Dear DPR, Lihatlah Kasus Kekerasan Seksual di Unsri dan Mojokerto: Kapan RUU TPKS Disahkan?

Jika DPR tak juga mengesahkan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual, mungkin mereka memang sengaja ingin melindungi para pelaku. Coba simak kasus kekerasan seksual yang mengguncangkan kita semua 3 hari ini: kasus di Mojokerto yang membuat korban bunuh diri dan kasus pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya, Palembang.

Jika kamu membaca salah satu quote Malala Yousafzai, aktivis perdamaian Pakistan, kamu pasti bakal tergetar.

Coba simak quote Malala ini: “Aku menaikkan suaraku bukan supaya aku bisa berteriak, tetapi agar mereka yang tidak bersuara bisa didengar.”

Ada dua kasus kekerasan seksual yang membuat kita miris, menangis, tergetar dalam tiga hari ini.

Yang pertama, kasus perempuan korban yang diduga bunuh diri di Mojokerto karena diminta pacarnya, R melakukan aborsi. Dan kedua, kasus mahasiswi korban pelecehan seksual di Universitas Sriwijaya (Unsri), Pelambang yang disekap di toilet dan namanya dicoret dari daftar yudisium kampus

Kasus yang terjadi di Universitas Sriwijaya, Palembang merupakan kasus yang menunjukkan perlawanan yang dilakukan seorang mahasiswi. Tak bisa ikut yudisium, lalu protes pada tanggal 3 Desember 2021. Dan ternyata yang dilakukan korban ini, ia akan menyelamatkan beberapa perempuan lain yang diduga juga menjadi korban pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen yang sama, RG.

Keberanian perempuan yang melawan selalu punya imbas besar, yaitu bisa menyelamatkan perempuan lain yang tak bisa bersuara.

Dihubungi Konde.co melalui telepon, Nindy Vristya Wanda yang merupakan pendamping korban dari Women’s Crisis Center (WCC) Palembang, menyatakan ternyata sebelum mahasiswi korban masuk ke ruang yudisium, tiba-tiba korban disekap oleh satpam dan dimasukkan ke toilet. Saat itu ada dosen yang melihat penyekapan dan membantunya untuk keluar dari toilet, jadi korban bisa keluar dan ikut yudisium

Namun setelah korban masuk ke ruang yudisium, ternyata namanya dicoret dari daftar nama yang seharusnya dipanggil dalam yudisium tersebut. Dalam video yang viral kemarin, korban terlihat berteriak dan memprotesnya.

Nindy Vristya mengatakan bahwa sebelumnya korban yang telah didampingi oleh BEM Fakultas di Unsri, telah melaporkan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan RG ini ke pihak kampus, namun kampus seperti melindungi pelaku dan memperlakukan korban secara intimidatif.

“Ketika korban mulai berani melaporkan, malah kampus terkesan melindungi pelaku. Ini terlihat dalam bagaimana cara kampus memanggil korban. Yaitu korban dipanggil dan tidak boleh didampingi,  jika korban menolak, maka ini akan mempengaruhi dan berdampak pada masalah-masalah lainnya dalam kapasitas korban sebagai mahasiswi. Ini merupakan cara-cara intimidatif yang tak berpihak pada korban,” kata Nindy Vorystia

Semua ini terjadi karena relasi yang kuat, power yang kuat dari dosen. Jika mahasiswi tidak melapor karena rata-rata takut akan menjadi victim blaming, malah disalahkan, dianggap mencemarkan nama baik kampus. Nindy menyatakan bahwa dari kasus ini, keberanian korban ternyata bisa membuka pelecehan seksual lain yang diduga sudah dilakukan oknum yang sama pada mahasiswi sebelumnya yang sudah lulus.

Setelah ditelusuri bersama, ternyata korbannya tak hanya satu, tapi ada tiga lagi korban lainnya yang diduga dengan modus yang sama ketika menjadi mahasiswi bimbingan skripsi RG. Ini artinya, peristiwa pelecehan seksual ini sudah lama terjadi

“Dugaan kami, pelaku ini memang predator, korbannya adalah mahasiswi yang ia bimbing, dan korbannya tak hanya satu, tapi tiga. Beberapa yang lain yang sudah lulus juga diduga pernah menjadi korban,” kata Nindy Voristya Wanda yang dihubungi Konde.co, Minggu 5 Desember 2021 melalui sambungan telepon

BEM Fakultas sebelumnya sudah melaporkan kasus dugaan pelecehan seksual ini ke Polda Sumatera Selatan, dan saat ini korban didampingi oleh BEM dan WCC Palembang. Maka dari kasus ini, WCC Palembang meminta rektor Unsri untuk secara tegas menindak pelaku, kampus tidak boleh melakukan Intimidasi pada korban dan menggunakan mekanisme penyelesaian kekerasan dan pelecehan seksual.

