Komunitas Gay di Indonesia Gunakan Media Sosial untuk Lawan Stigma

Indonesia tidak memiliki hukum nasional yang melarang homoseksualitas kecuali Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini mengatur bahwa perkawinan yang sah hanya perkawinan antara pasangan heteroseksual. Namun, diskriminasi yang lebih luas terjadi pada komunitas LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, and Queer)

Dalam lima tahun terakhir, diskriminasi terhadap kelompok gender dan seksual minoritas di Indonesia meningkat. Arus Pelangi, lembaga swadaya masyarakat yang fokus pada advokasi hak LGBTQ, mencatat berbagai tindakan diskrimnasi, mulai dari bullying hingga pembunuhan.

A screen capture of a news from Indonesian portal Detik.com. The title reads 'Sadistic! This Grobogan guy stab his gay couple to death'.
Tangkapan layar sebuah berita yang terbit di portal Detik.com.

Media di Indonesia punya peranan penting dalam menciptakan stigma terhadap komunitas LGBTQ. Prasangka anti-gay media terlihat dari judul berita, sudut pandang pemberitaan, pemilihan kata dan pemilihan narasumber mereka.

Marginalisasi dan stigma tersebut menyebabkan komunitas gay di Indonesia menghindari untuk tampil di ruang publik dan media.

Mengalahkan Stigma

Kajian terbaru saya menemukan bahwa komunitas gay di Indonesia menggunakan media sosial untuk mengubah stigma.

Saya melakukan studi ini dari Juli 2020 hingga Januari 2021, mengumpulkan data (unggahan, penjelasan unggahan (caption), video, dll) dari berbagai media sosial seperti TikTok, Instagram dan Twitter. Saya juga mewawancarai 10 orang gay.

Saya menemukan bahwa komunitas gay telah mengembangkan strategi di media sosial untuk melawan stigma. Strategi tersebut terbagi dalam empat kategori:

  1. literasi tentang gay
  2. gerakan sosial
  3. pengungkapan orientasi
  4. berbagi keintiman.

Literasi gay

American Psychiatric Association (APA) di Amerika Serikat (AS) menghapus homoseksualitas dari daftar kelainan mental dalam “Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder” pada 1973; Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengikuti langkah tersebut pada 1992.

Hingga kini, masyarakat Indonesia terus melabel homoseksualitas sebagai perilaku seksual menyimpang. Melalui media sosial, komunitas gay mencoba melawan pelabelan itu dengan menghindari ekspresi seksualitas yang ekstrem.

Lewat media sosial, komunitas gay mencela tindakan yang memperburuk stigma terhadap mereka.

Seorang informan dengan serius menyampaikan pesan di akun Twitternya bahwa ia tidak akan mengikuti akun anonim (juga dikenal sebagai akun “alter”) yang memiliki konten pornografi.

Informan lain mengatakan: “Menyedihkan bahwa ada individu gay yang tidak bertanggung jawab. Mereka menciptakan dampak yang merugikan bagi seluruh komunitas gay. Tindakan mereka yang ceroboh kian mengkonfirmasi stigma. Seharusnya mereka justru menggunakan media sosial untuk mengubah stigma.”

Gerakan sosial

Orang Indonesia masih mencap HIV/AIDS sebagai penyakit kelompok gay dan menganggap praktik homoseksual sebagai penyebab utama penularan HIV.

Namun dengan menggunakan media sosial, komunitas gay telah mengkampanyekan kesehatan seksual dengan tujuan meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS.

Salah satu pengguna Instagram, @acepgates, menggunakan akunnya untuk mengirim pesan pemberdayaan bagi orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Dia mendorong mereka untuk melakukan tes HIV secara berkala.

Melalui media sosial, @acepgates menampilkan dirinya sebagai orang dengan HIV/AIDS yang sehat, sukses, bahagia dan menjalani hidup sepenuhnya.

Temuan saya memperlihatkan komunitas gay peduli dengan kesehatan seksual seperti halnya komunitas heteroseksual. Dengan mempromosikan kesehatan seksual, komunitas gay meningkatkan kesejahteraan sosial secara umum.

Pengungkapan orientasi

Ada mitos yang beredar bahwa homoseksualitas adalah sebuah penyakit.

Di Indonesia, ketika seseorang mengungkapkan bahwa dirinya adalah seorang gay, tidak jarang orang-orang bereaksi dengan mengatakan “kamu bisa sembuh”.

Komunitas gay Indonesia menggunakan media sosial dalam mengungkap orientasi mereka. Salah satu cara yang paling sederhana adalah dengan mengunggah icon bendera pelangi di profil mereka.

Mereka juga menggunakan media sosial untuk mendidik masyarakat. Seorang informan mengungkapkan orientasinya dengan mengunggah video di TikTok, mengatakan: “LGBT bukanlah penyakit. Ingat itu!”

Unggahan itu mengundang diskusi positif di akunnya. Seorang memberikan respons dengan bercanda: “Kalau kamu mau izin tidak masuk sekolah, ibu kamu bisa menulis surat dengan alasan: anak saya sakit gay.”

Cara tersebut mengelola dan menghapus stigma melalui langkah yang tidak agresif namun jenaka.

Pada akhirnya, cara tersebut mengarah pengguna media sosial dari berbagai orientasi seksual untuk berdiskusi dengan baik. Hal tersebut mendorong publik untuk mengetahui lebih banyak tentang komunitas gay, dan bukan mencerca mereka.

Berbagi keintiman

Karena publik dan media mencap keintiman gay sebagai penyimpangan, komunitas gay menggunakan media sosial untuk menolak tuduhan bahwa komunitas gay menyukai pergaulan bebas.

Seorang informan mengatakan: “Masyarakat tidak tahu, kesetiaan penting dalam hubungan gay. Keintiman itu sakral dan indah. Kami juga berkomitmen pada hubungan monogami.”

Lewat serangkaian unggahan di Instagram, @acepgates mendorong sebuah diskusi yang sehat tentang apakah pacaran adalah melulu soal seks.

Media sosial sebagai ruang yang lain

Dalam masyarakat yang meminggirkan LGBTQ melalui stigma, komunitas gay mengalami diskriminasi di bidang sosial, agama, ekonomi, politik dan hukum.

Media sosial telah menjadi ruang bagi komunitas gay untuk berbagi cerita, pengalaman, emosi, dan sikap dalam konteks kehidupan sehari-hari.

Mereka menumbangkan stigma dengan mengembangkan strategi kreatif dan positif di media sosial.

Hasil kajian ini menunjukkan adanya penguatan bagi kesadaran publik tentang komunitas gay. Lewat empat strategi tersebut, media sosial memberikan ruang otonom bagi komunitas gay untuk mendekonstruksi stigma.

Media sosial telah menjadi salah satu alat yang memberdayakan kelompok LGBTQ dalam membuat klaim terhadap ruang otonom. Mereka memberi komunitas gay akses ke ranah publik.

Hasil penelitian ini menjadi bagian dari perjalanan kita menuju masyarakat bebas stigma pada masa depan, yang mudah-mudahan tidak lama lagi.

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Endah Triastuti

Lecturer, Researcher, Universitas Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!