Melihat Isu Queer Dalam Tayangan Boys Love Di Film-Film

Thailand merupakan negara yang cukup progresif untuk memperkenalkan isu-isu Boys Love dalam film dibanding negara lain di Asia

Tema queer atau tema yang membahas hubungan percintaan di luar paradigma dominan yang membatasinya hanya antarlelaki dan perempuan saja mulai marak masuk ke dalam budaya populer. Salah satunya adalah film.

Pengaruh globalisasi didorong oleh perkembangan teknologi yang memunculkan banyak media-media baru di berbagai negara seperti Taiwan, Jepang, Korea Selatan, Eropa dan Amerika Serikat menjadi penyebab tema ini bisa menyebar luas.

Di Asia Tenggara, negara yang banyak mengadopsi tema queer ke dalam film-filmnya adalah Thailand, yang dikenal sebagai surga bagi gay. Mereka menyebut genre tersebut dengan istilah Boys Love, yang disingkat BL.

Thailand merupakan negara yang cukup progresifuntuk memperkenalkan isu-isu BL dibanding Jepang, Cina, dan Korea Selatan.

Lalu, bagaimana dengan Indonesia sendiri?

Tren BL di kalangan muda Indonesia

Perluasan genre BL melahirkan berbagai festival sastra, rumah produksi, serial televisi, kanal YouTube, dan jumpa penggemar yang luar biasa mencengangkan. Tidak heran, industri tersebut menghadirkan interaksi yang romantis antara dua pria secara bersamaan baik di dalam layar maupun di luar tayangan layar kaca.

Dengan bantuan teknologi dan internet, genre ini dengan mudah menyebar ke negara lain, termasuk Indonesia. Film-film dan serial yang bergenre BL bisa dinikmati lewat saluran Youtube, WeTV, Viu, dan Netflix.

Salah satu ilustrasi yang menarik ditemukan adalah pada serial 2gether.

Serial itu merupakan kisah yang diangkat dari novel karangan JittiRain yang berjudul เพราะเรา…คู่กกัน (Because We Are Together).

Serial 2gether bercerita tentang cinta lama yang bersemi kembali antara Sarawat dan Tine yang saat masih sekolah menengah atas dipertemukan pada sebuah konser band. GMMTV – https://www.facebook.com/gmmtvofficial, Fair use, https://en.wikipedia.org/w/index.php?curid=63103516

Drama itu bercerita tentang cinta lama yang bersemi kembali antara Sarawat dan Tine yang saat masih sekolah menengah atas dipertemukan pada sebuah konser band.

Kemudian, mereka berjumpa kembali pada saat mereka menjadi mahasiswa yang berkuliah di universitas yang sama. Perjumpaan kali kedua itu, memberikan kesempatan pada Sarawat untuk memperjuangkan cintanya pada Tine.

Serial tersebut viral di media sosial sepanjang penayangannya pada tahun 2020. Tagar dengan topik #2gethertheseries selama masa penayangan dengan cepat naik ke grafik tren pada media sosial Twitter di Indonesia.

Belum lagi, saat salah satu aktor yang memerani Sarawat bernama Bright Vachirawit digaet menjadi duta salah aplikasi bimbingan belajar, yaitu Ruangguru, dan diperkenalkan sebagai aktor serial 2gether. Kedatangannya pun mengundang banyak penonton dari remaja-remaja dalam negeri.

Gaung BL dalam kontroversi

Indonesia sebagai bangsa dengan populasi Muslim terbesar di dunia, genre BL mungkin masih dianggap sebagai sesuatu yang maksiat dan tabu karena berbenturkan pada narasi moral dan agama.

Masyarakat Indonesia sudah ketakutan dan panik sendiri ketika mendengar kata LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender) atau melihat sesuatu yang “tidak wajar” dalam suatu tatanan relasi yang intim antarmanusia yang memiliki jenis kelamin yang sama.

Serial dan film bergenre BL ini sebenarnya bertujuan untuk memperluas representasi dan pengetahuan.

Banyak orang yang juga menganggap bahwa genre BL hanya mempertontonkan nuansa erotika yang senonoh dan tidak pantas untuk diperlihatkan.

Namun jika ditelusuri lagi, tidak semua konten BL menampilkan adegan seks secara eksplisit..

Adanya proses pertukaran dan percampuran budaya menjadikan BL Thailand berbeda dengan yang ditawarkan Jepang.

Di sisi lain, jika berbincang mengenai budaya queer dan sinema, Indonesia sudah memiliki sederet film-film dan serial yang mengambil topik yang sensitif ini.

Sebut saja Sanubari Jakarta (2012), CONQ (2014), Kucumbu Tubuh Indahku (2019) dan Dear to Me (2021) yang dibanding serial-serial Thailand itu perlu mendapatkan perhatian yang luas, khususnya remaja Indonesia.

Bahkan tidak jarang film-film itu memenangkan penghargaan.

Namun sayang, publik masuk kesulitan mengakses film-film tersebut akibat tindak penyensoran dari lembaga sensor di Indonesia.

Selain itu, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pernah mengeluarkan Surat Edaran yang melarang tayangan tentang hubungan sejenis, bahkan adegan berpelukan pernah dilarang untuk disiarkan.

Peluang memahami keberagaman gender dan seksualitas di Indonesia

Larangan lembaga sensor di Indonesia bisa mendorong narasi-narasi stereotip atau pemahaman yang keliru tentang isu LGBT.

Apalagi, Indonesia sampai sekarang masih membatasi pengetahuan dan pemahaman mengenai keberagaman gender dan seksualitas, serta kesehatan seksual.

Kaum muda yang dekat dengan penyebaran informasi yang luas dan akses yang tidak terbatas, seharusnya bisa menjadi peluang untuk membuka dialog tersebut.

Masyarakat tidak bisa dijejali terus-menerus oleh konsep yang hanya menormalkan hubungan lelaki dan perempuan saja dan film bisa menjadi salah satu media yang dapat membantu pemahaman kita melihat realitas relasi hubungan yang lain.

Hilangnya representasi yang dimunculkan di serial atau film dan sulitnya sineas dalam negeri berkarya bahkan menampilkan nuansa LGBT, membuat empati kita mengenai keberagaman gender dan seksualitas akan terus tergerus.

Nikodemus Niko, Kandidat Doktor Ilmu Sosiologi, Universitas Padjadjaran; Firdhan Aria Wijaya, Sessional lecturer, Universitas Kristen Satya Wacana, dan Theresia Pratiwi Elingsetyo Sanubari, Assistant lecturer, Universitas Kristen Satya Wacana

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Nikodemus Niko

Mahasiswa Doktor Sosiologi, Universitas Padjadjaran
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!