Bisnis Perbudakan Seksual; Komodifikasi Tubuh Yang Menghancurkan Perempuan

Lydia Cacho menulis buku yang sangat penting tentang bisnis perbudakan seksual yang merugikan perempuan pekerja seks. Secara jeli ia menuliskan bahwa para perempuan PSK tak pernah menyukai komodifikasi seksual atas tubuh mereka

Suatu hari saya terlibat sebagai pemain dalam sebuah pementasan teater. Pada saat itu, saya bersama dua kawan perempuan lain mendapat peran sebagai seorang Pekerja Seks Komersial (PSK). Sutradara kami kemudian juga menunjuk seorang perempuan untuk berperan sebagai germo.

Saya menduga, kami ditunjuk sebagai PSK karena kami bisa menari, meskipun cuma dasar-dasarnya saja. Kalau tak salah waktu itu memang ada adegan yang perlu teknik menari untuk PSK.

Saat itu entah kenapa saya membenci peran sekaligus pementasan tersebut, tapi terpaksa mengikuti prosesnya sampai akhir supaya tidak dianggap inkonsistensi dalam memilih peran.

Saya ingat betul bagaimana dalam pementasan tersebut, sutradara kami membangun karakteristik seorang PSK sebagai perempuan-perempuan yang gila seks “dari sananya”. Kebetulan ia seorang laki-laki usia 20 an, dan besar di lingkungan dengan nilai-nilai patriarkis.

Bertahun-tahun setelah pementasan tersebut, Penerbit buku Marjin Kiri kemudian menerbitkan buku “Bisnis Perbudakan Seksual” yang ditulis oleh Lydia Cacho. Buku ini saya baca dan kemudian memberikan kesadaran baru bagi saya bagaimana kehidupan para perempuan pekerja seks selama ini. Sejak membaca buku ini, saya menjadi memahami mengapa saya membenci pementasan teater dengan nilai-nilai patriarki yang tak berpihak pada PSK itu.

Lydia Cacho adalah seorang jurnalis, feminis, dan aktivis Hak Asasi Manusia/ HAM di Meksiko. Dalam buku “Bisnis Perbudakan Seksual”, Lydia menelusuri jalur perdagangan manusia secara global, berpergian dari Meksiko ke Turki, Thailand ke Israel, Jepang ke Spanyol untuk menguak kaitan tersembunyi jaringan perdagangan manusia itu dengan bisnis wisata hiburan malam, pornografi, penyelundupan narkoba-organ tubuh, pencucian uang, dan bahkan terorisme.

Lydia menceritakan bagaimana anak-anak, yang mayoritas perempuan, direkrut untuk diperjual belikan jasa seksualnya. Lydia kemudian mengkritik bagaimana industri seks dinormalisasi dengan pernyataan semacam “PSK itu sudah gila seks dari sananya” yang banyak dipercaya sama masyarakat luas.

Di Indonesia, kita pernah mendengar salah satu contoh normalisasi ini melalui lagu “Dolly”-nya Silampukau, yang menceritakan tentang gang pelacuran di Surabaya yang saat itu dibubarkan oleh Walikota Surabaya kala itu, Tri Rismaharini. Mungkin melalui lagu tersebut, Silampukau hanya ingin menceritakan realita bahwa prostitusi adalah “suaka bagi hati yang terluka”. Tapi jika saja mereka mengetahui bahwa lebih banyak siksa yang diderita para PSK, mungkin mereka tak akan membuat lagu itu.

Lydia Cacho menulis secara jeli bahwa para perempuan PSK sebenarnya tak menyukai komodifikasi seksual. Hanya saja, mereka telah “dicuci otak” atau dimanipulasi untuk mempercayai bahwa mereka memang menyukai apa yang mereka lakukan. Proses cuci otak ini biasanya dilakukan oleh para germo, yang akan mendapatkan keuntungan paling besar dari komodifikasi seksual ini. Germo adalah bos atau yang mempekerjakan PSK, uang dari laki-laki pelanggan kemudian akan masuk pada germo. Jadi hidup PSK akan tergantung pada germo

Normalisasi industri seks di tengah masyarakat ini memberikan banyak keuntungan bagi para germo. Para germo bisa saja melenggang tak tersentuh hukum dan tampil bak malaikat tanpa sayap dengan membangun rumah-rumah ibadah dari uang keuntungan mengelola bisnis ini. Para germo, sedihnya, juga bisa berwujud sebagai orang yang paling dipercayai perempuan dan anak korban industri seks: paman, suami, atau pacar si perempuan.

