Air yang terkontaminasi proyek pertambangan sebabkan perempuan mengalami vagina gatal saat menstruasi.

Vagina Perempuan Gatal Ketika Menstruasi Karena Air Sumur Kotor Akibat Tambang

Tidak pernah terpikir jika tiba-tiba di sekitar rumah dijadikan aktivitas pertambangan. Air sumur jadi kotor, dan vagina para perempuan jadi gatal ketika menstruasi.

Tinggal di pinggir sungai, bukan menjadi jaminan bagi Yuliana Sri Puji atau kerap disapa Yuli untuk gampang mendapatkan air bersih. 

Jarak antara rumahnya dengan sungai tidak sampai 500 meter. Di belakang rumahnya di Kulonprogo, Yogyakarta, ada sumur warga yang sudah bertahun-tahun digunakan, namun mulai tahun 2019 sumur itu kering. Air sumur menjadi nyemek seperti air di comberan –berminyak, menggenang, keruh dan berbau. 

Dengan menggunakan air sumur seperti itu, membuat vaginanya lalu terasa gatal saat menstruasi. 

“Kalau nyalain langsung dari sumur itu gatel di kulit. Nggak periksa ke dokter, cuman kayak oh iya disini (vagina) gatel,” papar ibu dari dua orang anak itu.

Yuli mengalami krisis air bersih dikarenakan aktivitas pertambangan di sekitar rumahnya yang telah beroperasi selama 6 tahun. Aktivitas pertambangan ini menyebabkan sumur yang biasa digunakan airnya keruh, kotor, berwarna coklat dan berbau. 

Baca Juga: Mama Aleta, Yosepha Alomang, dan Delima Silalahi: Pejuang Lingkungan Berperspektif Perempuan

Pada tahun 2021, air sumur mulai berwarna coklat, kotor dan berbau jika didiamkan. Untuk mengatasi air yang kotor itu Yuli menggunakan tawas sebagai penjernih air. 

“Kita terpaksa cari air bersih atau pake tawas biar gak gatel. Jadi kita ngeluarin biaya lagi buat jernihin air. Kita nyalain air hari ini terus buat mandi besok. Ada tampungan air kecil pakai ember buat yang di tawas dan nanti nggak gatel lagi,” tutur Yuli.

Krisis air bersih tersebut sangat menyulitkan Yuli dan warga desanya. Pasalnya hampir setiap aktivitas membutuhkan air bersih seperti mandi, mencuci, menyiram, memasak, minum, tak terkecuali membersihkan vagina saat menstruasi. 

Padahal dalam Peraturan Menteri Kesehatan no 2 tahun 2023 sudah tertuliskan soal standarisasi air bersih yang layak digunakan. Standar air bersih yaitu dalam keadaan terlindung dari pencemaran, binatang yang membawa penyakit, aman dari perkembangbiakan, dan terhindar dari kemungkinan terkontaminasi. Standar baku air bersih tersebut penting untuk perilaku bersih atau  higiene manusia. Apalagi perempuan yang juga mengalami masa menstruasi dan membutuhkan air bersih.

Pertambangan di bantaran Kali Progo

Sejak tahun 2017, PT Citra Mataram Konstruksi (CMK) dan Pramudya Afghani telah menambang di bantaran Kali Progo. Para warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) yaitu di daerah Jomboran, Pudak Wetan dan Wiyu mengeluhkan adanya tambang ini. Banyak kerusakan yang terjadi di daerah sekitar pertambangan itu, seperti hilangnya pekerjaan tambang tradisional yang dikelola warga, suara bising dan dentuman keras mengganggu kenyamanan warga, terciptanya konflik sosial bahkan di dalam satu keluarga dan utamanya kerusakan lingkungan

Kerusakan pertama tentu saja terjadi di Kali Progo. Tandi, salah satu warga Jomboran menceritakan dalam sehari, kedua perusahaan tambang itu mampu mengangkut sampai 50 truk berisikan batu dan pasir sungai. Hal ini tentu saja membuat aliran Kali Progo semakin deras dan dalam sampai dapat membahayakan nyawa ketika berada di sekitar sungai. 

