Terpaksa Menikah: Sulitnya Menolak Perkawinan Anak

Sekar, bukan nama sebenarnya, merupakan 1 dari 22 anak lainnya di Desa Watesjaya, Kabupaten Bogor yang menjadi korban perkawinan Anak. Perkawinan tersebut merenggut waktu bermain mereka dengan kawan-kawannya dan membuat lebih berisiko mengalami kematian saat kehamilan atau persalinan.

Mega Puspitasari – www.Konde.co

Teriakan anak kecil terdengar begitu riuh di salah satu halaman rumah. Mereka tertawa lepas sambil bersorak girang. Sesekali mereka berganti peran: ada yang bertugas memegang tali dan ada yang melompat tali.

Aku tersenyum tipis melihatnya, seakan membawa anganku pada belasan tahun silam, sebelum langkah kakiku terhenti di depan pintu rumah mungil dan sederhana.

“Silahkan masuk, Neng.” ujar seorang nenek yang membukakan pintu.

Saya dipersilakan duduk di hamparan tikar yang menutupi lantai semen. Mataku menyisir sudut ruangan, tak menemukan sosok yang kucari. Setelah bertanya pada Nenek, aku tahu bahwa Sekar -bukan nama sebenarnya- ada di gerombolan bocah yang bermain lompat tali.

Aku memang belum pernah bertemu dengan Sekar, ini pertemuan pertama kami. Sambil menunggu, aku berbincang dengan nenek di hadapanku. Sang nenek terlihat bingung dengan kedatanganku bersama petugas kesehatan.

“Sekar sekarang umurnya berapa, Nek?” aku mencoba membuka percakapan.

“12 tahun, Neng” jawabnya datar. Jantungku seakan berhenti sesaat. Usia Sekar jauh lebih kecil dari yang aku perhitungkan.

“Sekar masih sekolah, Nek?” aku melanjutkan pertanyaanku. Nenek menggelengkan kepalanya, “Setelah lulus SD lalu menikah, Sekar memilih tidak melanjutkan sekolah, Neng”.

Aku mengernyitkan dahi. Logikaku mulai protes. Mengapa pernikahan tersebut bisa dilakukan?

Dengan tenang, Nenek menjelaskan, “Nenek bingung, Neng. Mau bagaimana lagi? Sudah suka sama suka dan Sekar merengek pengennya begitu. Nenek tidak tega menolaknya”.

Aku menarik napas cukup panjang. Tak lama datang anak kecil berwajah riang, badannya mungil, berkulit putih, dan rambut sebahu. Keringatnya menetes dan nafasnya memburu, sepertinya ia habis berlari. Bocah itu menyalami kami satu per satu, lalu duduk di sebelah Nenek.

Anak itu Sekar. Ia sudah pernah menggugurkan kandungan ketika masih duduk dibangku kelas 5 SD. Kala itu ia berumur 11. Ia bukan hamil dengan suaminya saat ini, tapi dengan cinta pertamanya.

Seperti anak seusianya, Sekar masih senang bermanja-manja. Kenyataan ini begitu terlihat menyayat hati. Usianya masih belia, tapi sudah berani memutuskan untuk menikah dan tak lagi melanjutkan pendidikannya.

“Sekar bahagia?” aku mengajukan pertanyaan yang berkecamuk di otakku.

Gadis kecil itu mengangguk tersenyum manis, “Aa yang sekarang baik teh, tidak seperti yang dulu meninggalkan Sekar begitu saja. Aa mah cinta banget sama aku, makanya Aa sampai mau menikahi aku.” jawabnya polos.

Cinta? Tidakkah itu terlalu cepat dipahami untuk anak seusianya? Aku saja masih sulit memahami.

“Sekar pakai test pack ini dulu yuk buat tes kehamilan” kata Bu Bidan Desa yang datang bersamaku.

Sekar bingung dan melemparkan tatapannya kepada Nenek. Jelas betul ia tak paham dengan maksud kami.

“Belum isi, Neng, soalnya setiap hari Sekar udah nenek kasih pil buat diminum,” kata Nenek.

Sekar masih berumur 12. Umur yang terlalu beresiko untuk mengandung anak karena organ reproduksinya belum matang. Anak perempuan usia 10-14 tahun memiliki risiko lima kali lebih besar untuk meninggal dalam kasus kehamilan dan persalinan daripada perempuan usia 20-24 tahun.

