Anak-Anak Mengalami Penyiksaan di Penjara: Temuan KPAI

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) masih menemukan penyiksaan terhadap anak di lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan

Komisioner KPAI Putu Elvina mengatakan terdapat sejumlah persoalan anak di lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan.

Persoalan-persoalan itu mulai dari penyiksaan terhadap anak hingga mencampurkan anak dan orang dewasa pada tahanan yang sama. Kendati demikian, Elvina tidak merinci jumlah kasus yang ditemukan lembaganya terkait anak di lapas dan tahanan. Ia meminta pemerintah atau Dirjen Pemasyarakatan untuk mencari solusi atas persoalan anak tersebut.

“Kita juga masih melihat bayi atau anak-anak yang masih ditahan dengan ibunya yang digabung dengan tahanan perempuan lain. Ini soal masalah tumbuh kembang juga menjadi isu, tidak hanya secara fisik tapi juga mental harus diperhatikan,” jelas Putu Elvina dalam konferensi pers online, Senin (15/2/2021).

Sepanjang 2020, KPAI menerima sebanyak 6.519 pengaduan pelanggaran hak anak,dan 1098 kasus di antaranya terkait hukum. Namun, pendampingan hukum bagi anak hingga September 2020 baru mencapai 15,5 persen, sementara penuntasan rehabilitasi korban baru mencapai 48,3 persen.

Menurut Ervina, KPAI bersama empat lembaga negara lainnya terus mendorong pencegahan penyiksaan melalui Kerjasama untuk Pencegahan Penyiksaan (KuPP) dengan sejumlah kementerian dan lembaga. Dua kerjasama yang sudah disepakati yaitu dengan Dirjen Pemasyarakatan dan Dirjen Imigrasi. Ia mengapresiasi lembaga yang mau terbuka dan berdialog dalam mencari solusi bersama.

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan KuPP terfokus pada pembenahan sistem dalam menghilangkan penyiksaan di tahanan, bukan melihat secara kasus per kasus. Caranya semisal dengan mendorong kerjasama dengan kepolisian untuk membuat standar operasi prosedur penanganan tahanan dan perubahan perilaku aparat dalam menangani aksi.

“Benar memang yang terbanyak diadukan ke Komnas HAM adalah Polri mengenai praktik kekerasan di dalam proses hukum. Dalam konteks KUPP yang kami cermati bukan kasusnya, tapi bagaimana membenahi sistemnya,” jelas Ahmad Taufan.

Taufan menyebut lima lembaga negara juga mendorong pemerintah untuk meratifikasi Protokol Pilihan Konvensi Anti Penyiksaan (Optional Protocol CAT) untuk menghilangkan praktik penyiksaan. Lima lembaga tersebut yaitu Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI dan LPSK.

Direktur TI dan Kerja Sama Ditjen Pemasyarakatan Dodot Adikoeswanto mengatakan sudah ada Lembaga Pembinaan Khusus Anak di 34 provinsi sebagai upaya untuk membuat tempat pembinaan ramah anak. Namun, kata Dodot, untuk Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) masih belum tersedia merata di berbagai wilayah. Menurutnya, Ditjen Pemasyarakatan berkomitmen untuk mewujudkan keberadaan lebih banyak LPAS tersebut pada masa mendatang.

“Selanjutnya terkait dengan bayi di dalam Lapas ketika ibunya dipidana. Sesuai dengan regulasi sudah diatur sampai usia dua tahun nanti akan diserahkan ke bapaknya atau keluar dari Lapas,” jelas Dodot.

Dodot menambahkan lembaganya juga terus berupaya menjalankan rekomendasi-rekomendasi yang diberikan lembaga negara dalam menghilangkan praktik penyiksaan. Termasuk membuat regulasi yang dapat menjadi dasar bekerja bagi Ditjen PAS.

KontraS Berharap Kerjasama dengan Polri Dipercepat

Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar berharap lima negara tersebut mempercepat kerjasama dengan lembaga lain terutama kepolisian. Ia beralasan kasus praktik kekerasan sebagian besar terjadi di kepolisian.

Ia juga mengkritik pernyataan Ketua Komnas HAM Taufan Damanik yang hanya fokus pada pembenahan sistem dengan tidak melihat kasus-kasus penyiksaan yang terjadi di Lapas dan tahanan. Menurutnya, kasus-kasus penyiksaan tersebut justru dapat menjadi dasar kebijakan dalam perbaikan sistem di instansi pemerintah.

“Sebagai langkah yang baik untuk memulai pencegahan penyiksaan (NPM) ini. Bisa juga dilakukan perjanjian kerjasama dengan Polda, Polres atau Polri untuk menaungi kinerja dari NPM. Supaya bisa mendeteksi praktik penyiksaan di ruang tahanan kepolisian,” jelas Rivanlee Anandar kepada VOA, Senin (15/2/2021).

KontraS mencatat setidaknya ada sembilan kasus tahanan polisi yang tewas karena penyiksaan dalam tiga bulan terakhir. Penyebabnya beragam mulai dari penyiksaan, kekerasan sesama tahanan, masalah kesehatan hingga bunuh diri. [sm/ab]

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: Voice of America)

Sasmito Madrim

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!