Kebanyakan perempuan yang diceritakan Lydia berasal dari daerah miskin di negara-negara dunia ketiga. Para perempuan ini kadang dijual oleh paman mereka, atau dijanjikan kehidupan yang lebih baik oleh pacar atau suami mereka, lalu dibawa ke tempat-tempat yang jauh dari rumah. Saat sudah jauh dari rumah, para germo (yang sebagian melakukan kebejatan berkedok cinta) itu pun mengatakan bahwa mereka hanya bisa bertahan hidup dengan menjadikan perempuan dan anak-anak ini budak seks. Korban (perempuan dan anak-anak) yang merasa tidak punya pilihan ini pun terpaksa mengikuti tuntutan tersebut.

Mereka dimanipulasi sedemikian rupa sampai meyakini bahwa memberikan pelayanan seks adalah satu-satunya cara untuk tetap bertahan hidup. Sulit sekali kabur dari kerja-kerja ini jika sudah masuk ke dalam industrinya. Beberapa yang berusaha kabur bahkan dikejar-kejar dan terancam dibunuh oleh sang germo.

Beberapa dari PSK ada yang mengalami perlakuan seksual di luar ambang batas ketika bekerja. Ada cerita sadis tentang bagaimana salah satu dari mereka dijadikan sup saat mencoba kabur dari rumah bordil tersebut. Anak-anak perempuan yang tersisa pun dipaksa memakan sup (iya, sup daging perempuan) itu untuk memberikan efek jera. Benar-benar sebuah penyiksaan, melanggar HAM, sangat tak manusiawi!

Sebagian dari mereka mencoba kabur dengan berbagai macam cara. Kalau tidak diselamatkan organisasi atau lembaga-lembaga swadaya, mereka akan terus menjadi korban untuk kedua kalinya karena kebejatan para polisi di perbatasan. Penyintas yang selamat pun mesti melalui proses pemulihan yang panjang.

Lydia menuliskan bagaimana kengerian itu juga menimpa anak-anak kecil, kebanyakan perempuan, berusia 14 tahun dan seterusnya. Bahkan anak perempuan yang kurang dari 14 tahun pun ada dalam daftar korban, usia yang semestinya mereka masih belajar di sekolah.

Sebelum membaca Lydia Cacho, saya juga cukup permisif terhadap prostitusi atau industri seks. Bagi saya yang mungkin termakan oleh propaganda neoliberal, para perempuan dan laki-laki secara bebas memilih menjadi pekerja seks. Saya pikir menawarkan jasa seks sama seperti menawarkan jasa lain, seperti mengetik cepat. Hanya saja sebelum membaca buku Lydia, saya pikir pemerintah perlu memastikan keselamatan dari para pekerja seks, dan membangun sistem jaminan sosial yang baik bagi mereka.

Namun, ini bukan solusi yang ditawarkan oleh Lydia. Lydia tidak dengan terang-terangan mengatakannya di dalam buku, tapi saya pikir Lydia bersepakat dengan orang-orang yang ingin menghilangkan sama sekali industri seks (yang dia sebut sebagai kaum abolisionis) dengan begitu sering mengutip mereka.

Yang membuat buku ini makin menarik, Lydia tidak sekedar menyampaikan ide untuk mengabolis industri ini, tetapi bahkan menyediakan langkah-langkahnya bagi pengambil kebijakan, pengusaha, dan individu yang bersepakat dan ingin mengabolis industri ini.

Langkah-langkah yang ditawarkan Lydia ini lumayan memengaruhi saya, dan setelah melihat lebih banyak kegelapan dari industri yang mengorbankan pekerja seks ini, saya pikir kamu-kamu semua perlu membaca dan mengambil langkah juga.

Langkah pertama-tama yang bisa diambil, yang jelas adalah menghargai upaya-upaya dan kerja para pekerja seks dan berhenti menormalisasi industri ini, tak peduli setua apapun usianya.

(Foto: Lydia Cacho/ acamstoday.org dan buku “Bisnis Perbudakan Seksual”/ Marginkiri.com)

Sanya Dinda

Sehari-hari bekerja sebagai pekerja media di salah satu media di Jakarta
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!