Mengganti Nama Alat Kelamin Akan Jerumuskan Kita

Banyak orang masih tabu bicara soal seksualitas. Sejumlah orang juga berbisik-bisik ketika membicarakan alat kelamin. Ada alat kelamin yang diganti dengan berbagai istilah, misalnya penis diganti dengan burung, atau payudara diganti dengan pepaya

Alat kelamin adalah yang melekat pada tubuh kita, dia selalu ada dalam tubuh kita, dibawa-bawa kemanapun kita pergi. Namun herannya, banyak orang merasa malu menyebutkannya.

Saya sering melihat orang hanya berbisik-bisik di belakang ketika membicarakannya, atau sengaja bilang:

”Sudah nanti saja, itu pribadi banget, jangan terdengar orang lain.”

Karena merasa malu dan dianggap tak pada tempatnya membicarakan alat kelamin, maka kemudian banyak orang mengganti nama alat kelamin dengan berbagai istilah. Misalnya, burung, terong, cabe, kacang, dan masih banyak istilah lainnya untuk alat kelamin

Sehingga banyak anak kecil yang kemudian tidak tahu nama alat kelaminnya yang sesungguhnya. Apakah ini terjadi karena malu sehingga alat kelamin kemudian disebut sebagai kemaluan?

Dengan banyaknya kasus pelecehan seksual pada anak-anak dan juga perkosaan, sebaiknya orang tua mulai mengajarkan nama-nama organ tubuh manusia secara betul dan tidak menggantikannya dengan istilah atau kata benda lainnya. Misalnya orang tua sering menggantikan istilah penis dengan burung. Dan ketika anak laki-lakinya ditanya:

“Kamu main apa?”

Dan dijawab, “lagi main burung.”

Atau ketika seorang anak perempuan ditanya:

“Lagi ngapain?”

“Lagi beli wadah untuk pepaya.”

Padahal penis adalah burung dan pepaya adalah payudara. Membeli wadah untuk papaya artinya membeli beha. Sangat jauh dari artian sebenarnya.

Atau padahal ia sedang bermain penisnya atau penis orang lain. Kita mungkin lupa jika penis, namanya sudah diganti dengan burung. Bisa saja ini membuat kepekaan orangtua terhadap tanda-tanda anak mengalami kekerasan seksual menjadi tidak tampak, misalnya mengapa anaknya kemudian menjadi sering memainkan penisnya sebagai tanda bahwa ia sedang mengalami problem kekerasan seksual.

Ini juga secara terus-menerus membuat kita jadi tidak memberikan pendidikan seksual secara benar. Padahal dengan pendidikan seksualitas yang benar, maka kita bisa memberikan pengetahuan yang lengkap, mereka juga akan lebih tahu dan bisa melindungi dirinya dari bujukan orang yang akan melakukan kekerasan

Menutupi nama-nama alat kelamin adalah satu hal. Hal lain, karena seringnya menutup-nutupi ini, maka kita sebenarnya sedang menabukan pendidikan kesehatan reproduksi dan seksualitas. Ini yang kadang malah membuat anak-anak menjadi takut atau malu untuk membicarakannya. Sehingga ketika mereka mengalami pelecehan seksual, mereka tidak berani bercerita, karena menutupi sesuatu yang berhubungan dengan alat kelamin dan seksualitas sudah diajarkan sejak kecil.

Edward Sapir dan Benjamin Lee Whorf, ahli linguistik di Amerika, menyatakan bahwa bahasa akan memengaruhi pikiran kita, sehingga muncul ungkapan bahwa bahasa memengaruhi cara berpikir penuturnya. Determinisme linguistik adalah klaim bahwa bahasa menentukan atau sangat memengaruhi cara seseorang berpikir atau mempersepsikan dunia. Whorf meyakini bahwa kehidupan suatu masyarakat dibangun oleh sifat-sifat bahasa yang digunakan anggota masyarakat tersebut.

Pengaruh bahasa terhadap pikiran dapat terjadi melalui habituasi dan melalui aspek formal bahasa, misalnya tatabahasa (grammar) dan kosakata (lexicon).

Whorf mengatakan “grammatical and lexical resources of individual languages heavily constrain the conceptual representations available to their speakers” (Hal yang terkait dengan tata bahasa  dan kosakata dalam sebuah bahasa menjadi penentu representasi konseptual yang ada dalam pengguna bahasa tersebut).

Selain pembiasaan (habituation) dan aspek formal pada bahasa, salah satu aspek yang dominan dalam konsep Sapir dan Whorf adalah bahwa bahasa akan memengaruhi kategorisasi dalam persepsi manusia yang akan menjadi alasan atau landasan dalam berpikir.

Apakah itu sebabnya mengapa banyak terjadi kekerasan seksual dan pelecehan seksual, karena orang mempersepsikan sendiri tentang seksualitas berdasar pengetahuannya dan menggunakan imajinasinya sendiri?

Dan mengapa juga kita saat ini juga mengenal pelecehan seksual secara verbal, yakni pelecehan seksual melalui kata-kata dan bahasa

Maka, stop tabu bicara seksualitas dan alat kelamin!

Arifuddin. 2010. Neorupsikolinguistik, Jakarta: Raha Grafindo Persada.

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Poedjiati Tan

Psikolog, aktivis perempuan dan manager sosial media www.Konde.co. Pernah menjadi representative ILGA ASIA dan ILGA World Board. Penulis buku “Mengenal Perbedaan Orientasi Seksual Remaja Putri.”
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!