Cancel Culture atau Boikot, Seberapa Efektif Diterapkan pada Pelaku Kekerasan Seksual?

Di Korea dan China, kaum mudanya mengenal cancel culture. Kalau di Indonesia mengenal boikot pada mereka yang dinilai telah melanggar norma. Tapi sudah adilkah dalam penerapannya?  

Budaya cancel culture kini semakin sering diperbincangkan seiring dengan semakin banyaknya penggemar Kpop di tanah air.

Cancel Culture adalah sebuah praktik yang sedang berusaha mengumpulkan dukungan untuk meng-cancel seseorang jika ia telah melakukan atau menyatakan sesuatu yang ofensif maupun tidak menyenangkan.

Cancel culture dianggap sebagai cara paling efektif untuk mengatasi beberapa permasalahan yang secara hukum masih belum bisa diselesaikan dengan tepat dan cepat. Pelecehan dan kekerasan seksual sering dipecahkan dengan budaya ini.. 

Budaya cancel culture mulanya dikenal warga internet (netizen) ketika kasus pelecehan/kekerasan seksual dengan pelaku dari kalangan selebritis diketahui publik. Mereka yang terlibat kasus-kasus tersebut secara ramai-ramai dikucilkan atau bahkan ‘ditinggalkan’ oleh netizen.

Efek dari cancel culture bisa jadi sangat beragam, mulai dari kehilangan pekerjaan, pemutusan kontrak, hingga tak lagi bisa muncul di dunia hiburan. Semua ini karena publik tak terima jika tokoh tersebut masih muncul di depan publik dan menjadi idola. 

Cancel culture bisa memberi imbas pada seorang publik figure hanya dalam waktu singkat. Dalam beberapa kesempatan, selebritas yang dihukum dengan cancel culture bahkan bisa kehilangan pekerjaan hanya hitungan jam seperti yang dialami oleh Zhang Zehan aktor asal China. 

Melansir CNNIndonesia.com, pada 2018 Zhang Zehan kehilangan beberapa kontrak pekerjaan dan bintang iklan setelah fotonya di depan Kuil Yasukuni Jepang menjadi viral. Zhang Zehan dianggap melukai nilai nasionalisme negaranya sendiri karena berfoto di depan makam para tentara Jepang yang gugur pada perang dunia kedua. 

Tempat tersebut adalah lokasi yang tabu untuk dikunjungi pelancong asal China. Karena hal tersebut Zhang Zehan kehilangan banyak iklan dan kontrak hanya dalam waktu 4 jam setelah foto itu diunggah.

Meski mengakui ketidaktahuannya terhadap kaitan sejarah sentimen Jepang dan China, budaya cancel culture yang juga dipengaruhi oleh tangan pemerintah itu, tak bisa melepaskan Zhang Zehan dari pemutusan kontrak sepihak.

Dominasi pemerintah dalam beberapa aspek kehidupan termasuk entertaiment di negeri tirai bambu memang besar pengaruhnya. Tangan pemerintah bisa mempengaruhi hampir semua efek yang bisa jadi modal melancarkan cancel culture, pada selebritis tersebut.

Serupa tapi tak sama, jika di China pemerintah juga memegang andil cancel culture, di Korea Selatan cancel culture berlaku atas dasar moral publik. Publik Korea Selatan yang masih sangat menjunjung tinggi nilai dan etika sesuai dengan norma yang berlaku di sana, maka apapun yang melukai hal tersebut, bisa jadi landasan pemberlakuan cancel culture.

Dalam beberapa kesempatan cancel culture di Korea Selatan ini bisa sangat mematikan, terlebih ketika budaya yang masih dianut adalah budaya patriarki. Salah satu personil Girl Group Red Velvet, Irene bahkan sempat mengalami dampak dari cancel culture ini. Ketika netizen sempat memergoki Irene membaca buku “Kim Ji Young, Born 1982” yang dianggap sebagai buku feminis.

Irene seketika menerima penolakan di dunia maya, mulai dari pembakaran hingga perobekan foto Irene kerap diposting demi menunjukkan penolakan terhadap tindakan Irene. Ini disebabkan Publik Korea Selatan sangat sentimen terhadap pergerakan feminisme dan masih terkontaminasi budaya patriarki dan misoginis.

Pada kasus yang sama RM (Rap Monster) BTS tak mendapat respon seperti apa yang didapat Irene. Meski ikut membaca novel terkenal tersebut, RM sebaliknya, justru mendapat dukungan yang masif karena keberpihakannya terhadap perempuan.

Kasus terbaru cancel culture dialami oleh Kris Wu mantan personil EXO yang harus kehilangan sederet kontrak sebagai brand ambassador dari sederet merek ternama, setelah terbukti melakukan kekerasan seksual terhadap sejumlah perempuan. 

Kamu juga tentu masih ingat kasus yang menimpa Kim Seon Ho yang juga harus menghadapi putus kontrak, setelah mantan pacarnya membuka kekerasan dalam hubungan yang dilakukan pemeran film “Hometown Cha Cha Cha” ini. 

