‘Ditendang, Dijemur, Putus Sekolah’ Situasi Pilu Anak-anak di Tahanan Imigrasi Malaysia

Sudah puluhan tahun, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terjadi di tahanan imigrasi Malaysia. Riset terbaru Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) memotret kondisi tahanan anak dan perempuan yang ‘tidak dimanusiakan’ sebelum dideportasi.

Salwa (nama samaran) masih tidur di dalam kamar saat pintu ruang tamu digedor bertubi-tubi. Para petugas berseragam hitam seketika merangsek masuk ke dalam rumah. Mereka melenggang tanpa melepas sepatu laras panjang yang dikenakan. 

Anak perempuan berusia 11 tahun itu terbangun ketika petugas menyenter matanya. Salwa segera membangunkan adik perempuannya, Cahaya (10 tahun), beserta sepupu dan kedua abangnya (13 dan 15 tahun). Mereka yang masih menggunakan baju tidur dikumpulkan petugas di dapur. Sebelum kemudian, mereka digiring ke luar dari rumah. 

Ayah dan Ibu Salwa sudah lebih dulu ditangkap. Ayah Salwa sempat mencoba bersembunyi di bawah wastafel. Namun naas, petugas menemukannya. Lalu menendang dan memukulnya sampai babak belur. Sementara Ibu Salwa terus memohon ampun sambil berlutut di bawah kaki petugas. 

Berjejer mereka diangkut naik ke atas bus imigrasi. Mereka dibawa ke Lokap (Penjara Polisi) Lahad Datu, Sabah, Malaysia. Satu per satu mereka melalui proses pencatatan nama-nama di imigrasi.

Ayah dan sepupu Salwa ditahan di penjara. Sedangkan, Salwa, Ibu, dan Adiknya melanjutkan perjalanan lagi dengan bus selama 2,5 jam menuju Depot Tahanan Imigrasi (DTI) Sandakan. Mereka ditahan bersama puluhan orang lainnya yang ditangkap pada Sabtu malam itu, 10 Juli 2024. Lalu, mereka dimasukkan penjara di dalam blok 10 khusus perempuan. 

Baca Juga: Pengalaman Perempuan di Kampung Periuk Malaysia, Terlupakan dari Narasi Perempuan

Salwa dan Cahaya adalah bagian dari ribuan anak-anak tidak berdokumen yang lahir dan besar di Sabah. Begitupun Ibu mereka. Mereka mendapat keturunan Indonesia dari kakek nenek mereka yang berasal dari Adonara, Nusa Tenggara Timur (NTT). Belum pernah sekalipun, Salwa dan Cahaya, menginjakkan kakinya di Indonesia. Mereka hanya mengenal Indonesia melalui imajinasi bendera ‘merah putih’. 

Tak kurang dari 11 minggu (2 bulan 3 minggu), Salwa dan Cahaya berada di blok tahanan imigrasi. 

“Dua bulan aku di rumah merah, dua bulan aku nda nampak apa-apa. Dia begini saja, pagar-pagar,” ujar Cahaya (10) yang disampaikan Raraa Rahmawati dari Koalisi Buruh Migran Berdaulat (KBMB) saat paparan hasil riset secara daring yang diikuti Konde.co, Rabu (18/12/2024).

Raraa menceritakan, para anak-anak itu hanya menjalani kehidupan yang berulang: bangun, tidur, polling (absen tahanan penjara), makan makanan busuk dan minum air mentah, mandi air kotor yang bikin gatal-gatal, tidur di lantai semen yang dingin tanpa kasur, dan begitulah terus berulang. 

(Sumber: Tangkapan layar paparan riset KBMB)

Mereka juga harus menghadapi berbagai ancaman, kekerasan fisik dan mental, serta hukuman. Penghukuman terhadap anak-anak itu seperti pada DTI Sandakan, mereka dihukum mencabut rumput, berjemur, memeluk tiang, dipukul pakai botol plastik atau besi tipis, ditendang, diusir keluar blok tanpa diberi makan seharian. 

“Mereka juga diadu berkelahi sesama anak-anak. Ibu-ibu juga dihukum,” imbuh Raraa. 

Ada pula di DTI Papar, anak-anak itu mendapat ancaman akan dipindahkan ke blok karantina. Mereka juga dipukul menggunakan sisir atau gagang sapu sampai dilastik (menjepretkan karet gelang ke kulit). Selain itu, mereka juga mendapatkan penghukuman berkedok menghitung jumlah tahanan yang seolah menjadi “orkestrasi” kekerasan harian.

“Kekerasan verbal dan fisik yang mendehumanisasi,” katanya. 

