Cap Hoaks Berita Perkosaan Anak Di Project Multatuli Ancam Kebebasan Pers

Cap hoaks tentang berita pemerkosaan anak di Luwu Timur dan peretasan atas media Projectmultatuli.org, telah mengancam kebebasan pers

Pemberitaan terkait pemerkosaan anak yang diterbitkan oleh Project Multatuli dicap hoaks oleh pihak kepolisian. Setelah sebelumnya, website yang menayangkan berita berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan” itu juga mengalami peretasan. Melabeli hoaks dan meretas produk jurnalistik ini jelas sebagai upaya penghalang-halangan kerja jurnalistik yang melanggar Undang-undang Pers. 

Kejadian bermula saat Rabu (7/10), website projectmultatuli.org mengalami peretasan. Sejak pukul 6 petang, dua jam setelah diterbitkan, banyak pembaca mengeluhkan tidak bisa mengakses berita berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor Polisi. Polisi Menghentikan Penyelidikan.” Semula, tim Project Multatuli mengira hal itu terjadi karena masalah kapasitas server yang tidak memadai. Namun, pada pagi tanggal 7 Oktober baru bisa dikonfirmasi terdapat serangan Ddos (Distributed Denial of Service).

Pada pukul 8 malam, akun @humasreslutim menuliskan komentar di Instagram yang berisikan “klarifikasi” tentang pemberitaan Project Multatuli. Namun, akun tersebut malah secara gamblang menyebut nama pelapor (yang sudah ditulis dengan nama samaran Lydia di artikel), sehingga tim Project Multatuli memilih untuk menghapus komentar tersebut dan mempersilahkan @himasreslutim berkomentar tanpa menyebutkan nama ibu para korban.

Sekitar 20 menit kemudian tim Project Multatuli mendapatkan laporan dari pembaca yang membagi berita di media sosial mereka mendapatkan DM dari @humasreslutim yang menyebabkan beberapa pembaca merasa tidak nyaman. Lalu pukul 21.00 WIB, akun @humasreslutim mengunggah konten di story yang menyatakan reportase Project Multatuli tersebut adalah hoaks. Tak berselang lama, sejumlah akun berkomentar di Instagram ramai ramai menyebutkan bahwa berita itu hoaks.  

“Stempel hoaks atau informasi bohong terhadap berita yang terkonfirmasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap jurnalisme profesional, yang telah menyusun informasi secara benar sesuai Kode Etik Jurnalistik,” tulis siaran resmi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Kamis (7/10).

Tindakan memberi cap hoaks secara serampangan terhadap berita merupakan pelecehan yang dapat dikategorikan sebagai kekerasan terhadap jurnalis. Pasal 18 Undang-undang Pers menjelaskan sanksi pidana bagi orang yang menghambat atau menghalangi jurnalis dalam melakukan kerja-kerja jurnalistik. Adapun ancaman pidananya yaitu penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp500 juta rupiah.  

Laporan yang dicap hoaks oleh Polres Luwu Timur bercerita tentang Lydia, bukan nama sebenarnya, yang telah melaporkan mantan suaminya untuk dugaan pemerkosaan pada ketiga anaknya yang masih di bawah usia 10 tahun. Lydia mengadu ke Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Luwu Timur, lalu melaporkan ke Polres Luwu Timur. Di kedua institusi ini Lydia mengatakan dia tidak mendapatkan keadilan. Ia bahkan dituding punya gangguan kesehatan mental.

Mantan suaminya yang merupakan aparatur sipil negara di kantor dinas pemerintahan Luwu Timur, Sulawesi Selatan biasa menjemput anak anak Lydia saat sepulang sekolah dengan memberi jajan atau makanan. Ketiga anak Lydia masih di bawah umur 10 tahun. 

Oktober 2019, anak anaknya mengeluh sakit dan menceritakan kepada ibunya perlakuan mantan suaminya kepada mereka. Sejak saat itu Lydia melaporkan kasus tersebut ke Polres Luwu Timur, namun pada 10 Desember 2019, polisi menghentikan proses penyidikan dan tidak melihat atau mengabaikan semua bukti foto yang disampaikan Lydia. Bahkan kemudian mencap laporan yang diterbitkan di website Projectmultatuli.org adalah hoaks. 

Ketua Bidang Advokasi AJI Indonesia, Erick Tanjung mengatakan pihaknya, mendesak Polres Luwu Timur mencabut cap hoaks terhadap berita yang terkonfirmasi tersebut, serta menyampaikan permintaan maaf secara terbuka. Pelabelan hoaks akan membuat pers menjadi takut dalam membuat berita atau dikhawatirkan memicu praktik swasensor. 

“Upaya yang dapat mengarah kepada pembungkaman pers ini pada akhirnya dapat merugikan publik karena tidak mendapatkan berita yang sesuai fakta,” kata salah satu perwakilan narahubung siaran pers itu. 

Pihaknya juga mengecam serangan Ddos terhadap website Project Multatuli Serangan ini adalah bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers.  Di sisi lain, dia mengimbau pula kepada jurnalis dan media agar mematuhi Kode Etik Jurnalistik serta mengacu pada pedoman liputan ramah anak yang diterbitkan Dewan Pers dalam memberitakan kasus pencabulan terhadap tiga anak oleh ayahnya di Luwu Timur. 