Kerusakan lingkungan lainnya adalah tebing di daerah Prapak yang mengalami longsor kecil. Tebing ini dapat dilihat dari depan rumah Yuli yang berada di seberang sungai. Tepat diatas tebing itu terlihat rumah warga. Yuli menceritakan tebing itu awalnya tidak terlalu curam, namun sejak tahun 2022 sampai 2023 beberapa kali bebatuan di tebing itu jatuh akibat aktivitas pertambangan yang tepat berada di bawahnya. 

Baca Juga: Mengapa Para Perempuan Berani Hidup di Lingkar Tambang? 

“Ekskavatornya itu kalau jalan kayak gempa gitu, geter. Jadi piringane atau tebingnya itu ada garisnya dan buat celah celahnya itu semakin lebar. Aku lagi buka kulkas terus ada suara gede banget skalanya kayak udah gempa, terus langsung lari ke luar inget peringan atau tebing itu. Benar aja, udah melorot tebingnya,” cerita Yuli.

Kerusakan lingkungan ketiga adalah krisis air yang terjadi di Wiyu, desa yang merupakan tempat tinggal Yuli dan Cicin. Pertambangan sering kali dilakukan dengan mengeksploitasi alamnya, akibatnya masyarakat yang berada di daerah itulah yang harus menanggung  akibatnya. 

Tak hanya pertambangan yang ada di Kali Progo saja yang merugikan warga, nyatanya banyak daerah di Indonesia yang kekayaan alamnya dieksploitasi habis-habisan hanya untuk kepentingan pengusaha atau dengan dalih pembangunan nasional dari pemerintah. Seperti  krisis air bersih yang dialami para perempuan di Wadas.  Mereka mengeluhkan hilangnya sumber mata air sebagai dampak pertambangan batu andesit.  Hal yang sama juga terjadi di Gunung Kidul dan Rembang karena pertambangan karst, dan  di Sulawesi Tenggara akibat pertambangan nikel. 

Walau saat ini pertambangan yang ada di Kali Progo tersebut sudah diberhentikan, tapi jangan ditanya, berapa besar perjuangan warga disana untuk menghentikannya.  Perjuangan warga yang tergabung dalam Paguyuban Masyarakat Kali Progo (PMKP) akhirnya menuai hasil dengan diterbitkannya Instruksi Gubernur terkait moratorium No. 3 tahun 2023 tentang Penanganan Kerusakan Lingkungan Akibat Aktivitas Pertambangan pada Daerah Aliran Sungai Progo Daerah Istimewa Yogyakarta. Selama hampir 7 tahun, masyarakat PMKP yang hidup dalam hantu tambang, kini dapat bernafas lega

Dikutip dari Walhi Yogyakarta, Gandar Mahojwala selaku Direktur eksekutif Walhi Yogya merespon baik moratorium yang telah terbit. Dengan moratorium ini semoga lingkungan bisa dipulihkan dan juga hak masyarakat di daerah bantaran Kali Progo.

Baca Juga: Lubang Tambang Perempuan (Rahmawati)

Yuli dan Cicin tergabung dalam PMKP  bersyukur dengan adanya moratorium tersebut. Yuli berharap semoga pendalaman sumur terakhirnya yang ia lakukan pada Desember 2023 tidak kering dan kotor seperti dulu saat adanya pertambangan. 

“Semoga tambangnya nggak datang lagi. Kemarin itu (Desember) kita upayakan terakhir buat dalemin sumur. Nanti rencananya warga sini juga mau bikin pamsimas biar bisa dikelola masyarakat sendiri, bukan PDAM jadi harganya juga lebih murah. Tapi, ya kita tunggu dulu satu tahun ini bagaimana perkembangan tambangnya,” papar Yuli.

Hal yang sama juga diungkapkan Cicin. “Hati saya udah adem banget karena udah gak ada tambang hari ini. bisa istirahat siang lagi karena dulu itu suara bego (traktor) sampai rumah saya. Syukur-syukur kalau nanti Kali Progo bisa kayak dulu, bisa buat mandi anak-anak, mancing, cuci tempe koro sama lain-lainnya,” ujarnya. 

