Film Our Mothers’ Land: Perempuan Pertahankan Hutan dan Tanah yang Dirampas

Film Our Mothers’ Land Karya Febriana Firdaus, The Gecko Project dan Mongabay mengingatkan saya pada Gerakan Chipko, sebuah gerakan memeluk pohon yang dilakukan para perempuan di India Utara untuk menyelamatkan hutan mereka di tahun 1970 an.

Membaca kembali sejarah Gerakan Chipko, membuat saya teringat pada para perempuan yang melawan penindasan terhadap hutan-hutan mereka dengan cara memeluk pohon. Inilah inti Gerakan Chipko yang sangat melegenda dan menjadi inspirasi banyak perempuan untuk melakukan perlawanan atas penindasan terhadap alam dan lingkungan mereka

Para perempuan di India di tahun 1973 kala itu beramai-ramai memeluk pohon untuk menyelamatkan hutannya dari ancaman kontraktor swasta dan pemerintah yang menebangi hutan mereka.

Dalam gerakan Chipko, para perempuan  salah satu tokohnya Gaura Devi, menghadapi para penebang pohon, menjaga pohon-pohon mereka sepanjang malam, mendatangi para laki-laki pembawa senjata api agar hutan mereka selamat dari kerakusan kontraktor dan pemerintah

Film Our Mother’ Land atau Tanah Ibu Kami mengingatkan saya pada perlawanan para perempuan penjaga lingkungan di India Utara itu.

Melalui film dokumenter berdurasi 55 menit 44 detik, jurnalis Febriana Firdaus bersama The Gecko Project dan Mongabay menyajikan beberapa cerita para perempuan yang menjadi pemimpin dalam gerakan melawan investor yang menjajah tanah tinggal mereka.

Dalam film ini, tergambar jelas bahwa perempuan memiliki peran penting dalam menjaga ekonomi dan alam.

“Kalau kita keruk gunung sekarang, kita tebang hutan sekarang, dampaknya dalam waktu singkat kita akan punya banyak uang, tapi krisis air,” kata Farwiza Farhan, salah satu perempuan penjaga hutan di Leuser, Aceh.

“Tapi yang menanggung biaya beli air itu si ibu yang mengatur budget keluarga, bukan si bupati. Beban pikiran, beban emosional, dan beban finansial ada di ibu,” tambahnya.

Febriana mengawali perjalanannya ke pegunungan Kendeng, Jawa Tengah. Di sana, ia bertemu dengan para Kartini Kendeng, para perempuan yang menjadi pemimpin perlawanan atas berdirinya pabrik milik PT Semen Indonesia, perusahaan semen milik pemerintah. Keberadaan pabrik semen itu mengancam ruang hidup mereka, mengancam air yang mengaliri pertanian mereka.

Kala itu, warga Kendeng menempatkan para perempuan di garis depan agar perlawanan tak dilakukan dengan kekerasan, sebab yang mereka hadapi tak hanya preman perusahaan, tapi juga aparat kepolisian.

“Ibu-ibu mengendalikan semua agar tidak ada kekerasan dan untuk memperjuangkan lingkungan, tidak harus bapak,” tutur Sukinah, salah satu Kartini Kendeng dalam film Tanah Ibu Kami.

Aksi damai yang dilakukan oleh para Kartini Kendeng ini memakan korban jiwa. Yu Patmi, salah satu Kartini Kendeng, meninggal dunia karena serangan jantung setelah aksi menyemen kaki di depan Istana Negara.

Kematian Yu Patmi tak memudarkan semangat perlawanan mereka, justru semakin memperkuat perjuangan tersebut. Para perempuan ini pun menduduki jalan menuju perusahaan selama berhari-hari, meski akhirnya, aksi damai yang menjadi pendekatan para perempuan Kendeng untuk melawan tersebut tak disambut baik oleh aparat.

Mereka justru mendapatkan diusir dengan kekerasan oleh aparat yang menjadi pelindung investor.

Febriana juga menceritakan tentang kisah para perempuan di Mollo, Nusa Tenggara Timur. Melalui film ini, para penonton semakin disadarkan bahwa perlawanan perempuan bukan terjadi hari ini saja.

Cerita dari Mollo nyaris serupa dengan Kartini Kendeng. Para perempuan ini telah berjuang selama puluhan tahun, pada akhir dekade 1990-an hingga 2000-an, mereka meninggalkan rumah dan tanah pertanian mereka untuk melawan perusahaan tambang yang dilindungi oleh polisi dan preman. Mereka melawan dengan menenun di Pegunungan Mollo.

Lodia Oematan dan para perempuan tak cuma mengorbankan rumah dan lahan taninya, tapi Ia juga harus menahan sakit karena kekerasan yang dilakukan oleh aparat.

“Kena pukul dan injak sampai sakit berat karena perjuangan ini. Kena pukul, caci maki,” tutur Loedia dalam dokumenter ini.

Mama Aleta Baun, anak dari seorang kepala adat di Pegunungan Mollo menjelaskan bahwa alam harus dilestarikan. Sebagai perempuan, Ia membuktikan bahwa perjuangan untuk mempertahankan wilayah tinggal mereka bisa dilakukan oleh perempuan dan laki-laki dalam posisi yang setara. Bagi Aleta, alam adalah tempat belajar yang utama.

Perlakuan sewenang-wenang aparat dalam melindungi investor ini tak hanya meninggalkan luka fisik, tapi juga psikologis.

“Jadi saya kalau ingat masa lalu, ingin menangis terus, mbak. Ingat anak saya, nasibnya anak saya, kenapa sampai begitu. Kalau sekarang dibuka lagi, saya ingat, tambah ingat, saya enggak bisa kalau ada suara apa, ngedrop, kalau yang lalu sudah lalu, jangan dibuka lagi,” ujar seorang ibu yang menyaksikan penangkapan sewenang-wenang oleh aparat kepada anaknya.

Eva Bande, seorang aktivis lingkungan, ditangkap bersama sejumlah laki-laki di Piondo karena melawan ekspansi perkebunan sawit di wilayah itu. Polisi dan militer menjadi alat perusahaan untuk menggempur kebun warga.

“Insiden pembakaran alat berat perusahaan dan camp perusahaan karena provokasi yang dilakukan oleh aparat militer di areal ini dengan alasan untuk latihan perang,” kata Eva.

Penangkapan Eva tak menyurutkan perlawanan warga. Dalam film ini, Febriana juga menunjukkan banyaknya kekuatan para perempuan. Perempuan yang berdaya. Ini terlihat dari cerita para perempuan di Piondo yang ditinggal oleh suaminya. Suami mereka yang sebagian besar adalah pencari nafkah utama dikriminalisasi bersama Eva Bande.

Akhirnya warga pun saling bantu-membantu. Mereka membentuk koperasi untuk mendukung dan membentuk wadah penghasilan baru bagi para perempuan yang ditinggal suaminya.

Film ini meninggalkan sesuatu yang penting tentang para perempuan yang berani melawan, mempertahankan tanah-tanah mereka

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!