Dalam berbagai kasus ini, cancel culture efektif untuk membuat para selebritis untuk lebih hati-hati dalam bersikap. Selebritis memang menjadi profesi yang paling sering mendapat cancel culture, sebab keberadaannya diharapkan mampu memberikan contoh kepada para fansnya. Namun hal tersebut kadang menghilangkan statusnya sebagai manusia yang kompleks.

Di Indonesia belum efektif

Lalu bagaimana dengan cancel culture di Indonesia? Meski sudah mulai banyak dibicarakan, sebenarnya budaya cancel culture masih belum secara massive dikenal oleh publik Indonesia, apalagi diterapkan. Sebab dalam pelaksanaannya, cancel culture membutuhkan pengetahuan dan literasi tak hanya terhadap teknologi tapi juga terhadap nilai-nilai tertentu.

Mengutip VOA Indonesia, cancel culture di Indonesia masih sebatas fenomena urban yang akrab di kalangan muda dengan aksesibilitas digital tinggi alias melek teknologi. Sementera kondisi di Indonesia, terkait signal internet saja masih belum merata. Jangankan di luar Jawa, di Pulau Jawa sekalipun penyebaran digitalisasi masih jauh dari kata merata. Masih banyak daerah yang tidak memiliki akses internet yang memadai.

Guru Besar Ilmu Sosiologi Universitas Gadjah Mada Sunyoto Usman menyebutkan, karena hanya melibatkan sekelompok kecil masyarakat dengan akses dan literasi digital yang baik, maka cancel culture di Indonesia hanya merupakan fenomena urban.

”Fenomena urban, agak elitis. Ini kan persoalan divide digitalnya kan kita masih tinggi, Indonesia itu. Kota-kota besar di luar Jawa itu masih belum bisa difasilitasi dengan baik juga. Mungkin Jakarta atau kota-kota besar Jawa, sehingga kalau tren mungkin ya berkembang di kota-kota besar seperti itu,” paparnya saat diwawancara oleh VOA Indonesia. 

Dari pengamatan Sunyoto, istilah cancel culture baru ramai diperbincangkan oleh warganet Indonesia pada awal 2019. Dan perbincangan itu juga masih terpusat di pulau Jawa. 

Namun sesungguhnya, Indonesia memiliki istilah yang lebih populer, yakni ‘boikot’. Boikot sendiri berarti pemberhentian kerja sama. Meski tindakan boikot sudah sering terdengar di jagat maya tanah air, terutama pada program-program televisi yang dinilai tidak berkualitas dan tidak mendidik, kondisi ini masih belum bisa memberikan efek pada perubahan sikap secara luas.

Dalam beberapa kasus kekerasan seksual, di Indonesia, boikot sering dijadikan salah satu cara untuk menghukum pelaku yang seringkali terlepas dari hukuman. Beberapa youtuber yang terlibat dalam kasus kekerasan seksual otomatis mandek dari kiprahnya di dunia maya.

Akan tetapi apakah budaya cancel culture atau boikot ini pantas untuk kita teruskan? Pada banyak praktik cancel culture atau boikot, kalimat cercaan juga kerap dilibatkan. Penerapan cancel culture juga bisa sangat cair dan bisa jadi alat penghakiman secara sepihak.

Masih banyak warganet yang belum mampu membedakan batasan antara pilihan pribadi dan pelanggaran norma. Masih banyak warganet yang tak bisa melepaskan keinginan untuk menghukum dan mengakhiri karir seseorang yang sama sekali tak mempunyai korelasi sama sekali dengan pilihan hidup. 

Hal inilah yang dialami Irene Red Velvet, atau Listy Chan yang kehilangan kontrak EVOST Esport karena mengungkapkan masalah percintaannya. Dalam kondisi seperti ini, budaya cancel culture ini bisa mengancam ruang aktualisasi hingga mempengaruhi kehidupan ekonomi selebritas yang dihukum dengan cancel culture.

Dasar hukum yang bisa saja sangat persuasif dan personal bisa memicu berbagai dampak turunan pada beberapa kondisi. Namun tak dipungkiri, budaya ini adalah jalan nekat para pembela korban kekerasan seksual yang hingga hari ini sangat sulit untuk mencapai keadilan.

Boikot di internet dianggap lebih mudah ketimbang harus melapor polisi. Banyaknya kasus pelecehan seksual yang menguap begitu saja, memaksa para pendukung korban untuk mengambil cancel culture atau boikot untuk berikan sanksi sosial pada pelaku.

Dari sini sebenarnya bisa ditarik kesimpulan, kalau saja pemerintah hadir dalam segala kepelikan pencegahan dan penanganan kasus pelecehan/kekerasan seksual, kemungkinan besar cancel culture tak akan mendapat ruang untuk berkembang.

Namun perlu juga direnungkan, apakah kita akan tetap menggunakan budaya yang bisa jadi sangat menghancurkan dan jadi boomerang juga bagi korban? Jika iya, apa yang harus dilakukan untuk memperbaikinya? 

Reka Kajaksana

Penulis dan Jurnalis. Menulis Adalah Jalan Ninjaku
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!