Dampak minimnya air bersih pada perempuan saat menstruasi

Air menjadi kebutuhan primer bagi setiap orang, terutama perempuan. Menurut data Standar Nasional Indonesia (SNI) kebutuhan air bersih bagi setiap orang mencapai 100-120 liter perhari dan kebutuhan rumah tangga sebanyak 144 liter perhari. Tak terkecuali bagi perempuan yang membutuhkan air bersih, terutama pada saat menstruasi. 

Saat menstruasi, kebutuhan akan air menjadi krusial. Dilansir dari Purewaterfortheworld.org minimnya air bersih bagi perempuan membuat mereka berpotensi terkena infeksi pada saluran reproduksi dan saluran infeksi kemih. Tak hanya itu, potensi iritasi pada kulit juga dapat menyerang perempuan. Maka, air menjadi komoditas paling berharga karena kebutuhan akan air adalah hak asasi bagi perempuan. 

Menurut data dari Departemen Kesehatan tahun 2014, jumlah pasien infeksi saluran kemih di Indonesia sebanyak 90-100 kasus per 100.000 penduduk per tahunnya atau sekitar 180.000 kasus baru per tahunnya (Nainggolan & Kadar, 2022).  Perilaku kebersihan yang tidak baik di bagian genetalia perempuan dapat berpengaruh pada kesehatan reproduksi, salah satunya adalah infeksi saluran kemih. (Nainggolan & Kadar, 2022)  

Pada saat menstruasi, vulva akan lembab oleh darah dan keringat. Kebersihan di daerah kewanitaan perlu untuk dijaga agar tidak menimbulkan penyakit. Penyakit yang berada di daerah intim tentu akan mengganggu perempuan, entah secara biologis atau sosial (Aini & Afridah, 2021).    

Baca Juga: Aksi Lilitkan Kain ke Pohon, Perempuan Wadon Wadas Tolak Tambang Andesit

Menurut keterangan dari Nining Sulistyawati, Dosen Kebidanan di Stikes Madani Yogyakarta, gejala dari penyakit yang ada di daerah kewanitaan ditandai dengan gatal. Jika sudah terjadi gatal diharapkan untuk segera berobat ke tenaga kesehatan agar dapat diidentifikasi, sehingga pengobatan antiseptiknya dapat dilakukan dengan tepat.

“Badan kita ngerasain gatal itu warning kalau ada yang salah karena kulit itu anggota badan pertama yang dapat merasakan.”

Nining menjelaskan gatal di daerah vulva jika dibiarkan ditakutkan akan menjadi luka karena rawan untuk  digaruk. Luka itulah yang kemudian menyebabkan bakteri mudah masuk karena gatal ini berada di daerah vulva. Luka pada vulva akan susah mengering karena daerah itu tertutup dan lembab. 

Nining memaparkan potensi bakteri yang masuk ke area genital perempuan bisa sangat beragam. 

“Ada bakteri yang rasanya gatal dan terbakar, gatal dengan keputihan, keputihan berbau dan berwarna itu juga beda-beda. tapi yang pasti gejala awal kalau ada bakteri rasa gatal,” lanjutnya. 

Langkah awal jika sudah terjadi gatal di area genital terutama adalah meningkatkan kebersihan di area vulva. Salah satunya dengan menerapkan perilaku vulva hygiene. 

Dalam (Putri & Fitriahadi, 2021) vulva hygiene atau kebersihan vulva yang baik yaitu pada saat menstruasi membasuh vulva dengan air yang hangat.  Selanjutnya, rajin mengganti pembalut jika penuh dengan maksimal penggunaan pembalut 4-6 jam. Namun jika terasa penuh harus segera diganti. Idealnya dalam sehari perempuan mengganti pembalut sampai 3 kali sesuai dengan kebutuhan. Jika menggunakan pembalut kain harus dicuci sampai bersih dan dikeringkan di tempat yang bersih agar tidak mudah tercemar. Pemilihan celana dalam yang tidak ketat. Terakhir yaitu membasuh kemaluan atau cebok dari arah depan ke belakang.

