Dunia Medis Rawan Pelecehan Seksual, Harus Ada Perubahan Sistem

Pelecehan seksual dapat terjadi di mana saja dan tidak memandang profesi, termasuk di profesi yang berkaitan dengan dunia medis. Tenaga medis, mulai dari dokter hingga perawat dapat menjadi pelaku maupun korban pelecehan dan kekerasan seksual.

“Never Okay Preject” (NOP) baru-baru ini mengeluarkan hasil survei terkait “Pelecehan Seksual di Dunia Medis”. Survei itu mengungkapkan sedikitnya ada 12 kasus pelecehan seksual di dunia medis yang dipaparkan media dalam dua tahun terakhir. 

Sebelas diantaranya merupakan kasus pelecehan seksual tenaga medis terhadap pasien, satu lainnya antar tenaga medis sendiri.

Eunike Pangaribuan dari “Never Okay Preject” (NOP) mengatakan jumlah ini hanya yang terungkap di media massa, sementara ada banyak kasus lain dari testimoni atau pengaduan yang dilakukan tanpa menyebutkan identitasnya, tidak muncul ke permukaan karena korban lebih memilih diam.

“Mereka diikat oleh yang namanya kode etik, mereka memilih untuk bungkam dari pada menjatuhkan rekan sejawat. Dari 12 kasus ini memang rata-rata adalah pelecehan seksual dalam bentuk fisik, contohnya seperti kita tahu kasus-kasus di Surabaya, di Aceh, di Jakarta, itu rata-rata dokternya atau perawat itu melakukan pelecehan seksual seperti memegang daerah keintiman, atau pun seperti memegang bagian-bagian alat kelamin, atau pun seperti melakukan pemaksaan secara fisik,” ungkap Eunike Pangaribuan.

Budaya Patriarki Kuat, Pelecehan Seksual Marak

Terjadinya kasus pelecehan seksual di dunia medis, tidak ditampik oleh Sandra Suryadana, dokter umum dan pendiri gerakan sosial “Dokter Tanpa Stigma.” Menurut dokter Sandra, terjadinya kekerasan maupun pelecehan seksual di dunia medis tidak dapat dilepaskan dari budaya patriarki, serta sistem atau aturan tak tertulis yang disebut senioritas. Ini menurut Sandra, menjadi awal terjadinya pelecehan maupun kekerasan seksual yang dilakukan, maupun yang dialami tenaga medis.

“Sebenarnya disebabkan karena adanya satu sistem atau aturan yang tidak tertulis di dunia kedokteran ini, sistem senioritas. Dan sistem yang saya pribadi menilai, ini sistem yang feodal. Dan sistem senioritas ini sudah dimulai bahkan semasa pendidikan,” ujar Sandra Suryadana.

Selain itu, Sandra melihat adanya kekuatan yang tidak seimbang dan relasi kuasa, yang kerap menimbulkan kekerasan dan pelecehan seksual oleh pasien atau masyarakat terhadap tenaga medis. Kebanyakan kasus ini seringkali tak terungkap.

“Interaksi ke para medis yang lain, ini juga ada risiko power imbalance, karena selama ini kan secara konvensional dinilai bahwa dokter itu jabatan yang lebih tinggi, jadi para medis yang lain itu harus mengikuti apa yang dokter katakana. Jadi, bukan dengan pemikiran bahwa kita ini sama-sama rekan yang setara, jadi masih ada pemikiran seperti itu, itu kan juga membuat ada risiko kekerasan di situ,” lanjut Sandra.

Terus berlangsungnya pelecehan maupun kekerasan seksual di dunia medis, menurut Fen Budiman, perawat relawan COVID-19, dan pengurus API Kartini, banyak disebabkan enggannya korban untuk berbicara. Perilaku dan sikap yang melecehkan, kata Fen, akan terus terjadi bila dibiarkan dan tidak ditindak.

“Perawat itu sering kali diidentikkan dengan profesi yang menjadi sebuah pandangan buat orang lain, diobyektivikasi secara seksual, dan itu sering kali kami temui di lapangan, dan itu baru ada sedikit dari kami yang mampu speak up atau bicara soal bagaimana mereka mengalami pelecehan seksual,” kata Fen Budiman.

Perlu Perombakan Sistem

Dokter Sandra menegaskan perlunya merombak sistem yang dianggap feodal, dan memperbaiki sistem dengan mengedepankan rasa keadilan.

“Revolusi sistem, merombak sistem dari pemerintah. Sistem feodalisme ini yang harus dirombak, jangan ada lagi politik-politik di dalam dunia medis ini, karena urusan instansi dan organisasinya itu karena anggotanya adalah, ya orang-orang kita juga,” kata Sandra.

“Jadi, sulit untuk menegakkan satu sistem yang memang benar-benar adil, karena pasti lebih terpengaruh politiknya, siapa yang jadi ketuanya sekarang, siapa yang disukai, siapa yang tidak disukai, siapa yang bisa memberikan keuntungan,” sambungnya.

Eunike Pangaribuan juga mendorong adanya jejaring kolektif yang saling mendukung, untuk menyuarakan penghentian kekerasan maupun pelecehan seksual. Ia pun mendorong pengesahan segera Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU P-KS) untuk melindungi semua pihak dari perilaku kekerasan seksual di segala profesi.

“Mungkin tidak sesama profesi kita bisa kolektif, karena setiap orang mungkin punya latar belakang atau pun pemahaman berbeda. Tetapi pada saat kita punya satu visi misi walau pun kita memiliki profesi yang berbeda, kita bisa bergandengan tangan untuk menyuarakan, karena semakin sering dan kita gencar menyuarakan ini, saya yakin sih kalau orang-orang di luar sana juga akan lama-lama, perlahan akan aware. Apalagi juga kita harus mendukung pengesahan RUU P-KS,” pungkas Eunike Pangaribuan. [pr/em]

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: Voice of America/ VOA)

Tim Konde.co

Konde.co lahir pada 8 Maret 2016 untuk mengelola ruang publik dari sudut pandang perempuan dan minoritas sebagai bagian dari kesadaran dan daya kritis, menghadirkan penerbitan artikel di website, produksi video/ film, dan informasi/ pengetahuan publik.Kini dikelola oleh individu-individu yang mempunyai kesamaan dalam memandang perempuan dan minoritas.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!