Anak-anak di Blok 10 DTI Sandakan seperti Salwa dan Cahaya, seringkali pula menjadi objek pelampiasan dan keisengan tahanan dewasa. Utamanya dari Ketua Blok dan wakil-wakilnya yang disebut sebagai Timbalan

Balita berusia 4 tahun sampai remaja 13 tahun tak lepas jadi korban. Mereka dikerjai macam-macam mulai dari disuruh memukul anak lain sampai mengadu mereka supaya berkelahi. Jika tak menurut, mereka akan kena hukuman. 

Baca Juga: Pengalaman Tinggal di Kampung Pekerja Migran: Perempuan Pulang Jadi Korban Kekerasan

Selama berada di tahanan, anak-anak seperti Salwa dan Cahaya tidak pernah sekalipun memegang alat tulis dan buku-buku. Mereka kebanyakan juga mengalami putus sekolah. 

Di dalam blok tahanan, Salwa, Cahaya, dan anak-anak lainnya hanya bisa menghibur diri dengan bermain Batu Seremban. Itu adalah permainan tradisional Malaysia berupa adu ketangkasan menggunakan batu-batu kerikil kecil yang dilempar dan dikumpulkan dengan tangan. 

Seperti halnya Salwa dan Cahaya, mayoritas anak-anak di tahanan imigrasi ini lahir dan besar di Sabah sebagai keturunan buruh migran asal Indonesia. Mereka sejak kecil, bahkan ada yang dipaksa menjadi buruh murah yang dikontrol oleh politik ilegalitas di perkebunan sawit. 

Menurut Survei Ketenagakerjaan Malaysia (2018), sekitar 19.800 anak berusia 5-17 tahun bekerja di perkebunan sawit Sabah. Studi Wahab dan Dollah (2013) terkait buruh anak di perkebunan sawit Sabah menemukan, lebih dari 50% dari total anak 43 anak usia 12-17 tahun terlibat dalam pekerjaan di ladang sawit. Sebagian dari mereka bahkan melakukan kerja-kerja berat dan berbahaya. Seperti, memotong pelepah (selasing), mengangkut tandan (loading), dan memanen sawit. 

Baca Juga: Stop Sebut Buruh Migran ‘Pahlawan Devisa’, Ini Konstruksi Patriarki di Era Surplus Pekerja

Anak-anak tanpa dokumen di Sabah terus menerus berada dalam resiko penangkapan dan penahanan tanpa batas waktu. Mereka mesti menghadapi situasi tahanan imigrasi yang tak memanusiakan. Selanjutnya dideportasi ke wilayah yang sama sekali tidak mereka kenali dengan pengawasan dan pengontrolan. 

KBMB melaporkan hasil pemantauan di empat pusat tahanan imigrasi di Sabah pada periode Oktober 2023 sampai September 2024. Selama periode itu, pemerintah Sabah telah menangkap dan mendeportasi sebanyak 1.941 penduduk tanpa dokumen ke Nunukan, Kalimantan Utara. 

Dari jumlah itu, perempuan dewasa berjumlah 454 tahanan. Sedangkan 218 tahanan anak-anak di bawah usia 18 tahun. Mayoritasnya dari DTI Papar. 

(Sumber: Koalisi Buruh Migran Berdaulat)
Derita Tahanan Perempuan Menstruasi dan Menyusui

Permasalahan sanitasi yang lebih kompleks dihadapi oleh perempuan di tahanan imigrasi. Terutama saat mereka mengalami menstruasi. Selain persoalan kurangnya air, perempuan tidak mendapatkan akses pembalut yang cukup. 

Maria Petrus dari KBMB dalam paparan risetnya juga menyampaikan, di blok 5 DTI Tawau, pembalut dibagikan sebanyak 2 buah per hari bagi perempuan yang sedang haid. Di DTI DTI Menggatal juga praktiknya sama. Perempuan yang haid diberi pembalut sebanyak 2 buah. 

Pada DTI Papar kondisinya lebih parah. Tidak ada pembagian pembalut kepada perempuan menstruasi selama di tahanan. 

“Seorang tahanan perempuan di DTI Papar terpaksa memakai popok bayi saat menstruasi sebagai pengganti pembalut. Setiap kali berjalan, berbaring, atau bergerak, darah haid tembus keluar karena kurang melekat ke celana dalam,” kata Maria.  

(Sumber: Tangkapan layar paparan riset KBMB)

Situasi perempuan menyusui tak kalah menderitanya. Teresa, seorang perempuan 31 tahun yang ditahan di DTI Papar bersama bayi perempuannya yang masih berusia 2 tahun. Teresa berasal dari Maumere, Nusa Tenggara Timur. 