Baca Juga: Petani Merica Kirim Surat Pada Kaisar Jepang Hironomiya Naruhito: Kecewa dengan Tambang

Nining menyayangkan realita masyarakat hari ini masih banyak yang membasuh vagina atau cebok setelah buang air kecil atau besar masih salah arah. 

“Jadi arah ceboknya itu dari depan ke belakang. Karena secara anatomi perempuan punya tiga lubang yang saling berdekatan. Paling depan itu ada saluran buat pipis, yaitu uretra. Ke bawahnya sedikit ada vagina dan belakangnya lagi ada anus buat tempat keluarnya feses. Dari tiga lubang itu diupayakan dari depan-belakang, jangan belakang-depan karena takutnya ada resiko bakteri dari anus masuk ke uretra atau vagina,” jelasnya.

Terkait pemilihan celana dalam juga penting agar ada sedikit udara yang masuk. Nining menyarankan memakai yang bahannya dapat menyerap keringat. Jika celana dalam terlalu ketat dapat meningkatkan tingkat kelembapan. Sedangkan daerah vulva memiliki tingkat keasaman rata-rata ph 3,5-3,7. 

“Itu kalau terlalu panas itu bisa lembab dan itu bisa jadi ada menteri yang akan datang menyebabkan infeksi,” lanjutnya.

Vulva hygiene yang baik dapat terlihat dari ketersediaan fasilitas kesehatan, seperti handuk, pembalut, tisu dan utamanya adalah air. Jika kebersihan vulva  tidak dilakukan maka dapat menimbulkan pruritus vulvae. pruritus vulvae yaitu penyakit gatal di kelamin yang diakibatkan dari perilaku kebersihan diri atau personal hygiene yang jelek, utamanya pada menstruasi. (Musriani et al., 2019)

 Upaya mencari air bersih

Riset dari Kompas menunjukkan, perempuan adalah pihak terbanyak dalam mengumpulkan air untuk kebutuhan rumah tangga yaitu sebanyak 73,6%. Air ini digunakan untuk mandi, cuci, kakus, memasak, minum, menyiram tanaman dan lain sebagainya. Hal ini jugalah yang dilakukan oleh Tumilah atau yang kerap dipanggil Cicin. Ibu rumah tangga dengan 2 anak ini memiliki sumur dengan kedalaman 22 meter. 

Namun, pada tahun 2020 sumurnya juga mengalami pendangkalan dan 2021 kering total tidak ditemukan air sama sekali. Padahal sumur tersebut dapat mengaliri 3 rumah yaitu rumahnya, adiknya dan ibunya. Krisis air bersih pun tak dapat dihindari Cicin. Maka untuk mendapatkan air bersih Cicin harus turun ke sumur warga yang berada dekat dengan Kali Progo. 

“Satu hari itu saya bisa bolak-balik buat angsu air. Seharinya itu bisa sampai 5 dirigen, satu dirigennya yang sampai 20 liter itu. Karena kebutuhan saya beda sama warga lain, kalau warga itu biasanya bisa mandi di sumur atau di Kali Progo langsung, saya ndak bisa. Jadi buat mandi 3 orang di rumah, terus MCK, terus masak sama masih banyak lagi,” papar Cicin. 

Baca Juga: Kupatan Kendeng: Mengurai Konflik Akibat Tambang dan Ajakan Menjaga Ibu Bumi

Di sela kesibukannya sebagai ibu rumah tangga yang mengurus anak-anak, Cicin kemudian diberatkan untuk mencari air bersih. Untuk ngangsu air bersih dari sumur ia menggunakan sepeda ontel dengan membawa satu dirigen. Pagi hari setelah menyiapkan keperluan anak sekolah, kemudian siang hari, petang hari ngangsu air lebih banyak agar dapat dipakai keesokan harinya. 

Padahal sebelum ada kegiatan tambang yang mengakibatkan krisis air Cicin tidak perlu repot mencari air untuk keluarganya.

