Kasus Dugaan Kekerasan Seksual Di SINDIKASI: TIPF Paparkan Temuannya

Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) dugaan kasus kekerasan seksual yang terjadi di Serikat SINDIKASI memaparkan temuannya setelah bekerja selama 6 bulan. TIPF dibentuk setelah ada kasus cuitan di twitter pada Juli 2020 tentang kasus dugaan kekerasan seksual di SINDIKASI

Kasus ini terjadi ketika sekitar Juli 2020 lalu, pemilik akun Twitter @DianRatti buka suara tentang kekerasan seksual yang diduga dilakukan oleh Nadi Tirta Pradesha atau Esha, anggota Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI). Di situ, @DianRatti juga mengungkapkan rasa kecewa terhadap ketua Sindikasi, Ellena Ekarahendy dan organisasi tersebut yang dituduh telah menutupi kasus kekerasan seksual

Pada tanggal 30 Juli 2020, Sindikasi kemudian membentuk Tim Independen Pencari Fakta (TIPF) untuk mengungkap kasus dugaan kekerasan seksual SINDIKASI. TIPF tersebut terdiri dari Uli Pangaribuan dari LBH APIK (Asosiasi Perempuan Indonesia untuk keadilan), Asfinawati, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Nenden Sekar Arum dari SAFEnet, serta anggota individu, Azriana Manalu (Ketua Komnas Perempuan 2015-2019).

Setelah melakukan sejumlah upaya untuk menemukan fakta-fakta terkait dugaan kekerasan seksual (dalam hal ini pemerkosaan) selama 6 bulan, yaitu dari Juli 2020- Februari 2021, TIPF mempelajari fakta atas dua hal penting.

Pertama, terhadap ‘laporan’ yang disampaikan korban melalui akun email SINDIKASI tentang mosi tidak percaya pada tanggal 21 Oktober 2018 yang dikirimkan melalui email SINDIKASI, dan yang kedua laporan melalui akun twitter @dianratti sepanjang Juli -Agustus tahun 2020 yang sebagian besar berisi kekecewaan @DianRatti/ pelapor terhadap proses penanganan laporan yang disampaikan pada 21 Oktober 2018.

Kedua, TIPF juga menelusuri fakta-fakta terkait respons organsasi terhadap laporan tersebut, termasuk dugaan ketua organisasi melindungi terlapor. Hal ini disampaikan TIPF dalam konferensi pers melalui daring yang dilakukan pada 8 Februari 2021

Anggota TIPF, Azriana Manalu menyatakan bahwa proses pencarian fakta dilakukan dengan menjunjung tinggi hak korban, dengan menyadari hambatan-hambatan yang biasanya dihadapi oleh perempuan korban pemerkosaan untuk mengungkapkan peristiwa pemerkosaan yang dialaminya, namun dengan tetap menghargai asas praduga tidak bersalah.

Pencarian fakta juga dilakukan dengan mempelajari ‘laporan’ pelapor dengan mempelajari seluruh dokumen organisasi SINDIKASI yang diterbitkan berkaitan dengan penanganan laporan ini, maupun dokumen-dokumen lain yang relevan, mewawancarai Tim Pencari Fakta/ TPF internal yang pernah dibentuk SINDIKASI pada Oktober 2018, Pengurus dan Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO), beberapa anggota dan sejumlah narasumber lainnya. TIPF juga melakukan konfirmasi kepada terlapor.

Untuk mempertajam hasil temuan, TIPF juga meminta pandangan dan masukan sejumlah ahli yang juga pendamping perempuan korban kekerasan. Di antaranya praktisi hukum yang terlibat dalam TGPF Kerusuhan Mei 1998, psikolog klinis, peneliti/dokumentator kasus kekerasan seksual dalam situasi konflik bersenjata.

Dari pencarian fakta yang dilakukan, diperoleh sejumlah temuan sebagai berikut:

Kasus Dugaan Pemerkosaan

TIPF memaparkan bahwa selama 6 bulan bekerja, @DianRatti/ pelapor belum bersedia dikonfirmasi hingga proses pencarian fakta berakhir, meskipun semua upaya yang memungkinkan untuk itu sudah dilakukan TIPF, termasuk dalam hal ini menghubungi pelapor lewat direct message dan memberi waktu yang cukup bagi pelapor atau orang yang dipercayainya untuk memberikan konfirmasi/informasi lebih lanjut kepada TIPF.

Pelapor juga tidak menggunakan kanal pengaduan yang telah disediakan atau menghubungi TIPF melalui nomor kontak ataupun akun email yang telah diberikan.

Upaya TIPF menjangkau pelapor melalui narasumber (termasuk sosok yang dimaksud pelapor dalam thread-nya), juga tidak membuahkan hasil. Tidak ada satu narasumber-pun yang pernah pernah bertemu atau mengenal pelapor.