Dia tinggal di camp (pemukiman) pekerja di Keningau, tempat suaminya bekerja sebagai buruh ladang sawit. Maret 2024 terjadi razia oleh petugas imigrasi. Teresa dan bayinya, bersama suami, kakak, dan saudara iparnya, diangkut ke Lokap (tahanan polisi). Suaminya kemudian ditahan dalam penjara, sementara Teresa dan bayinya dipindahkan ke DTI Papar. 

“Selama dua bulan di dalam blok tahanan, Teresa hanya diberikan tiga bungkus popok bayi dua kali dalam seminggu. Padahal, popok semestinya diganti setiap 3 jam, atau 6-7 kali sehari. Karena jatah popok tidak mencukupi, Teresa terpaksa melatih bayinya untuk buang air kecil dan besar di toilet dewasa yang kotor dan tersumbat,” dia menerangkan. 

Baca Juga: Ada UU Perlindungan Pekerja Migran, Namun Posisi Perempuan Pekerja Migran Justru Melemah

Semua bayi di dalam blok diberi makan bubur tanpa lauk. Rasanya kadang keasinan, kadang hambar. Sementara ibunya diberi makanan yang sama seperti tahanan lain, dengan kandungan gizi rendah padahal dalam kondisi menyusui. 

Bayi Teresa menderita penyakit cacar api yang saat itu merebak. Teresa bersama bayinya sempat dipindahkan ke blok karantina. Di dalam blok karantina, mereka tidur di atas lantai semen kasar. Hanya ada tikar tipis koyak, tanpa kasur dan tanpa bantal. 

Beberapa hari sebelum deportasi, mereka dikembalikan ke blok umum. Cacar yang sudah mereda, kembali muncul di badan bayinya. 

Saat KBMB bertemu dengan Teresa di Rumah Susun Nunukan pada Mei 2024, nampak sekujur tubuh bayinya masih dipenuhi bintik-bintik merah berair. 

Sementara itu, Mikha (30 tahun) sedang menyusui bayi perempuannya yang berusia 2 bulan, saat KBMB menemui di Rumah Susun Nunukan pada Mei 2024. Saat ditangkap, Mikha belum genap berusia 1 bulan. Keduanya ditahan selama satu bulan di DTI Menggatal. Sementara suaminya masih di dalam penjara. 

Baca Juga: Miskin dan Putus Asa, Para Perempuan Putuskan Jadi Pekerja Migran

“Bayinya menderita gatal-gatal sejak berada di tahanan sampai dideportasi. Selama di tahanan, kadar air susu Mikha sangat kurang. Sehingga bayinya tidak mendapat asupan ASI yang cukup. Petugas DTI hanya memberi susu formula sebanyak satu gelas setiap minggu. Mereka juga kesulitan mendapatkan air panas untuk membuat susu bayi walau sudah meminta ke petugas,” jelas Maria.  

Selain kekurangan gizi, Mikha juga kesulitan menjaga kebersihan diri dan bayinya. Jatah popok untuk setiap bayi hanya diberikan 3 bungkus per hari. Ketiadaan air bersih semakin memperburuk kesehatan bayi. Jasmin menderita ruam panas terutama di bagian belakang dan pantat. 

“Mikha sempat melapor ke petugas tetapi tidak ada pemeriksaan kesehatan apapun. Dia bahkan dilarang ke klinik untuk mengobati bayinya dengan alasan akan segera dideportasi,” imbuhnya.  

Puluhan Tahun Berulang, Aksi Nyata Harus Segera Dilakukan

Situasi yang terjadi di tahanan imigrasi Malaysia, bukan kali ini saja terjadi. Melainkan, sudah puluhan tahun dan tidak ada perbaikan signifikan. 

Komisioner Komnas HAM RI, Anis Hidayah, menyampaikan situasi yang terjadi pada tahanan imigrasi termasuk anak-anak dan perempuan adalah pelanggaran HAM. 

“Itu bertentangan dengan prinsip-prinsip HAM. Karena setiap deportan yang ditahan di detention mestinya tunduk pada pendekatan HAM,” kata Anis yang hadir menanggapi hasil riset KBMB. 

Anis menekankan, perlakuan tidak manusiawi di tahanan imigrasi itu melanggar prinsip-prinsip HAM terutama anak-anak dan perempuan. Padahal, sudah ada standar HAM yang diatur dalam deklarasi Universal HAM. Di satu sisi, merujuk pada konferensi internasional anti penyiksaan, pelanggaran HAM terhadap tahanan di imigrasi itu juga memenuhi unsur penyiksaan yang dilakukan oleh institusi negara. 