“Sebelum ada tambang enak karena gak usah mikirin air. Waktu ada tambang jadi tiap hari mikirin air. Ada waktu kosong ya dibuat cari air,” tuturnya.

Cicin menetap di Wiyu sejak 1.999 saat usianya 30 tahun. Pada masa krisis air bersih di tahun 2020-2021 ia sudah memasuki umur 50 tahun. Di umurnya yang tidak lagi muda Cicin berusaha mengupayakan air bagi keluarganya seorang diri karena suaminya tidak bekerja di Yogya. Adapun anak-anaknya ia fokuskan untuk sibuk memikirkan pelajaran dan tugas sekolah dibandingkan sibuk mengurus air. 

“Kita ini perempuan harus kuat, terpaksa kuat, buat keluarga di rumah sehari-harinya,” katanya. Cicin menyadari di usianya itu tenaganya tidak sekuat anak muda, ia juga mengeluhkan badannya pegal-pegal dan lemas saat mengangsu air. Namun, demi kebutuhan keluarga ia tetap lakukan apa saja agar kebutuhan di rumah terpenuhi.

Baca Juga: Edisi Kartini: Pergi ke Morowali, Kutemui Para Perempuan Muda Pekerja Tambang

Upaya warga selain mengangsu air adalah melakukan pendalaman sumur. Di Wiyu masih banyak warga yang mempunyai sumur. Di RT tempat tinggal Cicin dan Yuli terhitung ada 10 warga yang memiliki sumur pribadi dan ada 3 sumur yang digunakan bersama atau sumur warga. 

Upaya pendalaman sumur bukan hal yang mudah, mengingat pekerjaan ini butuh keberanian karena masuk jauh ke bawah tanah dan beresiko membahayakan nyawa, maka tidak semua orang dapat mengerjakannya. Jasa untuk membuat sumur gali tidak sedikit yaitu sekitar 200 – 500 ribu. Harga ini bisa dihitung perorang atau per meter kedalaman sumur sesuai dengan harga di tiap daerahnya. Itu juga belum termasuk harga beli peralatan seperti pipa, mesin, kabel atau semennya. 

Kemarin itu tetangga dalemin sumur manggil orang itu satunya 200 ribu buat sehari dan kemarin itu memanggil 2 orang. Itu belum beli rokok, berarti belinya juga dua. Terus peralatannya juga kayak kabelnya,” cerita Yuli.

Yuli juga mempunyai sumur sendiri yang tidak jauh dari rumah, tepatnya berada beberapa meter di samping rumah. Sumur itu terhitung sudah 10 kali pendalaman dari 2019 – 2022. Pendalaman sumur itu ia kerjakan sendiri dengan suami karena mahalnya biaya jasa penggalian sumur. 

“Kalau daleminnya ya dalemin sendiri, selagi masih bisa. Kayak spiderman gitu turun pake tali, gak bisa pake tangga jadi hanya orang tertentu saja yang bisa dalemin sumur,” cerita Yuli. 

Namun, di musim kemarau  panjang 2023 sumurnya sudah tidak bisa diperdalam. Hal ini karena diameter sumur yang kecil sedangkan air semakin dalam. Orang sudah tidak bisa masuk ke dalam sumur, begitupun jika ingin diberi mesin. Maka sumur Yuli sudah tidak digunakan pada saat itu.

Baca Juga: Lihat Kondisi Tubuh Perempuan, Tak Semua Perempuan Mau Melahirkan di Tahun Naga

Ironisnya untuk mendapat air bersih di tahun itu Yuli sampai harus meminta air ke tetangga-tetangganya. Bahkan sampai minta air ke kenalannya yang berada di seberang desa. “Nah 2023 itu yang bikin airnya kering semua. Sampe minta air buat minum. Jadi mandinya di sungai tapi minumnya minta,” ujarnya.

Tak jarang suami Yuli juga membawa air minum yang didapat dari kampus tempatnya bekerja. “Suami kerjanya satpam, kalau kerja bawa air Ro (Reserve Osmosis) buat diisi air terus dibawa pulang karena di kampus sudah disediakan air minum,” cerita Yuli.

