Sudahi Buku Usang Soal Stigma Perempuan

Sifat baik selalu dilekatkan pada laki-laki adalah salah satu stigma yang menghantui para perempuan sampai kini. Setop, sudahi dan tutup buku usang soal stigma perempuan!

Feminis, Inge Broverman memberikan catatan penting soal stigma yang dilekatkan pada perempuan. Stigma ini sangat luas cakupannya, seperti sifat baik selalu dilekatkan pada laki-laki sehingga laki-laki selalu bisa membentuk kelompok yang unggul, sedangkan perempuan dikenal hanya bisa membentuk kelompok yang hangat dan ekspresif

Disadari atau tidak, perempuan hingga kini masih belum lepas dari stigma seperti ini. Budaya patriarki hingga misoginisme masih kental di tengah masyarakat, menjadikan stigmatisasi buruk terus langgeng bagi perempuan. 

Konstruksi sosial yang didominasi laki-laki berpengaruh terhadap pola pikir yang menjadikan perempuan seolah dipandang lebih rendah di tengah masyarakat. Sementara, kondisi lain, ada kebencian terhadap perempuan yang berdampak pada pelabelan hingga peminggiran posisi perempuan. Ibarat jauh panggang daripada api, kesetaraan dan pemberdayaan perempuan pun masih sulit dicapai. 

Selagi masalah stigma belum dientaskan, persoalan gender pun jauh dari kata selesai. Serentetan isu perempuan juga akan sulit diselesaikan, jika pemikiran masyarakat masih diselubungi dengan beragam stigma miring. Semisal stigma yang paling klise adalah perempuan sebagai “kelas nomor dua” atau lebih rendah dibandingkan laki-laki.

Pemikiran seperti ini, tak bisa dipungkiri masih marak ditemukan di masyarakat kita. Imbasnya, stigma ini akan bisa berdampak pada ketimpangan gender akan semakin ‘mendarah daging’. Sehingga, perempuan lagilah yang bakal jadi korbannya: semakin sulit  mendapat hak-hak yang semestinya didapat.

Terkadang, stigma juga sejalan dengan lahirnya mitos-mitos soal perempuan. Sebagai contoh, adanya mitos yang mengatakan bahwa perempuan dengan pendidikan tinggi akan sulit mendapat jodoh. Mitos ini seakan menggiring, bahwa perempuan dianjurkan untuk cepat menikah ketimbang fokus sekolah dan berkarir. 

Secara tidak langsung, mitos tersebut memaksa perempuan untuk mengubur mimpinya. Padahal, kebebasan berkarir dan mengenyam pendidikan merupakan hak setiap orang, termasuk perempuan untuk berdaya.

Ditambah lagi, perempuan selalu diidentikkan dengan pekerjaan domestik. Sering kita mendengar wacana usang soal tugas perempuan hanya berkutat pada dapur, kasur, dan sumur. Dalam hal itu, perempuan dianggap tidak kompeten untuk berkarir dan menempati ruang-ruang publik. Stigma inilah yang kemudian membuat perempuan semakin terperosok dalam jurang ketimpangan.

Mendobrak Stigma

Kondisi saat ini, perempuan adakalanya masih ditempatkan pada strata kedua. Selain itu, perannya pun acapkali hanya dianggap sebatas pelengkap. Jika begitu, penghapusan stigma pun semakin sulit tercapai dengan tatanan masyarakat. Terlebih, masyarakat masih banyak juga yang melanggengkan nilai-nilai konservatif yang jelas diskriminatif terhadap perempuan.  

Di sisi lain, kesalahpahaman masyarakat terhadap para pejuang kesetaraan juga masih jadi tantangan. Ada banyak respons negatif yang disematkan pada para perempuan yang berupaya membebaskan diri dari stigma. Anggapan keliru lainnya, bahwa kesetaraan gender berarti perempuan tidak membutuhkan laki-laki atau perempuan ingin menyaingi laki-laki atau perempuan menolak peran laki-laki. Padahal, kesetaraan justru bertujuan untuk menuntaskan ketidakadilan dari stigma tersebut.

Penghapusan stigma tidak bisa dibebankan pada perempuan saja. Semua pihak mesti berjibaku dalam menyelesaikan masalah ini, utamanya pemerintah. Sebagai pemangku kebijakan, sudah semestinya pemerintah berada di garda depan dalam mengawal isu perempuan. Pemerintah harus berperan sebagai advokat utama, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.

Dalam menuntaskan persoalan stigma, diperlukan dukungan yang menyeluruh melalui kebijakan dan program inklusif. Hal dasar yang bisa dilakukan, yaitu dengan membuat payung hukum yang ramah perempuan. Tak bisa ditampik, sejumlah kebijakan pemerintah tidak perspektif gender. Bahkan, cenderung memojokkan perempuan. Hal senada juga dikatakan oleh Indriyati Suparno, salah satu pendiri yayasan SPEKHAM.  

Dilansir dari laman DW.com, Indriyati mengatakan bahwa hukum di Indonesia jarang berpihak pada perempuan. Hukum yang tidak setara akan merawat langgengnya stigma di masyarakat. Ketimpangan hukum yang dipertontonkan membuat anggapan miring pada perempuan kian subur. 

Lambat laun, stigma tersebut akan merampas hak-hak perempuan di ranah publik, seperti akses, partisipasi, kontrol, dan keterlibatan. Oleh karena itu, pemerintah harus lebih memperhatikan produk hukumnya agar tidak terjadi ketimpangan. Lebih jauh lagi, hal tersebut diharapkan mampu mengikis stigma yang menjerat perempuan.

Sekali lagi, penyelesaian masalah ini menjadi tanggung jawab semua elemen, baik dari pemerintah, masyarakat, semua pihak. Yang terpenting, semua itu dimulai dari diri sendiri.

Seabrek stigma miring pada perempuan harus dirampungkan. Sudah waktunya tutup buku usang soal stigma perempuan!

Laili Ayu Ramadhani

Mahasiswi Universitas Negeri Semarang yang juga aktif dalam Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa (BP2M) universitas. Ia menempuh kuliah dalam program studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!