“Yakni, jurnalis tidak menuliskan identitas/nama hingga alamat lengkap anak korban pelecehan seksual termasuk nama ibunya sebagai pelapor. Menyebut inisial pun bisa membahayakan pelapor dan ketiga anaknya,” ujarnya. 

Editor Project Multatuli, Fahri Salam mengatakan hingga kini pihaknya tengah membenahi secara sistem atas website yang belum bisa diakses. Di satu sisi, timnya kini juga terus memantau situasi di Makasar, tempat kejadian pemberitaan itu. Bukan saja, jurnalis yang menulis pemberitaan itu namun juga para penyintas yaitu ibu dan anak-anaknya. 

‘Tetap koordinasi dengan LBH Makasar. Terus ada juga yang memantau siaran siber ini sejauh apa. Apa yang terjadi, update harian. Lalu. Koordinasi dengan jaringan tetap ya,” ujar Fahri dihubungi Konde, Jumat malam (8/10). 

Desakan Tim Kuasa Hukum Korban

Tim Kuasa Hukum Korban sejak awal menilai, penghentian penyelidikan yang dilakukan penyidik Polres Luwu Timur adalah prematur dan di dalamnya ditemui sejumlah pelanggaran prosedur. Di antaranya, proses pengambilan keterangan terhadap para anak korban, pelapor selaku  ibu dari para anak dilarang untuk mendampingi, juga untuk membaca berita acara pemeriksaan para anak korban yang Penyidik minta Pelapor untuk tandatangani. Selain itu, Petugas yang menerima laporan memiliki konflik kepentingan karena pertemanan dengan terlapor sebagai sesama Aparat Sipil Negara.

Hal lain yang menjadi perhatian adalah adanya upaya mendelegitimasi kesaksian Pelapor lewat tindakan pemeriksaan kejiwaan terhadap pelapor yang dilakukan penyidik. Pemeriksaan tersebut dilakukan tanpa dasar yang kuat serta tanpa persetujuan dan pemberitahuan kepada pelapor. 

“Kami menilai hal ini justru menunjukkan ketidakberpihakan Penyidik Polres Lutim pada korban,” ujar Direktur LBH Apik Sulsel, Rosmiati Sain sebagai narahubung dalam  siaran pers yang diterima Konde, Sabtu (9/10).

Terdapat laporan psikologis terhadap para anak korban oleh Psikolog P2TP2A Kota Makassar tertanggal 20 Desember 2019, yang telah diajukan Tim Kuasa Hukum pada gelar perkara di Polda Sulsel tanggal 6 Maret 2020. Dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa para anak korban mengalami kecemasan akibat kekerasan seksual yang dialami yang dilakukan oleh ayah kandung korban beserta dua temannya. 

“Adapun tidak ditemukannya tanda-tanda trauma pada para anak tidak berarti kekerasan seksual tersebut tidak terjadi,” imbuhnya. 

Koalisi bantuan hukum sebelumnya telah melakukan upaya dengan mengirim surat Keberatan atas Penghentian Penyelidikan & Permintaan Pengalihan Penanganan Perkara, tertanggal 06 Juli 2020 ke Mabes POLRI—yang tidak direspon hingga saat ini. Dalam surat tersebut, mereka meminta agar Mabes POLRI melakukan pemeriksaan atas penghentian penyelidikan, serta membuka kembali penyelidikan dan mengambil alih penanganan perkara untuk diproses ke tahap selanjutnya secara profesional dan akuntabel.

Maka dari itu, tim kuasa hukum korban mendesak kepada Kapolri memerintahkan untuk membuka kembali penyelidikan perkara serta mengalihkan Proses Penyelidikannya kepada Mabes Polri, dengan secara penuh melibatkan Tim Kuasa Hukum, Pelapor sebagai ibu para anak korban, serta pendamping sosial anak; menghadirkan saksi dan ahli, melengkapi berkas perkara dengan laporan sosial serta psikologis, dan petunjuk lain dalam penyelidikan; serta memastikan perlindungan korban dan akses terhadap pemulihan bagi para anak korban dan pelapor;

Meminta kepada semua Pihak termasuk Polisi untuk melindungi identitas korban dengan tidak menyebarkan dan mempublikasikannya. Secara khusus terkait beredarnya klarifikasi terkait perkara dari Humas Polres Lutim yang mencantumkan identitas orang tua anak korban. Larangan membuka identitas anak korban ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Identitas sebagaimana dimaksud meliputi nama Anak, nama Anak Korban, nama Anak Saksi, nama orang tua, alamat, wajah, dan hal lain yang dapat mengungkapkan jati diri Anak. Kami pun mendesak sanksi tegas bagi anggota polisi yang terbukti melakukan tindakan tersebut. 

Kapolri mengevaluasi kinerja kepolisian dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Kritik publik dan temuan pelanggaran oleh anggota Polri terhadap penanganan kasus ini menunjukkan urgensi Polri untuk segera dan sungguh-sungguh membenahi kinerja institusinya dalam penanganan kasus kekerasan seksual. Dimana sebagai bagian dari sistem penegakan hukum Polri bertanggung jawab untuk memastikan proses yang berkeadilan bagi korban kekerasan seksual.

Nurul Nur Azizah

Bertahun-tahun jadi jurnalis ekonomi-bisnis, kini sedang belajar mengikuti panggilan jiwanya terkait isu perempuan dan minoritas. Penyuka story telling dan dengerin suara hujan-kodok-jangkrik saat overthinking malam-malam.
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!