Sampai di akhir bulan Desember 2023 Yuli memutuskan untuk memperdalam sumur warga yang juga berada di dekat sungai. Sebelum memperdalam sumur ia terlebih dahulu meminta izin pada warga. banyak dari warga desanya yang beralih ke air PDAM di tahun itu karena krisis air yang sudah tidak masuk akal.

Keputusan ini bukan hal yang mudah karena untuk memperdalam sumur, ia harus menggunakan tabungannya yang jumlahnya tidak sedikit. “Sebenarnya kita nggak mau ngedalemin sumur terus, tapi karena dipojokkan dalam situasi butuh air mau gimana lagi,” katanya.

Namun, keputusan memperdalam sumur warga di belakang rumahnya ia lakukan karena kesadaran bahwa air merupakan kebutuhan pokok manusia. Sebanyak 80 persen tubuh manusia berisikan air. Tidak mungkin jika Yuli akan terus meminta air ke tetangganya, sedangkan ada beban 4 orang dalam satu rumah. 

Baca Juga: Film “City of Joy”: Hanya Demi Tambang Emas, Para Perempuan Kongo Diperkosa Massal

Walaupun biaya saat pendalaman sumur itu sampai dengan satu juta dan ia tanggung sendiri karena mayoritas warga di tempat tinggalnya sudah beralih ke PDAM, Yuli tetap gigih memperjuangkan ketersediaan air bersih bagi keluarganya dengan segala kemampuan yang dapat ia dan suami usahakan. 

“Kemarin ngerjain sumur satu hari kita buat jalur baru air yang habis 500 ribu itu buat pipa-pipanya sama kabel. Jalur baru ini jauh dari rumahku. Beda sama sumurku dulu itu lebih dekat. Jadi tambah pipanya itu sampai 7 terus kabelnya juga ditambah karena semakin dalam. Itu belum mesin pompanya 600 ribu,” tutur Yuli. 

Setelah pendalaman sumur, air yang dialirkan ke rumah Yuli juga tidak dapat langsung digunakan. Perlu waktu untuk menjernihkan air. Jika memakai mesin diesel air sumur itu bisa langsung dikuras dan menjadi jernih. Namun, jika tidak ada mesin harus menguras air sumur manual. 

“Kalau mata airnya banyak satu hari bisa, tapi memang nggak bisa langsung jernih banget. Jernih banget itu kira-kira seminggu baru bisa, kayak air yang nggak ada apa-apanya gitu,” ungkap Yuli.

Warga yang sumurnya sudah kering dan tidak dapat diupayakan lebih memilih untuk memakai air PDAM, salah satunya Cicin. Namun, air PDAM pun tidak Cicin gunakan untuk air minum karena terdapat kandungan bahan kimia seperti kaporit. Untuk minum ia membeli galon air minum isi ulang. 

Baca Juga: Petaka Bagi Warga, Perempuan Wadas Tolak Pembangunan Tambang Dan Bendungan

Cicin mengaku memang lebih mudah mendapat air dari PDAM daripada saat ia bolak-balik mengangsu air dari sumur dekat Kali Progo. Namun, pengeluaran tiap bulannya juga cukup membengkak gara-gara air PDAM.

“Biasanya saya itu 3 orang di rumah habisnya 70-100 ribu tiap bulan. Lebih enak dulu waktu masih punya sumur, sudah dapat air dan gak usah bayar,” tutur Cicin.

Alasan pembengkakan biaya tiap bulannya yang juga ditakutkan Yuli. Disamping pengeluaran untuk sehari-hari, ia dan suami juga juga harus memikirkan kebutuhan kedua anaknya seperti seragam sekolah, buku, kendaraan untuk putri sulung dan pegangan untuk kebutuhan yang sifatnya tidak terencana.  

“Aku mau make PDAM, diawal hilang berapa aku mau, tapi setiap bulannya gratis karena kita susahnya diawal,” papar Yuli.

Maria Al-Zahra

Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Kalijaga, Yogyakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!