jika Disahkan, Apa Dampak Omnibus Law Bagi Buruh Perempuan?

Jika disahkan, Omnibus law akan memperburuk kondisi buruh perempuan. Ada diskriminasi upah, fleksibilitas upah dan jam kerja yang merugikan perempuan. Selain itu, buruh perempuan juga akan terkena dampak rezim pasar kerja yang fleksibel



*Andi Cipta Asmawaty- www.Konde.co

Konde.co- Lagi-lagi atas nama investasi. Ini mungkin sudah kesekian kalinya pemerintah mengeluarkan kebijakan atas nama investasi tanpa melihat hal buruk yang terjadi pada buruh perempuan.

Kamu tahu khan jika sebelumnya pemerintah akan merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan karena ingin mengakomodir kepentingan pengusaha?.

Leksikon yang digunakan pemerintah layaknya “kanebo kering” atau “compang-camping”, lahir dari anggapan bahwa UU ketenagakerjaan menghambat investasi. Maka pemerintah ingin merevisinya.

Tentu, serikat buruh tidak pernah tinggal diam. Dengan kekuatannya membangun koalisi bersama masyarakat sipil dan mempengaruhi dengan opini kritis, mereka mencegah upaya revisi UU Ketenagakerjaan, para buruh banyak turun ke jalan. Inisiatif revisi dikecam serikat buruh.

Karena gagal merevisi UU Ketenagakerjaan, maka pemerintah kemudian mengakomodir kepentingan perusahaan, atas nama menkondusifkan iklim investasi dengan berencana mengeluarkan omnibus law penciptaan lapangan kerja (Cilaka). Omnibus law adalah mekanisme pembuatan 1 undang-undang dengan menggabungkan beberapa undang-undang yang lain.

Meskipun ketenagakerjaan masuk dalam salah satu kluster, Satuan Tugas Bersama yang dikoordinir oleh Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) dan beranggotakan unsur kementerian dan lembaga, pemerintah daerah, dan akademisi, namun ini tidak mengajak partisipasi serikat untuk masuk di dalamnya.

Hal ini bertentangan dengan argumen menteri tenaga kerja bahwa pemerintah mendengar masukan dari tripartit nasional.

Padahal, dengan mendukung partisipasi serikat, peningkatan partisipasi tenaga kerja, persoalan ketenagakerjaan, namun tetap menjembatani investasi, dapat dibidik cermat tanpa mengorbankan kepentingan buruh itu sendiri.

Khususnya buruh perempuan, partisipasi buruh perempuan di pasar tenaga kerja masih lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018, mencatat persentasi laki-laki di pasar tenaga kerja formal sejak 2015-2018 meningkat dari 44,89% ke angka 46.29%, dibandingkan persentasi perempuan yang bergerak dari 37,78% ke 38.2% di tahun 2018. Disparitas gender terjadi di pasar tenaga kerja formal yang tidak dapat menyerap tenaga kerja perempuan secara maksimal.

Tentu, rendahnya partisipasi ini jika dibedah, hal ini tidak lepas dari diskriminasi yang dialami oleh buruh perempuan.

Kesenjangan upah antara buruh perempuan dan buruh laki-laki menjadi realitas buruh perempuan hingga kini.

Badan PBB untuk perburuhan, ILO (2017) melaporkan pendapatan laki-laki secara rata-rata selalu lebih tinggi (Rp 2.44 juta/bulan) dibandingkan (Rp 1.98 juta/bulan).

Kondisi kerja buruh perempuan juga belum dianggap layak. Pelanggaran hak-hak normatif terhadap buruh perempuan masih terjadi, dari tidak adanya kontrak, bekerja dengan sistem target, jam kerja yang panjang, fasilitas Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) yang belum memadai, kekerasan dari atasan, dan sebongkah masalah lainnya yang membebani keseharian perempuan sebagai buruh.

Pertanyaannya, apakah Omnibus law ini akan mendukung kondisi kerja perempuan menjadi lebih layak atau justru memperparah?

