Sebut Suami Adalah Atasan Istri Di Rumah: Ini Kekeliruan Jargon

Buat saya, budaya yang menyebut bahwa suami adalah atasan istri di rumah, adalah jargon atau slogan yang sudah sangat jadul dan keliru

Jargon atau slogan yang menyebutkan bahwa suami adalah atasan istri di rumah, adalah jargon yang sangat keliru. Jargon seperti ini biasanya dibuat tanpa bertanya dulu pada istri atau perempuan: nyamankah dengan relasi ini? Apakah sudah ada kesepakatan diantara keduanya dalam relasi ini?

Jargon ini mengingatkan saya ketika beberapa waktu lalu, saya mendengar istilah ini kembali: “suami adalah atasan istri.”

Istilah ini cukup mengusik hati saya sebagai perempuan. Dalam masyarakat Sasak dimana saya besar, istilah ini biasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari dengan obyek/lawan bicara yang adalah perempuan, seperti:

“Kamu sudah izin atasan belum?”

“Coba kamu bantu atasanmu!”

Atasanmu lagi dimana?”

Kenapa istilah atasan ini mengusik saya? Karena terlepas dari makna apapun yang dimaksud oleh si pembicara, penggunaan istilah ini secara tidak langsung berarti menyebut istri adalah bawahan suami

Dalam sebuah lembaga atau organisasi secara umum, sering ada yang namanya pembagian kekuasaan, namun ini lebih tepat disebut sebagai pembagian kerja. Hal ini penting, setidaknya untuk menjalankan operasional tugas sehari-hari, masing-masing menjalankan pekerjaannya dan punya tanggungjawab masing-masing.

Untuk menjadi pimpinan, diperlukan beberapa syarat yang harus dipenuhi. Selain syarat internal dalam arti skill atau kemampuan dan kepribadian dalam memimpin

Namun, tulisan ini tidak ingin membahas secara panjang lebar mengenai hierarki kekuasaan dalam lembaga atau organisasi. Tulisan singkat ini akan membahas tentang hierarki dalam berumah tangga, lebih tepatnya tulisan ini adalah sebuah kritik sederhana akan adanya hierarki dalam sebuah rumah tangga.

Kita kembali ke kata atasan tadi. Sebenarnya tidak ada masalah dengan kata yang sengaja saya miringkan tulisannya itu. Namun, kata ini agaknya kurang tepat menurut saya ketika dipergunakan dimana bawahan harus selalu tunduk pada atasan tanpa kecuali.

Di tempat saya tinggal, misalnya, seringkali masyarakat menyebut suami sebagai ”atasan” istri. Penyebutan seperti ini secara tidak langsung memposisikan istri sebagai bawahan yang harus dipimpin dan diarahkan oleh suami, patuh terhadap apapun perintah suami, layaknya seorang karyawan yang patuh terhadap perintah bos-nya.

Dalam beberapa percakapan ringan saya dengan beberapa perempuan di lingkungan saya tinggal-baik yang berpendidikan sarjana hingga Sekolah Dasar (SD), rata-rata mereka berpandangan bahwa suami adalah atasan istri dengan alasan yang bermacam-macam, karena ini seringkali dibentuk oleh budaya patriarki di lingkungan tempat kami hidup

Alasan yang paling sering dikemukakan adalah memposisikan suami sebagai atasan istri merupakan sebuah tradisi, dan tradisi harus dilestarikan atau dijaga.

Alasan lain adalah bahwa hal itu diajarkan oleh agama. Dalam hal ini saya tidak berkomentar karena dua alasan tersebut adalah alasan mati yang susah didiskusikan. Selain alasan-alasan tersebut, ada juga alasan lain, bahwa semua itu memang sudah takdir, bahkan dalam berhubungan seksual, seringkali laki-laki posisinya harus berada di atas istri. Sekali lagi ini terjadi karena budaya patriarki yang membuat pemikiran perempuan kemudian diabaikan.

Dalam tulisan singkat ini, saya tidak ingin berdalil agama karena dalil-dalil agama tentang relasi laki-laki dan perempuan sangat multi interpretatif. Terlalu banyak aliran yang akan berkomentar karena masing-masing memiliki prinsip relasi berumah tangga sendiri.

Namun, yang ingin saya sampaikan adalah bahwa menjalin kehidupan rumah tangga bukanlah menjalin relasi yang sifatnya hierarkis, yang bersifat atasan-bawahan, akan tetapi sebuah relasi yang bersifat partnership, atau biasa disebut equal partner.

Dalam teori Scanzoni, ada empat pola hubungan suami istri dalam rumah tangga, saya ingin membaginya disini karena tulisan ini memudahkan untuk melihat bagaimana relasi suami dan istri dalam dunia patriarki:

1.Pola owner property.

Dalam pola ini kedudukan istri diibaratkan sebagai barang berharga milik suami. Istri berkewajiban untuk membahagiakan dan memenuhi keinginan suami dalam segala hal. Kebahagiaan istri menjadi tidak penting jika bertentangan dengan keinginan suami. Sebagai contoh, istri menginginkan suaminya lebih sering di rumah menemani keluarga, tapi suami lebih suka keluar rumah untuk berkumpul dengan teman-temannya. Maka dalam hal ini, istri harus menekan keinginannya karena tidak sesuai dengan keinginan suami.

2.Pola head complement.

Dalam pola hubungan ini, istri berkedudukan sebagai pelengkap suami. Istri mempunyai hak berpendapat walaupun pada akhirnya keputusan tetap berada di tangan suami.

3.Pola senior-junior partner.

Dalam pola ini, selain berkontribusi dalam proses pengambilan keputusan-sepanjang tidak bertentangan dengan kebutuhan suami, istri juga bebas berkarir dan melanjutkan pendidikan yang tinggi, namun status sosialnya tetap ditentukan oleh suami.

4.Pola equal partner

Pola ini mendudukkan suami dan istri pada posisi yang setara, tidak ada yang lebih rendah maupun tinggi. Tidak ada yang berposisi atas maupun bawah. Dalam pola terakhir ini, baik suami maupun istri memiliki hak dan kewajiban di ranah publik dan domestik/ rumah tangga. Jadi tidak masalah jika suami lebih banyak mengerjakan urusan domestik dan istri bekerja di luar selama itu adalah kesepakatan bersama antara dua belah pihak.

Saya tentu pilih yang nomer empat, yaitu hubungan yang equal yang bisa dipertukarkan fungsinya antara suami dan istri dan dengan kesepakatan

Dalam sebuah pernikahan, sebutan suami dan istri sudah pasti langsung disandang oleh laki-laki dan perempuan atau orientasi gender lainnya. Maka hubungan suami-istri mestinya adalah hubungan yang setara, partner, saling mengasihi, dan membantu satu sama lain.

Maka, penting untuk dikomunikasikan dengan pasanganmu mengenai tanggung jawab masing-masing kedepannya. Jangan sampai kemudian, ketika sebelum menikah semuanya terlihat begitu indah, akan tetapi karena tidak adanya kesepakatan bersama mengenai hak dan kewajiban masing-masing, istri kemudian tertekan setelah menikah karena hak-haknya dibatasi.

Jadi, enyahkan jargon yang salah yang menyebut jika suami adalah atasan istri!

(Foto/ Ilustrasi: Pixabay)

Suci Wulandari

Pengajar di STAI Darul Kamal Lombok Timur
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!