Monster Dari Dalam Rumah: Ketika Ruang Aman Sulit Didapatkan Perempuan

Apakah ada monster di dalam rumahmu? Monster itu adalah pelaku kekerasan yang ada dalam rumahmu. Temuan Komnas Perempuan, sosok ayah justru menduduki peringkat terbanyak nomor dua sebagai pelaku dalam kasus kekerasan bersifat pribadi.

Ilmu sosiologi mengajarkan kita bahwa keluarga merupakan patron, tahapan pertama bagi seorang anak untuk tumbuh menjadi makhluk sosial. Di dalam unit ini, sosok ayah bisa memberi afeksi pertama-tama bagi anak.

Ya, ayah merupakan separuh unit orang tua yang harus memberi rasa nyaman dan aman bagi anak serta menjadi cermin interaksi dengan laki-laki di lingkungan luar. Maka tak jarang seorang ayah dianggap orang yang sangat berpengaruh dan melekat di benak anak. Namun, sosok ayah juga kerap menjadi pelaku kekerasan seksual di dalam keluarga.

Mengutip temuan Komnas Perempuan, sosok ayah justru menduduki peringkat terbanyak nomor dua sebagai pelaku dalam kasus kekerasan bersifat pribadi. Mengejutkan? Sangat! Seorang ayah yang seharusnya menjadi orang tua yang baik, justru menyalahgunakan perannya dengan menekan dan memaksa seorang anak agar ‘menurut’.

Monster Dari Dalam Rumah

Efek psikis dari anak korban kekerasan seksual mengikuti mereka hingga ke luar rumah. Walau ingin melarikan diri dari ‘monster’ di rumah, untuk kembali ke sekolah dan bertemu dengan teman-teman rasanya mereka berat, seolah malu bertemu dengan manusia lain.

Ujungnya, korban juga lebih cenderung menutup diri dan menghindari keramaian. Banyak pikiran yang berkecamuk, jika sosok ayah saja menjadi monster dalam hidupnya, apakah dunia luar dan orang-orang asing di sana sanggup menjamin keselamatan dirinya? Si anak pun terjerumus ke krisis kepercayaan terhadap laki-laki dan dunia.

Asumsi mengenai rasa percaya yang ia punya terhadap orang lain yang kian memudar inilah yang harus kita introspeksi. Jangan sampai korban hanya disodori basa-basi bernada tuduhan:

“Kok bisa terjadi?”

“Kamu tidak melawan?”

“Kamu, (ah sudahlah…).”

Yang seharusnya kita tekankan dan benar-benar pahami adalah, korban tidak pernah salah dan tidak pernah meminta hal demikian terjadi. Jika tidak segera ditangani langsung oleh profesional, justru malah menambah rasa sakit.

Bisa Jadi Bom Waktu

Sembuh dari sesuatu yang lebih mengerikan daripada ‘maut’ butuh proses yang panjang. Gangguan stres pasca trauma (PTSD) menjadi salah satu efek lain yang bisa dirasakan korban.

Mengutip Halodoc, korban kekerasan seksual yang mengalami PTSD emosinya hilang layaknya orang yang datar. Pada waktu-waktu tertentu, tidak lagi merasa marah, apalagi senang. Namun, ketika memori buruk mulai hadir kembali dan memberikan tekanan yang dalam, mereka bisa merasa takut dan marah sampai meledak-ledak, hingga berusaha untuk menyakiti diri.

Anak korban kekerasan seksual juga rawan beralih ke tindakan-tindakan riskan ketika ia beranjak dewasa dan beresiko. Semua ini mengikutinya hingga trauma masa kecil disembuhkan dengan bantuan psikolog atau psikiater.

Pelaku dari orang luar saja berdampak cukup parah, bayangkan jika pelaku berasal dari dalam rumah, sebuah tempat yang seharusnya menjadi ruang paling aman dalam hidup seorang anak.

(Sumber: https://plainmovement.id)

Firza Aliya A.

Penulis Plain Movement
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!