32 Persen Anak Perempuan Alami Kekerasan di Media Sosial

Hasil survei Plan International di akhir tahun 2020 menemukan 32 persen anak perempuan di Indonesia mengalami kekerasan di media sosial.

Sebanyak 32 persen anak perempuan di Indonesia ternyata pernah mengalami kekerasan di media sosial

Influencing Direktur Yayasan Plan International Indonesia Nazla Mariza mengatakan anak perempuan Indonesia rentan menjadi korban kekerasan berbasis gender online (KBGO) di media sosial.

Hasil survei Plan International pada tahun 2020 menemukan 32 persen anak perempuan pernah mengalami kekerasan di media sosial. Sedangkan yang pernah atau melihat anak perempuan mengalami kekerasan di media sosial sebanyak 56 persen. Survei ini melibatkan 500 anak perempuan di Indonesia dengan rentang usia 15-20 tahun.

“Di sini anak tidak hanya mengalami satu jenis KBGO. Dari 500 anak itu, 395 anak di antaranya mengalami kekerasan ganda,” jelas Nazla Mariza dalam diskusi online, Jumat (9/10/2020).

Nazla Mariza menambahkan jenis KBGO yang kerap dialami anak perempuan antara lain ancaman kekerasan seksual, bahasa yang menghina, dimata-matai dan penghinaan fisik. Sebagian besar anak mengalami pelecehan di media sosial pada usia 15-20 tahun, namun sebagian lainnya mengalami pada usia muda yakni sekitar 8-14 tahun. Sedangkan platform tempat terjadinya kekerasan terbanyak terjadi di Facebook, disusul Instagram dan WhatsApp.

“Cukup parah dampaknya tapi seringkali orang tidak memikirkan dan berempati kepada korban. Karena menganggap hanya terjadi dunia maya, padahal ini dapat berdampak dalam kehidupan nyata,” tambahnya.

Menurut Nazla, kekerasan di media sosial ini membuat korban menjadi rendah diri, stres dan merasa tidak aman. Bahkan beberapa di antaranya ada yang terpaksa pindah tempat kerja atau sekolah saat menjadi korban.

Adapun pelakunya mayoritas pelaku KBGO merupaka orang yang dikenal korban. Antara lain teman di media sosial, pacar atau mantan pacar, teman sekolah atau kerja dan akun anonim.

“Tapi hanya 10 persen yang melaporkan kekerasan ke media sosial. Selebihnya mendiamkan atau mengubah cara dia berekspresi.”

Nazla menjelaskan mayoritas korban KBGO di media sosial tersebut pengguna media sosial lainnya yang menyaksikan pelecehan online tersebut membantu mereka. Dan selebihnya berharap pemerintah, media sosial dan perusahaan penyedia platform turut berperan dalam melawan pelecehan seksual.

DPR Didesak Segera Sahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Sementara Co-founder Hollaback Jakarta Anindya Vivi menuturkan temuan Plan International ini menegaskan bahwa kekerasan tidak hanya terjadi di ruang publik, melainkan juga di media sosial. Vivi menuturkan lembaganya juga menemukan perempuan sebagian besar menjadi korban kekerasan di ranah publik saat menginjak usia 16 tahun.

“Survei kita juga menyebutkan bahwa 1 dari 2 responden kita mengalami kekerasan pertama kali sebelum menginjak usia 12 tahun. Jadi ini ada kecocokan di ruang publik dan online juga sangat rentan,” jelas Vivi.

Vivi mendorong pemerintah dan DPR segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual untuk mengakhiri kekerasan di ruang publik dan media sosial. Di samping itu, ia mendorong pemerintah bersama masyarakat juga melakukan pendidikan gender kepada masyarakat untuk pencegahan kekerasan.

Direktur Tata Kelola Informatika Dirjen Aptika Kementerian Komunikasi dan Informatika Mariam F Barata menjelaskan pemerintah bersama DPR juga sedang membahas RUU Perlindungan Data Pribadi. Menurutnya, kekerasan di media sosial kerap terjadi karena kurang terlindunginya data pribadi seseorang.

“Salah satu faktornya kekerasan terhadap perempuan dan anak 15-20 tahun itu banyak membagi data pribadi. Entah karena ingin tampil atau komunikasi itu banyak membagi data pribadi. Data inilah yang digunakan untuk kejahatan di media sosial,” jelas Mariam.

Mariam menuturkan RUU Data Pribadi ini juga akan mengatur peranan perusahaan media sosial dalam memerangi kekerasan terhadap perempuan dan anak di ranah online. Termasuk tanggung jawab menjaga kerahasiaan data pribadi pengguna medsos dari orang lain. [sm/em]

(Foto/ ilustrasi: Pixabay)

(Sumber: Voice of America/ VOA)

Sasmito Madrim

Jurnalis Voice of America (VOA)
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!