Jika perkawinan di usia anak sudah terlanjur terjadi, maka tugas selanjutnya yakni mempersiapkan anak agar mampu menjaga kondisi kesehatan dan psikologinya. Paling tidak menunda kehamilan anak pertama hingga kondisi anak lebih siap secara mental dan kesehatan agar tidak beresiko saat persalinan.

Sekar menolak untuk melakukan tes kehamilan, alasannya ia belum mau kencing dan masih ingin bermain. Wajahnya yang semula ceria berubah gelisah dan terus melongok ke arah temannya di luar.

Beruntung, Bidan yang bersamaku tanggap. Ia mempersilakan Sekar bermain dulu, tapi dengan syarat, kalau ingin kencing, ia harus pulang.

Sembari menunggu bocah itu bermain, saya dan Bu Bidan berbincang dengan Nenek. Kami meminta Nenek memperhatikan pemenuhan hak Sekar pasca perkawinan yang telah dilakukannya beberapa minggu lalu. Terlebih suaminya dianggap sudah dewasa dan mampu bekerja.

Terlihat jelas, Sekar masih haus bermain, tapi ia memilih untuk kawin. Namun, pernikahan ini bukan murni pilihan Sekar, melainkan pengaruh lingkungan. Teman Sekar banyak yang sudah menikah di usia anak.

Sekar baru pulang dua jam kemudian. Ia muncul dengan wajah riang dan langsung diajak Bidan Desa ke kamar mandi. Saat mereka keluar, wajah Bu Bidan terlihat tak senang. Sekar hamil. Kami terlambat. Setelah perkawinan Sekar luput dari pemberitahuan, sekarang kehamilannya tak bisa dicegah.

Aku menghembuskan napas kasar, tugas besar lagi pikirku. Usia Sekar yang masih 12 tahun tentu sangat rentan kehamilannya. Bahkan nilai Angka Kematian Ibu (AKI)/ Angka Kematian Bayi (AKB) meningkat di Indonesia salah satunya adalah karena perkawinan di usia anak. Perlu pengawasan dan perhatian khusus dari keluarga Sekar.

Sekar adalah salah satu contoh dari anak perempuan lainnya di desa Watesjaya yang hasus menjadi korban perkawinan anak. Ada 22 Sekar-Sekar lainnya dengan kisah berbeda di desa tersebut, desa yang terletak di ujung Kabupaten Bogor berbatasan langsung dengan Sukabumi.

Desaku yang kucinta, masih penuh dengan fenomena perkawinan anak. Anak gendong anak adalah hal yang kerap dijumpai di sini.

Bahkan menurut data Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat Tahun 2018, ada 3336 perempuan di Kabupaten Bogor yang menikah di rentang usia 16 – 19 tahun. Jumlah ini bahkan lebih sedikit dari jumlah laki-laki yang menikah di tahun tersebut yaitu hanya 374 orang. Banyaknya jumlah perempuan yang menikah di rentang usia tersebut menunjukkan besarnya potensi perempuan di Kabupaten Bogor menjadi korban perkawinan anak.

Sebab berdasarkan UU Perkawinan No 1 Tahun 1974 sebelum mengalami perubahan, perempuan boleh dinikahan mulai dari usia 16 tahun. Sehingga dapat diasumsikan jumlah perempuan yang menikah dibawah usia 18 tahun berpotensi lebih banyak menyumbang angka perkawinan di Bogor yang menyebabkan Kabupaten Bogor berada pada urutan tertinggi ke tiga di Jawa Barat.

9 bulan telah berlalu. Kini, Sekar, gadis kecil itu sudah menjadi ibu cilik di usia 13 tahun. Anaknya lahir dengan selamat melalui pemantauan khusus dari petugas kesehatan.

Sekarang, Sekar tak pernah lagi ikut bermain lompat tali. Ia hanya menyaksikan kawan-kawannya sambil menggendong dan menyusui anaknya. Ibu cilik itu terpaksa belajar mengurus anaknya dengan baik, memenuhi kebutuhannya dan rajin memeriksa perkembangan anaknya ke Posyandu.

(Foto/Ilustrasi: Pixabay)

Mega Puspitasari, sehari-hari aktif Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Kota Bogor

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!