“Kami mendukung kasus ini diusut kepolisian dengan berpedoman pada hak-hak korban dan pemulihan korban,” kata Nindy Vorystia

Aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati menyatakan, banyaknya korban yang berani bersuara adalah pertanda bahwa Indonesia saat ini sedang berada dalam situasi darurat kekerasan seksual, dan ini harus jadi prioritas pemerintah, pihak kampus dan aparat negara. Jika tak pernah menjadikan korban sebagai prioritas, maka akan makin banyak korban lain yang berjatuhan

“Jangan lagi menganggap ini persoalan tidak penting. Harusnya universitas menyediakan fasilitas khusus bagi korban, bukan malah mencoret dari yudisium,” kata Vivi Widyawati ketika dihubungi Konde.co

Korban Kekerasan Seksual di Mojokerto: Maskulinitas Pelaku

Korban kekerasan seksual lain terjadi di Mojokerto, Jawa Timur. Sebelumnya, di media sosial, kasus yang menunjukkan maskulinitas pelaku ini ramai dibincang netizen dalam dua hari terakhir.

Dilansir dari Tempo.co, korban diduga meninggal bunuh diri di dekat makam ayahnya di Mojokerto, pada 2 Desember 2021. Korban diduga depersi karena mendapatkan kekerasan seksual dari pelaku yang merupakan pacarnya. Pacarnya ini disebut sebagai anggota polisi berinisial R.

Vivi Widyawati melihat bahwa di Indonesia, pelaku kekerasan seksual selalu berani  melakukan kekerasan seksual bahkan melakukan perlawanan terhadap korban, karena aparat negara selalu memberikan contoh yang buruk, yaitu tidak pernah serius dan seolah membiarkan kasus-kasus yang ada. Ini yang membuat pelaku seperti mendapatkan angin segar, dan bahkan dia bisa melakukan perlawanan balik pada korban.

“Ini adalah tanda bahwa pemerintah tidak hadir dalam kasus-kasus kekerasan seksual. Seharusnya sudah ada penanganan pada korban dan ditangani sesuai kebutuhannya, psikologi, fisik dan tidak kehilangan haknya dalam hidupnya sebagai manusia.”

Peristiwa yang terjadi di Mojokerto ini menunjukkan maskulinitas laki-laki yang bisa semena-mena menentukan hidup perempuan. Maskulinitas dalam kasus ini menempatkan posisi dominan laki-laki dan menempatkan subordinasi perempuan.

Perintah laki-laki dianggap sebagai sebuah kenormalan, sehingga dianggap wajar jika laki-laki bisa mengontrol tubuh perempuan agar menjadi tubuh yang patuh dan menyingirkan pengetahuan lain yang dianggap tidak mewakili standar maskulin (pelaku).

Kasus di Mojokerto ini memperlihatkan bahwa pelaku selalu berada di atas angin dan seolah kebal terhadap hukum. Maka banyak pelaku seolah didukung oleh lingkungannya, didukung pemerintah yang tak memberikan sanksi hukum, DPR yang tak serius membahas dan segera mengesahkan RUU TPKS. Jadi pelaku merasa bahwa ia bisa terbebas dari hukuman.

Rancangan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual sudah 7 tahun diadvokasi, tak juga membuahkan hasil.

Mungkin bagi DPR, peristiwa kekerasan seksual ini seperti angin lalu, dan kita bisa lihat, dengan tak juga disahkannya RUU TPKS ini.

Maka DPR secara tidak langsung telah membiarkan korban terus berjatuhan dan melindungi pelaku serta membiarkan saja apa yang dilakukan oleh pelaku.

Luviana

Setelah menjadi jurnalis di media mainstream selama 20 tahun, kini menjadi chief editor www.Konde.co dan menjadi dosen pengajar paruh waktu di Jakarta. Pedagoginya dalam penulisan isu media, perempuan dan minoritas
Republikasi artikel ini, klik tombol di bawah

Creative Commons License

1. Silakan lakukan republikasi namun tidak boleh mengedit artikel ini, cantumkan nama penulis, dan sebut bahwa artikel ini sumbernya dari konde.co, tautkan URL dari artikel asli di kata “konde.co”. Anda bebas menerbitkan ulang artikel ini baik online maupun cetak di bawah lisensi Creative Commons.

2. Artikel kami juga tidak boleh dijual secara terpisah atau menyebarkannya ke pihak lain demi mendapatkan keuntungan material.

Let's share!