Survey Komnas Perempuan menyebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga meningkat tajam selama masa Pandemi Covid-19, yaitu sekitar 80% responden yang mengalami KDRT. Survey ini juga mengungkap tentang apa saja yang terjadi pada perempuan selama pandemi, seperti terbatasnya akses internet bagi mereka selama work from home
*Tika Adriana- www.Konde.co
“Aku merasa work from home ini membuat pekerjaanku lebih banyak dari biasanya. Tidak ada batas antara jam kerja dan urusan domestik,” N, perempuan berusia 28 tahun, pekerja swasta.
“Karena Covid-19, tempat penitipan anak tutup. Aku bingung kalau aku kerja, anakku harus kutitipkan ke mana,” A, ibu tunggal dari seorang balita, 33 tahun.
“Mulanya aku senang, Covid-19 bikin bapaknya yang biasa kerja lembur bisa ada di rumah terus. Kami jadi punya jam makan siang bersama. Namun lama-lama, aku bingung, anakku sering rewel ingin main sama bapaknya, jadi aku harus mengalihkan perhatian dia. Lalu biasanya aku cuma siapin sarapan dan makan malam, ini aku harus siapin makan siang tepat waktu. Kadang juga dia minta bantu carikan apalah yang berhubungan sama kerjaan,” Y, ibu rumah tangga, 35 tahun.
N, A, dan Y, merupakan tiga dari sekian banyak perempuan di dekat saya yang menantikan pandemi Covid-19 segera berlalu. Mereka juga tiga dari jutaan perempuan yang mengalami kerentanan baru karena kewajiban physical distancing.
Mereka bukan perempuan yang senang mengeluh. Namun kita memang tak bisa memungkiri, dinamika rumah tangga dalam masa Pandemi Covid-19 ini berubah.
Kebijakan kerja dari rumah dan sekolah dari rumah dalam kehidupan sosial yang patriarkis ini membuat kita, para perempuan, memiliki beban kerja berlipat ganda: menggantikan peran guru, mengerjakan hal domestik, mengurus anak, dan berbagai hal lainnya.
Meski saya perempuan yang tidak menikah, saya bisa turut merasakan pengalaman sahabat-sahabat saya ketika mereka mencurahkan isi hatinya.
Bayangkan saja, mereka harus bangun pagi-pagi menyiapkan sarapan untuk anak dan/atau suaminya. Lalu menemani anak yang ikut pelajaran online atau mengerjakan tugas, belum lagi ketika perempuan yang bekerja harus selalu mengalah meminjamkan laptop atau ponsel untuk anaknya bersekolah karena menganggap pekerjaan suami lebih penting daripada perempuan. Kemudian memastikan keadaan rumah agar selalu terlihat rapi supaya nyaman untuk bekerja, menyiapkan makan untuk keluarganya, hingga mengurus anak yang rewel.
Itu belum ditambah beban dari perusahaan. Mereka harus menghadapi tingkah bos yang seenaknya: memberikan pekerjaan lebih berat karena menganggap bekerja di rumah jadi lebih fleksibel.
Ini terbukti dari hasil temuan survei daring yang dilakukan oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada April hingga Mei 2020. Dalam konferensi pers yang digelar Komnas Perempuan melalui daring pada 3 Juni 2020 disebutkan bahwa hasil survey Komnas Perempuan ini menyebutkan tentang perubahan dinamika rumah tangga dalam masa Pandemi COVID-19 dimana perempuan dan beberapa kelompok rentan lainnya banyak menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga.
Hasil survei daring Komnas Perempuan mengidentifikasi bahwa:
1. Perempuan Kelompok Paling Terdampak dalam Pandemi Covid-19
Kerentanan pada beban kerja berlipat ganda dan kekerasan terhadap perempuan terutama dihadapi oleh perempuan yang berlatar belakang kelompok berpenghasilan kurang dari 5 juta rupiah per bulan, pekerja sektor informal, berusia antara 31- 40 tahun, berstatus perkawinan menikah, memiliki anak lebih dari 3 orang, dan menetap di 10 provinsi dengan paparan tertinggi COVID-19.
Komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah mengatakan bahwa para perempuan ini merupakan kelompok paling terdampak baik dari segi kesehatan fisik dan psikis, sosial dan ekonomi dalam Rumah Tangga, dan rentan mengalami Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).
2. Perempuan Mengalami Beban Kerja Berlipat Ganda
Beban pekerjaan rumah tangga selama COVID19 secara umum masih ditanggung oleh perempuan, dibandingkan laki-laki. Mayoritas responden (96% dari 2285 responden), baik laki-laki dan perempuan, menyampaikan bahwa beban pekerjaan rumah tangga semakin banyak. Jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari 3 jam berjumlah dua kali lipat daripada responden yang laki-laki. Diketahui bahwa 1 dari 3 reponden yang melaporkan bahwa bertambahnya pekerjaan rumah tangga menyebutkan bahwa dirinya mengalami stres.
“Jumlah perempuan yang melakukan pekerjaan rumah tangga dengan durasi lebih dari 3 jam berjumlah dua kali lipat daripada responden yang laki-laki,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Retty Ratnawati dalam konferensi pers yang diikuti Konde.co.