“Kami menyesalkan situasi itu terus terjadi dan keberulangan,” tegasnya. 

Baca Juga: Apa Saja Yang Perlu Diperhatikan Sebelum Bekerja Sebagai PRT di Luar Negeri?

Pemerintah Malaysia dan Indonesia sebagai negara yang meratifikasi konvensi atas perlindungan Anak, mestinya mematuhi. Malaysia tidak boleh sewenang-wenang merazia, menangkap dan menahan anak-anak di tahanan yang tak ramah anak. 

“Harusnya di rumah aman. Anak-anak mestinya diperlakukan secara berbeda, karena melekat hak-hak anak. Ini sudah terjadi puluhan tahun di Malaysia,” kata Anis.   

Sementara itu, Komisioner SUHAKAM Malaysia, Jerald Joseph, juga menyesalkan adanya perlakuan tidak manusiawi kepada para tahanan di imigrasi Malaysia. Padahal, mereka bukan kriminal. Tapi diperlakukan seperti pelaku kejahatan mencuri bahkan membunuh. 

 “Cara penjagaan warga asing seolah-olah seperti penjenayah. Mencuri, membunuh bukan begitu. Malangnya, mereka dianggap sebagai penjenayah,” kata Jerald. 

Baca Juga: Nyanyi Sunyi Adelina Sau: Pekerja Migran Dianiaya Majikan Sampai Meninggal

Meski begitu, Jerald mengatakan, Baitul Mahabbah adalah salah satu inisiatif sementara yang bisa dilakukan pemerintah Malaysia. Paling tidak, anak-anak mempunyai tempat yang lebih aman. Pihaknya juga mendorong kementerian dan berbagai instansi di Malaysia, untuk memperbaiki kebijakan hingga realisasi di lapangan terhadap pekerja migran.   

“Harapan saya, Menteri Dalam Negeri buat satu report dan riset untuk kebijakan yang sebenar-benarnya. Tanggung jawab agensi-agensi pemerintah yang lain, makanan yang buruk, dll ada penyakit-penyakit, dimanakah Kementerian Kesehatan? tanggung jawab untuk membuat sesuatu,” kata Jerald.   

Lebih jauh, Anis dari Komnas HAM RI, menyoroti persoalan pekerja migran Indonesia tanpa dokumen ini harus diselesaikan dari akarnya. Yaitu, tata kelola imigrasi yang belum berbasis HAM. Baik itu kebijakan pemerintah Malaysia dan Indonesia. Perlu adanya mekanisme manajemen perbatasan yang lebih komprehensif antara kedua negara. Selain itu, mekanisme hukum yang akuntabel. 

Anis juga mendesakkan agar pemenuhan hak pendidikan layak anak-anak di tahanan imigrasi harus tersedia. Mereka juga harus mendapatkan hak atas administrasi dokumen kependudukan yang jelas. Di samping, tak boleh lagi ada razia, penangkapan, dan penahanan sewenang-wenang termasuk pada anak-anak. 

Baca Juga: ‘Perempuan Nakal, Bodoh dan Bisa Diperdaya’: Stop Labeling Perempuan Pekerja Migran

Pihak berwenang, katanya, juga mesti menyediakan akses assessment potensi trauma dari anak-anak di tahanan imigrasi Malaysia. Mereka mesti mendapatkan rehabilitasi dan pemulihan. 

Komnas HAM juga merasa perlu terus mendorong pemerintah melakukan upaya sistematis mengimplementasikan kesepakatan (MoU) kedua negara dalam perlindungan pekerja migran. Selain itu, Suhakam (Suruhanjaya Hak Asasi Manusia Malaysia) juga didorong untuk mengadakan investigasi potensi pelanggaran HAM saat razia. 

Hal-hal yang disampaikan Anis tersebut, senada dengan rekomendasi dari laporan KBMB. Di antaranya kepada pemerintah Sabah yang mendesak mereka agar menghentikan penangkapan sewenang-wenang. Selain itu, mengupayakan deportasi segera bagi mereka yang telah selesai menjalani masa tahanan imigrasi. 

Pemerintah Sabah juga harus memperbaiki keadaan dan perlakuan terhadap tahanan di seluruh fasilitas penahanan imigrasi. Selain itu, mengembangkan penahanan alternatif bagi anak-anak, perempuan hamil dan menyusui, orang lanjut usia dan orang dengan disabilitas. Tak kalah penting, berhenti menangkap anak-anak tanpa dokumen. 

“Pemerintah Indonesia juga mesti mengupayakan deportasi segera. Serta menyediakan bantuan konseling dan bantuan hukum untuk memastikan kewarganegaraan dan pemberian dokumentasi,” pungkasnya.  

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!