Meski ada narasumber yang menceritakan korban dari kasus kekerasan seksual yang berbeda yang diduga dilakukan terlapor, tapi narasumber tersebut tidak dapat memastikan korban yang dimaksud adalah pelapor, dan juga tidak bersedia dikonfirmasi lebih lanjut dengan alasan belum mendapatkan persetujuan korban.

TIPF juga menemukan, ada dugaan keterlibatan salah satu dari personil yang memiliki akses terhadap password email SINDIKASI dalam upaya pelapor mengirimkan laporan pemerkosaan melalui akun email SINDIKASI dengan subjek: Mosi Tidak Percaya pada 21 Oktober 2018, namun disayangkan indikasi keterlibatan itu tidak diusut lebih lanjut, sehingga sosok korban tidak dapat diketahui hingga saat ini.

Bagian terpenting dari proses pencarian fakta ini yaitu melakukan konfirmasi kepada korban selaku pemilik kebenaran atas peristiwa pemerkosaan yang dialami, tidak dapat dilakukan.Sementara konfirmasi dibutuhkan untuk mendapatkan keterangan yang lebih utuhtentang pemerkosaan yang dialami (menemukan fakta-fakta) agar dapat digunakan untuk menyimpulkan tentang telah terjadinya peristiwa pemerkosaan dan menetapkan terduga pelaku, serta mengidentifikasi kebutuhan pemulihan korban.

Tanggapan TIPF terkait respon SINDIKASI atas penanganan kasus

Berdasarkan keterangan ketua nonaktif (Ellena), tidak ada pengaduan resmi yang masuk kepada pengurus harian SINDIKASI. Oleh karena TIPF tidak dapat melakukan komunikasi lanjutan dengan korban maupun akun @dianratti, maka informasi dalam cuitan @dianratti memiliki bobot yang sama dengan keterangan Ellena yaitu tidak dapat diketahui kebenaran atau kesalahannya.

Meski demikian dalam ciutannya pada tanggal 31 Juli 2019 @DianRatti tidak melakukan bantahan terhadap klarifikasi Ellena yang memuat pula tuduhan Dian Ratti sebelumnya yaitu Ellena tidak memproses pengaduan mengenai kekerasan seksual. Tetapi TIPF berpendapat hal ini berkaitan dengan posisi dugaan perkosaan yang telah disampaikan di bagian sebelumnya yaitu kurangnya konfirmasi.

Seketika setelah adanya surel dengan judul Mosi Tidak Percaya MPO SINDIKASI membentuk tim pencari fakta internal dan bekerja selama 4 bulan pada periode Oktober 2018-Januari 2019. Setelah Tim Pencari Fakta Internal mengeluarkan temuannya, MPO mengeluarkan surat keputusan tentang sanksi terhadap Ellena Ekarahendy dan Nadi Tirta Pradesha pada 15 Februari 2019 yang kemudian disampaikan kepada grup WhatsApp SINDIKASI. Selain respons tersebut, MPO juga telah menyelenggarakan pelatihan terkait gender

Sementara itu, terkait aturan organisasi, ditemukan bahwa aturan organisasi SINDIKASI belum memasukkan kekerasan seksual sebagai alasan pemberhentian. Meski demikian dalam prakteknya SINDIKASI telah menggunakan pertimbangan adanya dugaan kekerasan seksual sebagai alasan menghentikan sementara anggota.

Dari sejumlah temuan kunci tersebut, dapat disimpulkan, bahwa karena minimnya informasi tentang tindakan pemerkosaan yang disampaikan pelapor dan informasi yang minim itu juga tidak bisa dikonfirmasi baik kepada pelapor maupun sejumlah narasumber yang diwawancarai, maka belum cukup fakta untuk menyimpulkan ada tidaknya pemerkosaan.

Pencarian fakta dalam kasus ini berakhir dengan temuan adanya laporan tentang telah terjadinya pemerkosaan yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut karena pelapor (korban) belum bersedia dikonfirmasi.

Dengan demikian posisi pengungkapan kasus ini baru pada tataran adanya pelapor yang menyatakan mengalami pemerkosaan dan adanya terlapor yang dituduh melakukan tindakan pemerkosaan tersebut. Penyebutan status “pelapor” dan “terlapor” dalam kasus ini berlaku hingga kasus dibuka kembali ketika pelapor sudah siap untuk dikonfirmasi, baik secara langsung maupun melalui pendamping atau anggota keluarga.

Sikap pelapor yang menutup diri dan tidak adanya pihak lain yang bisa mewakili pelapor (baik keluarga maupun pendamping) memberikan keterangan lebih lanjut tentang pemerkosaan yang dialami, menjadi hambatan tersendiri dalam proses pencarian fakta ini.

Namun demikian disadari, sikap pelapor ini bisa disebabkan karena kekecewaan pada proses penanganan sebelumnya, belum terbangun kepercayaan kepada TIPF, atau hambatan internal dan eksternal lainnya yang menyebabkan pelapor memilih untuk belum bersedia membuka diri. Karenanya penting sekali untuk tetap membuka kasus ini kembali, ketika pelapor sudah siap untuk dikonfirmasi, baik secara langsung maupun melalui keluarga atau pendamping.