3. Perempuan Alami Kekerasan Psikologis dan Ekonomi
Kekerasan psikologis dan ekonomi mendominasi Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Sebanyak 80% responden perempuan pada kelompok berpenghasilan di bawah 5 juta rupiah per bulan menyampaikan bahwa kekerasan yang mereka alami cenderung meningkat selama masa pandemi. Kekerasan fisik dan seksual terutama meningkat pada rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah. Hal ini mengindikasikan pengaruh tekanan ekonomi pada potensi kekerasan di dalam rumah tangga.
4. Sangat Sedikit Perempuan yang Mengadu Ketika Mengalami KDRT
Kurang dari 10% perempuan korban melaporkan kasusnya ke pengada layanan semasa Covid-19. Sebagian besar lebih memilih sikap diam atau hanya memberitahukan kepada saudara, teman, dan/atau tetangga. Responden yang tidak melaporkan kasusnya terutama berlatar belakang pendidikan tinggi. Hampir 69% responden juga tidak menyimpan kontak layanan untuk dapat mengadukan kasusnya.
5. Terbatasnya Akses Internet Menjadi Beban Perempuan Ketika Work From Home
Literasi teknologi dan masalah ekonomi pada masa pandemi COVID-19 berkelindan dan menjadi faktor pendorong dalam mengakses layanan pengaduan, masalah Kerja dari Rumah (KdR) dan Belajar dari Rumah (BdR). Jaringan internet yang tidak stabil, anggaran terbatas untuk kuota internet dan literasi teknologi merupakan permasalahan yang muncul selama pandemi COVID-19. Masyarakat Indonesia masih belum siap dengan teknologi daring dan infrastruktur teknologi belum tersedia secara merata di 34 provinsi di Tanah air, termasuk keamanan datanya.
“Literasi teknologi dan masalah ekonomi pada masa pandemi Covid-19 berkelindan dan menjadi faktor pendorong dalam mengakses layanan pengaduan, masalah Kerja dari Rumah (KdR) dan Belajar dari Rumah (BdR),” ungkap Retty Ratnawati
Tak semua perempuan memiliki jaringan internet yang baik di rumahnya. Anggaran kuota internet yang membengkak dan harus dihemat demi menyelamatkan keuangan rumah tangga pun menghambat akses mereka. Harus diakui, kita belum siap dengan teknologi daring dan infrastruktur teknologi yang memadai secara merata di semua wilayah.
6. Pemerintah Dianggap Belum Siap Menghadapi Pandemi Covid-19
Sebagian besar responden menilai bahwa pemerintah belum siap menghadapi pandemik COVID-19 dari segi infrastruktur dan masih terfokus pada aspek medis. Responden menyoroti kesiapan di aspek teknologi dan informasi serta pemenuhan kebutuhan ekonomi, sosial, layanan publik bagi warga, termasuk sistem pendidikan di sekolah formal dan informal hingga perguruan tinggi. Ketegasan pemerintah juga menjadi catatan tersendiri, terutama dalam hal penerapan optimal kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan ketika masyarakat cenderung abai Protokol Kesehatan.
Berefleksi pada temuan-temuan dari hasil survei daring ini, Komnas Perempuan merekomendasi kepada pemerintah agar penerapan kebijakan normal baru mengintegrasikan perspektif hak-hak asasi manusia terutama kelompok-kelompok rentan perempuan dalam bencana.
Komisioner Komnas Perempuan, Andy Yentriani menyebut, salah satu acuan yang bisa digunakan oleh pemerintah yakni Rekomendasi Umum CEDAW No.37, di antaranya kebijakan yang menggunakan pertimbangan lebih komprehensif terhadap kerentanan perempuan, tak cuma dalam aspek kesehatan, tapi juga aspek sosial, budaya dan ekonomi, teknologi informasi, kesehatan mental, dan pencegahan kekerasan terhadap perempuan.
Selain itu, pemerintah juga harus mengembangkan skema bantuan ekonomi khusus bagi perempuan, khususnya pada perempuan kepala keluarga, pekerja informal, rumah tangga dengan jumlah anak lebih dari tiga, dan kelompok berpenghasilan rendah. Ketersediaan kebutuhan pokok dan stabilitas harga pun harus terjamin.
Negara juga harus memastikan penyelenggaraan layanan pengaduan tersedia dan gampang diakses oleh korban kekerasan. Tentu saja penyebaran informasi yang dilakukan harus memperhatikan kebutuhan kelompok rentan disabilitas.
Setelah survey ini, Komnas Perempuan juga akan melakukan Focus Group Discussion (FGD) untuk mengajak perempuan berdiskusi menanggapi survey ini dari berbagai sisi. Ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dalam konferensi pers, seperti sejumlah jurnalis dan aktivis bertanya soal: mengapa survey belum mengakomodir kegiatan perempuan yang melakukan solidaritas untuk warga lain selama pandemi, atau pertanyaan bagaimana dengan kondisi perempuan yang tidak menikah, apa imbasnya bagi mereka?
Survey selanjutnya akan diberikan ke pemerintah untuk melakukan perubahan terkait persoalan yang menimpa perempuan di masa pandemi
(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)
*Tika Adriana, jurnalis perempuan yang sedang berjuang. Saat ini managing editor Konde.co