Fransisca Fanggidae, Pahlawan Perempuan yang Dihilangkan Dalam Sejarah

Fransisca Fanggidae, adalah pahlawan perempuan Indonesia yang dihilangkan dalam sejarah. Ia menyembunyikan identitasnya dan menjadi eksil di Tiongkok dan Belanda selama 38 tahun

Fransisca Fanggidae, mungkin namanya hampir tidak pernah kamu temui di buku-buku sejarah sekolah. Bahkan, jarang sekali ditemui literatur yang membahas tentang dirinya.

Ia adalah seorang perempuan hebat asal Rote yang memiliki peran penting atas kemerdekaan Indonesia.

Lahir di Noelmina, Timor pada 16 Agustus 1925 dan dibesarkan di Surabaya oleh seorang ibu bermarga Mael dan seorang ayah yang merupakan amtenaar Belanda. Karena ayahnya yang merupakan seorang pejabat tinggi Hindia – Belanda pada masa itu, keluarga Fransisca Fanggidae acapkali disindir dengan sebutan “Belanda Hitam”.

Meskipun lahir di keluarga yang nyaman, Fransisca seringkali mempertanyakan ketimpangan sosial yang ia alami. Ia heran mengapa saudara sebangsanya harus berjalan berjongkok dan menunduk kala bertemu dengan keluarganya.

Tumbuh dewasa dengan mendapatkan pendidikan yang layak pada masa kolonialiasme dan sering berdiskusi dengan pemuda-pemudi Maluku pada masa jajahan Jepang di Surabaya, membuatnya memiliki pemikiran yang terbuka. Kesadarannya akan antikolonialisme terus terasah yang kemudian membuatnya berperan aktif pada masa pasca kemerdekaan.

Rekam jejaknya sebagai seorang yang terus berjuang akan kemerdekaan Indonesia sudah terlihat sejak Ia berusia belasan tahun. Di usia 19 tahun, Ia dikirim ke Yogyakarta untuk menghadiri kongres pemuda yang kemudian melahirkan Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia (BKPRI) dan Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo).

Menginjak usia 22 tahun pada Juli 1947, Fransisca ditugaskan untuk mewartakan kemerdekaan Indonesia di Festival Pemuda Sedunia Pertama yang diselenggarakan di Praha, Cekoslowakia. Kemudian Ia melanjutkan perjalanan ke Kolkata, India untuk menghadiri South East Asian Youth & Students Conference pada Februari 1948 dan berpidato tentang kemerdekaan Indonesia di hadapan para peserta konferensi tersebut. Dengan demikian, Fransisca Fanggidae menjadi juru pertama Indonesia di forum pemuda Internasional.

Fransisca juga berkiprah di Pesindo bersama muda-mudi lainnya dan membentuk Badan Keputrian Pesindo di Mojokerto. Setelah pindah ke Madiun, Ia bertugas siaran dalam bahasa Inggris dan Belanda di Radio Gelora Pemuda Indonesia di bawah BKPRI. Namun, siaran-siarannya dianggap ekstremis dan memberontak oleh pihak Belanda.

“Kalaupun kata ‘memberontak’ kita terima, tapi kita memberontak terhadap penjajahan, penindasan, dan ketidakadilan. Karena itulah kita melawan. Kita tidak bisa membiarkan serdadu-serdadu NICA keluar masuk desa dan membunuhi rakyat kita,” kata Fransisca.

Pada 1950, Pesindo berubah menjadi Pemuda Rakyat dan Fransisca dipilih menjadi pemimpinnya. Namun, ia mengundurkan diri karena merasa tidak muda lagi dan memilih untuk bekerja paruh waktu di kantor berita Antara dan aktif dalam berbagi organisasi lainnya. Dalam usianya yang ke-32 tahun pada 1957, Fransisca terpilih menjadi anggota DPR-GR mewakili unsur wartawan dan menjabat sebagai anggota Komisi Luar Negri DPR-GR.

Fransisca juga terpilih sebagai anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) pada tahun yang sama. Ia kemudian banyak melakukan lawatan ke luar negri hingga pada tahun 1964, ia menjadi penasehat sekaligus orang kepercayaan Presiden Soekarno dalam konferensi Asia-Afrika II di Aljazair.

Pada saat peristiwa pembantaian 1965 meletus di Indonesia, Fransisca tengah berada di Chile sebagai anggota delegasi Indonesia dalam Kongres Wartawan Internasional. Oleh sebab kedekatannya dengan presiden Soekarno dan Pemuda Rakyat serta stigma komunis yang melekat membuatnya tak bisa pulang ke Indonesia. Peristiwa kelam itu sontak menghapus nama Fransica Fanggidae dari buku sejarah pada masa Orde Baru. Ia terpaksa menyembunyikan identitasnya dan tinggal di Tiongkok selama 20 tahun, tidak sekali pun berkirim surat dengan keluarganya di Indonesia agar keluarganya tidak ikut diburu oleh aparat pada masa itu. Setelah 38 tahun menjadi eksil di Tiongkok dan Belanda, Fransisca kembali menginjakkan kaki di Indonesia pada tahun 2003.

Pemikiran Fransisca Fanggidae

Dalam sesi Etalase Pemikiran Perempuan yang diadakan oleh Sekolah Pemikiran Perempuan Juli 2021 lalu, Ita F. Nadia, seorang peneliti sejarah dan aktivis perempuan menyampaikan mengenai pemikiran Fransisca Fanggidae

Rasa kritis Fransisca telah tumbuh sejak ia muda. “Ketika dia (Fransisca Fanggidae) SMP di Mula, di Malang, dia menulis satu tulisan dalam bahasa Inggris yaitu Every Man has a Piece of Angel,” jelas Ita.

Tulisan itu ditulis dengan tulisan tangan dan saat ini disimpan di Belanda. Fransisca melalui tulisannya menjelaskan mengenai situasi sebagai seorang Indonesia dalam dunia kolonial Belanda.

Pada perkembangan selanjutnya, Fransisca juga berjasa untuk membangun solidaritas transnasional dengan mengikut berbagai konferensi internasional. Sebelum akhirnya tidak bisa kembali ke Indonesia akibat pecahnya tragedi 1965. Praktis Fransisca menjadi exile.

Namun, ketika menjadi exile pun, kepeduliannya pada Indonesia serta aktivisme tidak berhenti. Medio 1965 – 1985, Fransisca menjadi exile di Tiongkok, tepatnya di kota Nanchang. Selama menjadi exile, ia menulis mengenai Revolusi Kebudayaan, Mao dari Kacamataku dan Selamat Tinggal China.

20 tahun di Tiongkok, Fransisca akhirnya pindah ke Belanda. Ia tinggal di Belanda sejak 1985 sampai menghembuskan nafas terakhirnya.

Selama menjadi exile di Belanda, lagi-lagi ia tidak hanya berdiam diri. Fransisca menjadi anggota Komite Indonesia yang diketuai oleh Prof. Dr. Wertheim, menderikan Persaudaraan Indonesia, menjadi anggota Yayasan Seni Budaya Indonesia, menjadi penasihat organisasi perempuan Indonesia bernama Dian, dan menjadi penasihat Gabriella International Feminist Alliance.

Sayangnya catatan-catatan mengenai pemikiran Fransisca tidak mudah untuk kita temukan. Pun buku-buku yang sudah ia lahirkan, masih sangat sulit untuk kita baca hingga hari ini.

(Foto: Berdikari online)

(Sumber: https://plainmovement.id)

Nadya Syahrita Maghfirah

Penulis plainmovement.id
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!