“Corona is like your wife. In easily you try to control it, then you realize that you can’t. Then, you learn to live with it’.”
*Ega Melindo- www.Konde.co
Pernyataan seksis tersebut dilontarkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan HAM, Mahfud MD dalam sambutannya di acara Halal bi Halal Ikatan Alumni Universitas Sebelas Maret/ UNS yang disiarkan di kanal Youtube Universitas Negeri Sebelas Maret, Selasa, 26 Mei 2020:
“Saya kemarin mendapat meme dari Pak Luhut (Menko Kemaritiman) itu begini, ‘Corona is like your wife. In easily you try to control it, then you realize that you can’t. Then, you learn to live with it’.”
Atau kira begini bunyinya: “Corona itu seperti istri. Dengan mudah anda mencoba mengontrolnya, maka ketika anda menyadari bahwa anda tidak bisa, kemudian anda belajar hidup dengannya.”
Solidaritas Perempuan mengecam pernyataan pejabat publik yang menganalogikan corona sebagai isteri. Pernyataan ini bukan hanya mencerminkan dangkalnya daya pikir pemerintah untuk memecahkan persoalan pandemi Covid-19, tetapi juga menunjukkan pola pikir seksis dan misoginis pejabat publik.
Bahkan pernyataan itu secara jelas mengandung kehendak untuk menguasai atau mengontrol isteri/ perempuan.
Koordinator Badan Eksekutif Nasional Solidaritas Perempuan, Dinda Nisaa Yura mengatakan, tak hanya itu, menyamakan corona dengan perempuan atau isteri, juga menunjukan cara pikir patriarkis yang melihat perempuan sebagai obyek, bukan sebagai subyek dan manusia secara utuh.
Perempuan dianggap sebagai liyan (the other), atau the second sex, sehingga memiliki kedudukan yang tidak setara dengan laki-laki, bahkan dianggap objek hak milik laki-laki.
Lelucon yang menjadikan perempuan sebagai obyek yang dianggap biasa, akan melanggengkan budaya kekerasan terhadap perempuan. Cara pandang demikian jelas bertentangan dengan komitmen Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan sejak tahun 1984.
Secara mendasar cara pandang tersebut sekaligus mengingkari eksistensi perempuan sebagai manusia yang setara dan berdaya. Ketika seorang pejabat publik mengeluarkan pernyataan yang merendahkan perempuan, maka menjadi tantangan bagi perjuangan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, maupun upaya mendorong negara menghormati, memenuhi, dan melindungi hak-hak perempuan.
Jika dilihat lebih jauh, pernyataan yang disampaikan juga menunjukkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengontrol laju pandemi Covid-19.
Berbicara terkait perempuan dan corona, di beberapa negaran, perempuan pemimpin justru lebih punya kapasitas mengatasi Covid.
Sebagaimana dikutip di dalam artikel yang dimuat The Conversation: Tindakan para perempuan pemimpin di Denmark, Finlandia, Jerman, Islandia, Selandia Baru, Norwegia, Islandia, Jerman, Taiwan, dan Selandia Baru dilihat sebagai bukti pendukung bahwa perempuan mengelola krisis lebih baik daripada rekan-rekan pria mereka.
Sebaliknya, pernyataan Mahfud MD secara gamblang mengakui bahwa pemerintah gagal dan tidak mampu mengendalikan virus Corona, sehingga satu-satunya pilihan adalah menerima untuk hidup dengan virus tersebut
Di tengah angka pasien positif Covid-19 dan kematian yang terus meningkat, lelucon tersebut sangat tidak sensitif dan tidak bertanggung jawab. Kewajiban dan tanggung jawab negara adalah menjamin hak warga negara, termasuk hak hidup, hak atas rasa aman, dan hak atas kesehatan.
Mengakui kegagalan dalam mengontrol virus, dan meminta masyarakat untuk hidup bersama virus dengan risiko terpapar hingga kematian, sama dengan mempertontokan kegagalan negara sebagai sebuah lelucon di hadapan rakyat.
*Ega Melindo, Aktif di Solidaritas Perempuan. Tulisan ini disarikan dari pernyataan Solidaritas Perempuan tentang lelucon seksis pejabat publik