Berkaca pada pengalaman buruh perempuan, terdapat setidaknya dua hal yang menjadi konsekuensi logis jika UU ini diberlakukan yaitu soal: diskriminasi upah, fleksibilitas upah dan jam kerja, cerminan rezim pasar kerja yang fleksibel

1. Diskriminasi Upah

Disparitas gender bukan hanya soal rendahnya partisipasi, tetapi diskriminasi terhadap buruh perempuan berada di sektor-sektor yang padat karya, seperti manufaktur.

Sektor inilah adalah salah satu sektor yang “mengeluh” mengenai proses percepatan investasi di Indonesia dan menuntut perubahan ekosistem ketenagakerjaan di Indonesia.

Mempekerjakan buruh perempuan karena dianggap murah adalah landasan berpikir para pengusaha di sektor ini.

Kajian yang dilakukan oleh Laili dan Damayanti di 2018, menunjukkan tendensi diskriminasi upah terjadi di sektor manufaktur terutama di industri tekstil dan alas kaki, kertas dan barang cetakan, logam dasar besi dan baja, makanan, minum, dan tembakau serta industri pupuk kimia dan barang dari karet.

Dengan menggunakan data pooled crosss section di 1996 dan 2006 dari Survei tahunan Industri Besar Sedang (IBS) yang dilakukan BPS, kajian ini menghasilkan temuan empiris (yang tidak) mencengangkan: pada umumnya, perempuan mengalami diskriminasi upah di seluruh sektor industri manufaktur.

Tarik ulur revisi UU Ketenagakerjaan juga selalu beriringan bagaimana negara ingin menfleksibelkan baik dari sisi upah dan jam kerja. Kepentingan ini dimotori oleh sektor privat yang ingin menekan biaya produksi melalui upah buruh.

Diskriminasi upah ini akan melonjak jika fleksibelitas baik upah dan jam kerja di berlakukan. Pekerja lepas dan pekerja tidak tetap termasuk bentuk pekerjaan yang rentan. ILO (2017) melaporkan bahwa di Indonesia, pekerja rentan mencapai 57,6% dari komposisi tersebut, persentase buruh perempuan yang bekerja rentan lebih tinggi, atau sebesar 61,8% dibandingkan buruh laki-laki (54,9%).

2. Fleksibilitas Upah dan Jam Kerja

Sudah menjadi rahasia umum, upah minimum juga sering diberlakukan bersamaan dengan sistem kejar target. Perusahaan menetapkan target produksi tertentu yang jika dipenuhi akan mendapatkan upah minimum, dan jika tidak memenuhi target, maka buruh perempuan harus rela diupah di bawah standar minimum. Praktik ini juga dilakukan untuk menghindari sanksi pidana yang diatur oleh UU ketenagakerjaan bagi perusahaan yang lalai membayar upah minimum.

Pelenturan waktu kerja yang disepakati merupakan indikasi kasualisasi buruh di sektor formal. Dan realitas ini sudah dialami oleh para buruh perempuan yang bekerja musiman, khususnya di sektor manufaktur. Di sinilah, poin yang dijustifikasi oleh UU Perciptaan Lapangan Kerja: memberikan kewenangan penuh bagi perusahaan untuk menentukan baik jam kerja dan upah kerja buruh

Komunikasi yang tidak dua arah dan terkadang mengandung kekerasan adalah realitas buruh pabrik perempuan.

Mengacu pada pertanyaan di atas, Omnibus law Cipta Lapangan Kerja ini akan berjalan tumpah tindih dengan UU Ketenagakerjaan, sebagai payung hukum perlindungan buruh di Indonesia. Ketumpahtindihan ini berpotensi tidak memenangkan dan berpihak kepentigan buruh.

Gambaran di atas adalah setidaknya dua dampak terhadap kesejahteraan buruh perempuan baik material dan non material, yang seharusnya dapat didukung melalui intervensi negara: yang melindungi kepentingan dan hak buruh perempuan sebagai warga negaranya.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Andi Cipta Asmawaty, mahasiswa pascasarjana Development Studies, International Institute of Social Studies, Belanda

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!