Tidak dilakukannya upaya untuk mengusut kemungkinan keterlibatan personel di tingkat internal SINDIKASI dalam penggunaan akun email SINDIKASI oleh pelapor pada tahun 2018, menyebabkan kasus ini menjadi rumit. Jika kasus diusut segera setelah temuan Tim Internal Pencari Fakta tentang ketiadaan peretasan maka hal ini dapat menjadi titik terang untuk pengungkapan kasus pemerkosaan yang dilaporkan pelapor.

Aturan, mekanisme organisasi Sindikasi tidak mengantisipasi secara khusus adanya kekerasan seksual tetapi respon organisasi telah melampaui aturan dan mekanisme formal tersebut berupa pembentukan tim pencari fakta, penonaktifan terlapor, pelatihan dll.

Ketiadaan mekanisme organisasi tersebut membuat respon organ organisasi terlambat maupun tidak tepat seperti klarifikasi Ellena sebagai Pengurus Harian yang tidak diberikan sesaat setelah adanya tuduhan kepada Pengurus Harian ataupun keputusan MPO yang menyimpulkan “tidak terbukti,” padahal yang lebih tepat adalah tidak dapat diklarifikasi.

Apa Yang Harus Dilakukan?

Berdasarkan temuan dan kesimpulan di atas, TIPF merekomendasikan SINDIKASI untuk tetap membuka kembali kasus ini jika suatu saat pelapor bersedia membuka diri dan siapuntuk dikonfirmasi. Untuk ini SINDIKASI perlu membuka ruang sebesar-besarnya bagi pelapor melalui penyediaan kanal-kanal pengaduan yang disiapkan organisasi dan menyampaikannya kepada publik

Lalu menempatkan laporan pelapor sebagai ‘alarm’ pentingnya menyediakan perangkat dan mekanisme pencegahan serta penanganan kekerasan seksual di SINDIKASI, untuk memastikan tidak terulangnya peristiwa kekerasan seksual dan tersedianya ruang yang aman dan nyamanbagi korban untuk melaporkan kekerasan seksual yang dialaminya

Mencabut sanksi non aktif yang pernah diberikan kepada Ellena terkait kasus laporan Dian Ratti, diluar adanya persoalan lain yang ditemukan MPO, mencabut status non aktif yang dikenakan terhadap terlapor (Nadi Tirta Pradesha) sampai dibukanya kembali kasus ini atau adanya pelaporan oleh korban yang lain. Atau, menerapkan mekanisme lain (jika dimiliki), bagi Anggota SINDIKASI yang dilaporkan melakukan tindak kekerasan seksual dan tindakan kekerasan seksual tersebut belum bisa dikonfirmasi.

Lalu mendokumentasikan seluruh proses penanganan kasus ini, baik yang dilakukan pada tahun 2018-2019 ataupun pada tahun 2020 hingga saat ini, agar dapat digunakan sebagai rujukan jika suatu saat pelapor siap untuk dikonfirmasi, dan kasus ini harus dibuka kembali, melengkapi perangkat organisasi dengan Kode Etik yang mengatur etika perilaku Anggota, dan mengintegrasikan nilai anti kekerasan pada AD dan ART, guna mencegah berulangnya tindak kekerasan terutama kekerasan seksual oleh Anggota SINDIKASI. Dan melanjutkan upaya-upaya pembenahan organisasi yang telah dilakukan pasca pelaporan dugaan pemerkosaan ini, termasuk melengkapi mekanisme dan perangkat organisasi terkait pencegahan dan penanganan kekerasan seksual serta mengintegrasikan jaminan perlindungan atas kerahasiaan dan perlindungan dari tindakan balas dendam pelaku kepada Anggota yang melaporkan kasus kasus kekerasan seksual, dalam SOP Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di SINDIKASI yang saat sedang dirancang.

Respon SINDIKASI

SINDIKASI dalam pernyataan sikapnya pada 10 Februari 2021 mengapresiasi apa yang telah dikerjakan TIPF selama 6 bulan ini dan menyatakan akan melakukan yang sudah direkomendasikan TIPF, antaralain tetap membuka kasus tersebut, membuka kanal pengaduan untuk korban dan akan mendampingi korban nantinya sampai mendapatkan keadilan

Selain itu SINDIKASI telah memperbaiki Standar Operasional (SOP) stop kekerasan seksual yang telah dibuat di tahun 2019 dan disempurnakan di tahun 2020, serta membuat perangkat stop kekerasan seksual dalam aturan AD/ART dan serta dalam kode etik organisasi

Tika Adriana

Jurnalis yang sedang memperjuangkan ruang aman dan nyaman bagi semua gender, khususnya di media. Tertarik untuk mempelajari isu kesehatan mental. Saat ini managing editor Konde.co.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!