Pengalaman Korban KDRT: Butuh Kekuatan untuk Lari dari Rumah

Tak mudah bagi korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) untuk kabur dari rumah. Ini adalah pengalaman saudara yang mencari segala cara untuk lari dari suaminya. Kabur dari suami adalah salah satu cara untuk menenangkan dirinya

*Rezki Liana Putri- www.Konde.co

Kursi kayu tua di teras rumah itu seakan menjadi saksi bisu percakapan kami.

Saya dan bulek, (panggilan saya untuk tante) duduk bersebelahan. Bulek, seperti sulit sekali bicara, padahal biasanya tidak begini.

Dengan lirih bulek kemudian bicara,”aku mau pinjem duitmu nduk,” katanya.

Aku kaget, “berapa bulek ?.”

“Empat juta,” ia menjawab.

Wah, kaget bukan main karena aku tak punya uang sebanyak itu, lagipua uang ini bagi bulek buat apa?.

Dengan mata berkaca- kaca beliau bercerita dengan logat Jawanya yang kental,”aku kepingin pergi dari rumah, udah gak kuat di rumah. Sakit hati bulek ini, nduk.’’

Sambil mendengarkan beliau bercerita, aku terus berpikir dimana aku bisa mendapatkan uang untuk bulek?

Tiba tiba aku mendengarkan kata: disiksa.

Dari cerita bulek aku semakin menyimak bahwa hidup beliau rasanya seperti sama dengan yang ada di serial drama. Beliau di siksa, harus bisa membayar hutang namun tidak boleh bekerja, ini karena suami bulek atau paklik/ om saya yang suka cemburu. Bulek juga harus membiayai anak-anaknya yang hidup di pondok pesantren. Jadi yang dilakukan bulek adalah hutang kesana-kemari dan harus terus menanggung malu karena terus berhutang

Saking pusingnya, bulek ingin sekali pergi keluar pulau dan bekerja untuk membayar hutang-hutang rumah tangganya.

“Selama ini bulek tidak boleh bercerita apapun kepada siapapun tentang kondisi rumah tangga bulek, bulek sering di tampar bahkan di depan anak-anak. Mas tidak sungkan untuk memukuli bulekmu ini.”

Mas merupakan panggilan bulek untuk suaminya. Aku lihat bulek sudah mulai menangis. Lalu aku bawakan air segelas untuk menenangkannya, aku bingung mau bicara mulai darimana. Aku beranikan berpendapat menguatkan keinginan bulek untuk pergi keluar Jawa. Tanpa berfikir panjang aku bilang ke bulek.

“Sudah nggak ada cara lain bulek, kecuali bulek mau pergi atau melaporkan perbuatannya ke P2TP2A, aku bisa mendampingi bulek kalau bulek mau melaporkan paklik,” kataku.

P2TP2A adalah kependekan dari Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. P2TP2A yang dibuat oleh pemerintah untuk perempuan dan anak-anak korban kekerasan dalam rumah tangga seperti yang dialami bulekku.

“Percuma dilaporkan nanti bulek akan tetap disiksa tambah pusing mikirin itu semua. Bisa-bisa bulek mati mendadak nanti,”sahutnya.

Iya, memang tidak mudah meyakinkan korban untuk bicara apalagi melapor, kataku dalam hati.

Percakapan terus berlanjut, ibuku yang dari awal hanya mendengarkan, tiba tiba nyeletuk,”gugat cerai aja daripada kesiksa.”

Bulek tanpa ragu menjawab ,”kalaupun bisa menggugat sudah dari dulu saya pisah, tapi saya diancam apabila meminta cerai.”

Saya menoleh memperhatikan bulek. Sungguh kasihan nasib bulek, digantung terus nasibnya namun suaminya tak memberikan solusi apa-apa, malah menyiksanya. Aku semakin tak bisa berpikir lain. Hanya ada satu solusi, yaitu bulek harus pergi untuk memperbaiki semua dengan bekerja untuk membayar hutang-hutang. Ini juga harus dilakukan agar bulek terlepas dari suaminya.

Aku lalu bicara sama bulek bahwa aku belum punya uang sebanyak itu. Bulek menimpali, tidak apa, bulek bilang akan tetap menunggu.

Hari itu pembicaraan terus mengalir sampai malam dan akhirnya bulek pun berpamitan pulang.

Setelah pembicaraan hari itu, setiap hari bulek datang ke rumah untuk sekedar ngobrol dan mencari hiburan. Satu minggu setelahnya aku mendapatkan uang dari hasil pekerjaanku sebanyak Rp. 2 juta, aku langsung bilang ke bulek.

“Bulek, aku hanya punya uang sejumlah ini gimana, bulek mau?,” tanyaku.

“Ndak apa-apa Rp. 2 juta sudah cukup untuk beli tiket pesawat pergi keluar Jawa,” kata bulek.

Akhirnya bulek menyuruhku membelikan tiket pesawat. Berangkatlah aku untuk membeli tiket. Dan ketika aku membeli tiket pesawat di tempat penjualan tiket, bulek menyuruhku meminta kepada penjual tiket agar menyembunyikan identitasnya. Ini untuk menghindari jika ada orang yang bertanya apakah ada nama bulekku yang naik pesawat di hari itu.

Tapi pihak penjual tiket seakan sulit untuk mengiyakan. Aku coba meyakinkan karena temanku yang bekerja disana. Tapi tetap saja mereka menganggap hal ini merupakan kejahatan karena tidak mau menyebutkan identitas. Akhirnya aku setuju dengan temanku, karena buatku yang penting bulek sudah dapat tiket dan bisa segera pergi dari rumah.

Akhirnya malam itu adalah jadwal keberangkatan bulek dari rumah menuju bandara. Selepas Maghrib, bulek ke rumahku.

Suaminya minta bulek untuk pinjam uang pada tetangga, bulek memanfaatkan momen itu untuk kabur. Aku langsung mengantarkan bulek menuju tempat penjemputan travel lewat jalanan gelap demi menghindari suaminya.

Setelah sampai ke lokasi, bulek menunggu travel cukup lama. Akupun menunggu sampai bulek berangkat. Perasaan was-was menghampiri karena takut kalau tiba tiba suaminya datang ke lokasi, karena lokasi penjemputan dengan rumah cukup dekat sekitar 15 menit jarak dari rumah.

Setelah menunggu, sampai akhirnya bulekpun berhasil berangkat dan akupun pulang ke rumah.

Berhubung rumah kami hanya berjarak satu rumah, rasa curiga dari suaminya kepada kami langsung mengarah padaku. Keesokan harinya suaminya bertanya tentang keberadaan bulek dan aku berusaha menutupi semuanya.

Waktupun berjalan sampai aku berpikir, salah apa enggak ya yang aku lakukan untuk membantu bulek kabur dari rumah?

Dan sampai sekarang tidak ada yang tahu keberadaan bulek, hanya aku dan keluargaku yang mengetahuinya.

Semoga bulek baik-baik saja disana dan hidupnya lebih fokus untuk bekerja mencari uang, bukan mendapat pukulan dan kekerasan dari suami. Mungkin kabur adalah salah satu cara bulek untuk menenangkan diri.

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

*Rezki Liana Putri, aktif di Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Jawa Timur. Penikmat kopi, senja dan langit

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik. Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!